Brunch Time Wood
Pukul 10 di Sabtu pagi itu, terlihat Changbin yang sedang memanasi mobilnya di carport kost. Setelahnya datang Jeongin sambil menyeret koper berukuran kecil dengan Seungmin yang berjalan di belakangnya.
“Mas Bin! Titip ini ye,” Jeongin letakkan kopernya di dekat bagasi mobil Changbin.
Changbin pun membuka bagasi mobilnya. “Noh masukin sendiri.”
“Ye, katanya tadi lu yang mau angkatin,” cebik Jeongin, walaupun tetap saja ia angkat kopernya untuk ia masukkan ke dalam bagasi. “Kak Mo mau dibantu gak?”
“Gak usah deh,” tolak Seungmin, ia angkat sendiri tas besarnya untuk ia taruh di dalam bagasi mobil Changbin.
“Jiah, tertolaq,” bisik Changbin dengan nada meledek, dihadiahi tendangan lutut oleh Jeongin.
“Guys!”
Changbin dan Jeongin menoleh, itu Chan yang datang. Lelaki itu menyeret dua buah koper, mungkin miliknya dan satu lagi milik Hyunjin.
“Masukin cepet mumpung bagasinya masih gue buka,” ucap Changbin.
Chan telah sampai di dekat mobil Changbin. “Cuk, mana katanya mau angkatin? Omdo lu,” dan akhirnya Chan memasukkan dua koper yang dia bawa ke dalam bagasi.
“Ya kan sekalian masih gue buka ini,” Changbin membela diri. “Betewe ini mana deh Felix sama Hyunjin?”
“Hyunjin tadi katanya mules, dia boker bentar. Tapi udah dari tadi sih, harusnya sekarang hampir beres. Kalo Felix gak tau,” Chan menjawab.
“Tar gue ke dalam dulu ye,” pamit Changbin, lalu berjalan masuk menuju rumah kost dengan tujuan mengecek keberadaan Felix. Sebelum Changbin melangkahkan kaki melewati pintu utama,
“Lick lick lick lick, I want to eat yo dick,”
“But I can't fuck up my nails, so I'ma pick it up with chopsticks, hahahahaha!”
Felix berjalan keluar rumah kost berdua, sambil bergurau, bernyanyi-nyanyi dan tertawa berduaan.
“Dua raja tiktok dateng,” celetuk Jeongin.
“Mouth wide open,”
“Aahh~”
“Mouth wide open,”
“Aaahh!”
“Hyunjin! Hahahahaha goblok,” Felix menepuk pelan belakang kepala Hyunjin.
“Uh..,” di sisi lain, Chan, Changbin, dan Jeongin berdiri menegang ketika menyaksikan Hyunjin mendesah tepat di hadapan mereka.
“Hadeh,” sedangkan Seungmin hanya bisa menghela napas sambil memijit batang hidungnya.
Akhirnya setelah beres dengan barang bawaan masing-masing, keenam pemuda itu berangkat. Changbin bersama Felix menaiki mobil Changbin—bersama dengan koper dan tas besar milik yang lain, Chan naik motor berboncengan dengan Hyunjin, dan Jeongin yang juga naik motor, berboncengan dengan Seungmin.
Tak jauh jarak guest house tujuan mereka, hanya memerlukan perjalanan kurang lebih 30 menit dari kost.
Sementara itu di kost, Lino baru saja bangun. Ia mendapat pesan dari Chan, dikabari bahwa lelaki itu bersama lima pemuda yang lain sudah meninggalkan kost. Jadi Lino berpikir tak apa ia keluar kamar, berhubung dirinya memasuki rut pagi ini.
Setelah mengambil air putih dari dapur, Lino berinisiatif untuk mengecek lantai 2. Tempat kamar Jisung dan 3 omega penghuni kost berada. Ia lirik kamar Jisung, terlihat belum ada tanda-tanda kehidupan. Mungkin masih tidur.
Ya sudah, Lino pun turun lagi ke lantai 1 untuk memasak sarapan.
“Aduh..., laper..”
Lino menoleh ketika mendengar suara dari arah tangga. Oh, itu Jisung. Sudah bangun ternyata.
Lino sedikit mengernyitkan dahinya ketika feromon Jisung melesak masuk ke hidungnya tanpa permisi.
“Oi, kos kok sepi? Orang-orang pada kemana?” Tanya Jisung ke satu-satunya orang di sana, yaitu Lino.
“Lu gak dipamitin emang? Pada mau camping ceunah.”
“Berapa lama?”
“Semingguan katanya.”
“Anjir gue gak diajak?”
“Ya gue juga gak diajak. Tapi wajar gak ngajak gue, gue lagi rut. Kalo lu beta, harusnya oke aja ngajak elu. Gak tau dah ngapain elu gak diajak.”
Jisung mengerjapkan matanya beberapa kali, sedetik kemudian ia merengek seperti anak-anak yang tidak dibelikan balon berbentuk sapi. Beberapa kali ia sumpah serapahi teman-temannya yang pergi tidak mengajaknya itu.
“Gak usah lebay, kan masih ada gue,” Lino menyodorkan sepiring nasi goreng dengan telur ceplok setengah matang di atasnya ke hadapan Jisung yang duduk murung di meja makan.
“Makasih,” ucap Jisung, lalu matanya secara refleks melihat ke arah bawah. “Itu, lu ngaceng?”
Lino mendengus. Buru-buru ia duduk di meja makan agar ereksinya tertutup oleh meja.
“Kenapa ngaceng?” Tanya Jisung polos.
“Ngaceng kok kenapa, terangsang atau kebelet kencing. Lu cowok apa bukan, sih? Gituan gak paham,” Lino menjawab.
“Iya tau, maksudnya kenapa kok ngaceng? Penyebabnya? Perasaan tadi masih tidur deh.”
Lino diam sejenak untuk menyuapkan satu sendok pertama nasi goreng telurnya. Setelah ia kunyah dan telan, “Feromon lu.”
Seketika Jisung mencoba menghirup bau badan-nya sendiri. “Gue beta loh Om, masa iya feromon gue bikin lu ngaceng?”
“Emang kenapa kalo beta? Feromon beta emang gak setajem omega, tapi tetep kebau.”
“Jadi ini lu ngaceng gara-gara gue?”
Lino mendengus lagi. Belum juga ia habiskan makannya, alpha itu berdiri dan menarik pergelangan tangan Jisung. Jisung yang dari beberapa hari yang lalu memang sudah membantu Lino beberapa kali pun pasrah saja diseret oleh sang alpha menuju ruang tamu.
“Gue jadi gak pengen sarapan nasi goreng,” Lino tutup pintu dan korden jendela rapat-rapat.
“Wow,” celetuk Jisung. “Tapi gue laper loh.”
Tak menjawab, Lino mendekati Jisung. Langsung saja alpha itu tarik tengkuk sang beta, ia sambar bibir milik sang beta. Niatnya adalah untuk memberi makan sang beta dengan kecupan dan salivanya.
Dan Jisung terima saja. Memang sudah lama ia seperti ini dengan Lino.
Cinnamon dan Coffee. Lino perdalam ciumannya ketika lagi-lagi feromon Jisung masuk ke hidungnya tanpa ampun. Bahkan ia dorong tubuh yang lebih kecil hingga terbaring di sofa, ia tindih tubuh sang beta dengan tubuh besarnya tanpa sedikit pun ada niatan melepas tautan bibir keduanya.
Tangan Lino menyusup masuk ke dalam kaos yang Jisung kenakan, perlahan ia angkat kaos itu hingga mengekspos perut polos sang beta. Ia elus kulit halus itu dengan lapar, menyebabkan sang beta melenguh dalam ciuman mereka.
Kalau kata Hyunjin dan Seungmin, feromon Jisung kadang akan berbau seperti warkop. Karena hint aroma kopi yang mendominasi feromonnya, mungkin itu yang menyebabkannya berbau seperti warkop—menurut Hyunjin dan Seungmin.
Tapi lain lagi bagi Lino, ia begitu terbuai dengan bau milik Jisung. Tautan bibir keduanya terlepas, kini Lino turun untuk mengeksploitasi leher sang beta.
“Om.., jangan digigit ya, Om?”
Seketika Lino berhenti. Ia jauhkan wajahnya dari leher Jisung, dengan tatapan datar ia tatap Jisung.
“Lu misalnya jangan panggil gue 'Om' pas lagi gini bisa, gak? Kesannya kayak gue Om Om yang mau perkosa anak perawan dah,” sang alpha berkata.
“Lah, kan emang gue biasa panggil elu 'Om'?”
Lino pun turun dari sofa. “Dah lah, dah dah. Turn off gue, lu panggil gue 'Om' gitu. Daddy kek, atau paling enggak Kak gitu lah biar arghh tau ah! Makan nasgor aja gue,” dengan begitu Lino melenggang pergi ke dapur.
Jisung pun bangun. Dengan linglung ia lihat punggung Lino. “Lah? Hadeh, alpha kalo lagi rut emang susah ye,” ia pun bangkit dan pergi ke kamar mandi, pasalnya di bawah sana ia juga sudah menegang.