Chan dan Hyunjin telah sampai di sebuah cafe yang ternyata letaknya tak jauh dari sekolah Hyunjin. Kata Chan, kalau jauh-jauh kasihan Hyunjin, capek habis sekolah.

“Dek,” tiba-tiba Chan berucap.

Hyunjin menghentikan langkahnya, menoleh.

“Boleh, nggak?”

“Boleh apa, Mas?”

“Gandeng tangan kamu?”

Hyunjin langsung menunduk malu. Bibirnya dia gigit. Demi lontong balap, Hyunjin merutuki dirinya sendiri kenapa terlalu mudah salah tingkah seperti ini.

“Um, b-boleh,” jawab Hyunjin sangat lirih.

“Apa? Mas nggak denger,”

Tangan Hyunjin meremat celananya.

“Ummm boleh! Dah, denger, kan?!”

Chan tertawa, entah sudah ke berapa kalinya gara-gara tingkah lucu nan menggemaskan dari Hyunjin.

“Kamu lucu banget deh, nggak bohong,” ujarnya sambil mengaitkan jari-jarinya pada jari-jari Hyunjin.

Lembut, hangat, begitulah genggaman tangan Hyunjin terasa di tangannya. Dia tak bisa menahan senyumnya, begitu pula dengan dadanya yang berdebar-debar.


Keduanya sudah masuk ke dalam cafe. Mereka memesan menu, Chan mempersilahkan Hyunjin untuk memilih dulu. Setelah si cantik itu selesai, giliran dirinya yang memesan menu.

“Loh, Mas nggak minum?”

Chan tersenyum. “Kan udah ada minuman dari kamu tadi. Mending juga minum itu. Jauh lebih kerasa manisnya.”

Sial, sial, sial. Begitulah Hyunjin mengumpat di dalam hati. Chan hari ini kenapa, sih? Sepertinya sengaja mau membuatnya pingsan di tengah cafe yang cukup ramai pengunjung ini. Begitu pikir Hyunjin.

“Mas ih, mbaknya denger nanti,” cicit Hyunjin lirih.

“Ya biarin, dong. Semua orang harus tau kalo kamu manis. Tapi nggak boleh ada yang ambil.”

“Kok gitu?” Hyunjin mendongak.

Chan hanya tersenyum. Tanpa menjawab pertanyaan Hyunjin, dia menggandeng si cantik untuk duduk di meja yang telah mereka pesan sebelumnya.

Hyunjin menghela napas. Bibirnya sedikit dikerucutkan.

“Duduk dulu,” Chan berujar lagi.

Hyunjin menurut. Dia duduk di kursi, diikuti Chan yang duduk di hadapannya.

“Pinjem lagi tangannya.”

Lagi-lagi Hyunjin menurut, dia berikan tangan kanannya pada Chan. Chan pun meraih tangan Hyunjin, dia genggam dengan lembut.

“Dek Hyunjin. Mungkin kita masih belum lama kenal, ya kan? Kita kenal juga karena kamu mampir ke toko bapaknya Mas, bener-bener nggak terduga,” ucap lelaki itu diselingi tawa lembut yang entah kenapa membuat Hyujin merasakan sengatan-sengatan aneh pada tubuhnya.

But I gotta say this. Dari pertama kali Mas lihat kamu, mata Mas nggak bisa bohong. Cuma kamu yang Mas lihat. Yang lain lewat. Sejak itu pula, Mas nggak bisa pikirin hal lain selain kamu.”

“M-mas?” Hyunjin menatap Chan tidak percaya. Tangannya sedikit bergetar.

“Iya, Dek. Mas suka sama kamu. I don't know, bahkan mungkin udah cinta sama kamu. I feel like I wanna be with you all day. Bawaannya kangen mulu kalo lama nggak ketemu,” sahut Chan.

“H-hah..,” mulut Hyunjin menganga tidak percaya.

“Hehe. Cheesy, ya? Maaf, tapi itu beneran apa yang Mas rasain.”

Hyunjin menggigit bibirnya. Jari-jari kakinya bergerak-gerak gelisah dibalik sepatunya.

“I-ini.., Mas n-nggak lagi bercanda, kan..?”

Chan menggeleng. Dia mainkan jari-jari Hyunjin, kemudian dia bawa tangan Hyunjin untuk dia kecup.

“Apa aku kelihatan lagi bercanda?” Ujarnya sambil menatap lekat-lekat mata Hyunjin.

Dengan malu-malu Hyunjin tatap balik mata Chan. Tatapan lelaki itu sangat teduh, Hyunjin dapat menemukan ketenangan di sana. Juga keseriusan.

“Mas h-hiks aku nggak tau mau gimana..”

Nah loh, nangis kan.

“Nggak usah gimana-gimana. Kamu mau dengerin Mas ungkapin perasaan Mas aja, udah lebih dari cukup kok,” ujar Chan dengan lembut sembari mengusap pelan punggung tangan Hyunjin.

Hyunjin mengusap air matanya buru-buru menggunakan tangannya yang bebas, malu dilihat banyak orang kalau dirinya sedang menangis.

“Aku bakal kasih kamu waktu. Terserah, mau kasih jawaban atau enggak, it's all up to you and your heart. Nggak usah buru-buru ya, sayang? Pikirin baik-baik. Jangan merasa terpaksa atau terkekang. Hak kamu mau kasih aku jawaban atau enggak. Tapi aku bakal terus nunggu, because I really do have feeling for you,” Chan melanjutkan.

Kemudian makanan yang mereka pesan pun datang. Chan mengucapkan terima kasih kepada pelayan yang mengantarkan makanan mereka.

“Hihihi, dah, sini makan dulu. Yang tadi jangan dipikirin dulu.”