Letting Go Of The Princess
Sebelum mulai ceritanya, di sini Asa adalah anak dari Gibran (Geto), Ginta adalah anak dari Oki (Naoya), Arin adalah anak dari Gilang (Gojo), dan Lily adalah anak dari [hayo siapa?]
“Happy birthday, Lily!”
Lily (nama samaran), seorang gadis cantik yang merupakan anak seorang konglomerat. Hari ini pesta ulang tahunnya digelar dengan begitu megah. Dan Asaki, yang lebih sering dipanggil Asa itu menjadi salah satu tamu yang diundang.
Lily menerima sebuah kotak kado dari tangan Asa yang mengulur kepadanya. Senyuman terpatri dari bibir cantik gadis itu. “Ini apa?”
“It’s a secret. Kalo aku kasih tau sekarang bukan surprise dong namanya? Hahaha, you have to figure it out by yourself,” Asa menjawab.
Lily memutar-putar kotak kado dari Asa, “It looks expensive.. I wonder what’s inside.., aku buka sekarang boleh?”
“Sekarang? Like, right now? Bahkan kamu belom tiup lilin, loh.”
“Aku penasaran banget, Sa..,” Lily sedikit merengek, membuat Asa mau tak mau akhirnya luluh.
“Well, kalo emang kamu pengen buka sekarang, buka aja, hehe. It’s yours anyway,” jawab lelaki yang baru saja menginjak usia 19 tahun belum lama itu.
Lily pun memekik riang. Saat itu juga, di hadapan Asa, Lily membuka kotak kado itu. Tak begitu besar, namun bobotnya cukup berat.
Setelah kotak itu terbuka, entah kenapa Asa merasakan senyuman Lily sedikit memudar. Dia lihat gadis itu mengamati sebuah parfum dari brand Dior, sebuah jam tangan dari brand Chopard, dan sebuah kartu ucapan yang tertata begitu rapi di dalam kotak kado itu.
Sejujurnya Asa sedikit gugup, takut-takut kalau Lily kurang menyukai hadiah darinya.
“Bagus.., Asa, thank you, yaaa! But actually papaku bisa beliin yang lebih bagus dari ini sih, hehehe. Aku juga udah punya parfum Dior sebenernya, tapi gak papa lah nanti ini aku pake kalo parfumku udah habis. Semoga aku suka baunya, ya,” akhirnya Lily berujar.
Mendengar itu, Asa tertawa sedikit canggung. “E-ehehe, iya, Ly. Makasih kembali, semoga kamu suka, ya.”
Lily membalas ucapan Asa dengan anggukan pelan sembari tersenyum tipis. Setelahnya, kotak kado dari Asa yang telah terbuka itu diletakkan begitu saja di atas sofa seakan tak ada harganya. Lily pun berlalu, menghampiri teman-teman perempuannya.
Asa menghela napas. Dia tatap nanar kotak kado yang teronggok tanpa daya itu, sebelum akhirnya juga beranjak meninggalkan ruangan dan memilih untuk keluar.
Sebentar lagi inti acara dari perayaan ulang tahun Lily akan dimulai. Namun Ginta, sahabat karib Asa, melihat lelaki dengan rambut nyaris sebahu yang diikat half ponytail itu sedang duduk seorang diri di kursi taman di rumah besar keluarga Lily sembari mengunyah permen karet.
Lelaki yang berusia hampir dua tahun lebih tua dari Asa itu menghampiri yang lebih muda.
“Bro? Pestanya udah mau mulai anjir, ngapain lu bengong di sini?”
“Males,” jawab Asa singkat.
“Bro?!” Ginta menatap Asa tidak percaya. “Are you serious? Ini si Lily coy, your biggest crush! Yang udah hampir lima bulan lu taksir itu! Ya bro, right now you’re attending her birthday party. Lu gak pengen liat dia di tengah altar, kah?”
Asa menggeleng pelan. “Kalo lu naksir Lily ambil aja Gin.”
Ginta mengerutkan dahinya, bingung dengan maksud dari ucapan Asa barusan. “The fuck are you saying? I’m tryna be nice.”
Akhirnya Asa melirik Ginta. “Sorry, bukan maksud gua gimana-gimana. It’s just, nih ya, kalo misalnya di dalem lu liat ada kotak yang bungkusannya kebuka, isinya parfum Dior sama jam Chopard, itu hadiah dari gua. Tadi dibuka sama Lily, katanya keburu penasaran. Eh pas udah tau isinya ditolak dong, hahahahaha, katanya Papinya bisa beliin yang lebih bagus.”
Ginta terdiam sejenak. Kemudian lelaki itu mengambil tempat duduk di sebelah Asa. “Bentar, jadi ini kayak, kado dari lu diterlantarin gitu? Setelah dibuka, bukannya disimpen malah diletakin gitu aja di sembarang tempat? Sambil ngomong gitu tadi?”
“Please Ginta, jangan emosi dulu. Mungkin Lily orangnya emang gitu. Bisa jadi abis ini kado dari gua bakal dia simpen. Hehe, gua juga sih, harusnya gak langsung ambil hati,” sanggah Asa.
“Lu yakin? Maksudnya, lu ngomong gini tuh are you completely sadar dan aware dengan apa yang lu ucapin?”
Asa pun menghela napas. “I don’t know, man. Jujur iya gua kecewa, but at the same time I really want to see her, liat dia looking like a princess di hari spesial dia. Tapi gak tau deh, rasanya kayak gua gak layak aja gitu ada di sini.”
“Kok lu mikir gitu?”
Asa menoleh ke arah Ginta, alisnya menukik. “Lu kok tolol? Maksudnya bayangin dah kalo lu jadi gua, lu susah-susah beli itu parfum sama jam tangan, mana mahal banget, dari luar negeri lagi. Parfum sama jam tangan gua aja harganya gak ada setengah dari itu, tapi dengan kaga ada beban dia ngomong Papinya bisa beliin yang lebih bagus dari itu. Lu kalo jadi gua apa gak ngerasa kalo, gimana ya, gak pantes aja gitu? Kayak, man, kasta gua udah beda sama dia. She’s far above me.”
Ginta terdiam, memperhatikan curahan hati sohibnya itu. Terdengar menyakitkan memang.
“Gitu ya si Lily ternyata. Beda deh yang dari lahir emang udah golden spoon,” ucapnya.
“Lu juga anak konglo tapi lu down-to-earth sih, bro. Maksudnya lu gua ajak makan di warteg yang es jeruknya lima rebuan juga masih sudi.”
Ginta tak bisa untuk tak tertawa—tersentuh—mendengar ucapan Asa. Dia pun memukul dengan canda pundak Asa.
“Jadi gimana, nih? Mau ke dalem apa di sini aja? Kalo pengen di sini sih gapapa gua temenin. Kalo mau masuk ya ayo,” tawar Ginta kemudian.
“Masuk aja, lah! Gak enak kalo di sini tar dikira sombong lagi, udah diundang eh kagak ikut rayain pestanya. Tar makin-makin didamprat dah gua sama keluarga Lily.”
Akhirnya kedua pemuda itu kembali ke dalam rumah keluarga Lily, tempat dimana perayaan ulang tahun gadis itu digelar.
Akhirnya sederet rangkaian acara perayaan ulang tahun itu telah terlaksana. Kegiatan yang terakhir adalah dinner party, dimana para tamu undangan dipersilahkan untuk menyantap hidangan sembari menyaksikan live performance di sana. Tak sedikit juga orang-orang dalam pesta itu berdansa dengan pasangan masing-masing.
Selama perayaan ulang tahun Lily, Asa hanya menyaksikan jauh dari belakang kerumunan tamu undangan. Hatinya tak lagi tergerak untuk melihat paras menawan dari gadis itu.
Saat ini pun ketika orang-orang sedang berdansa, jika biasanya tentu saja Asa akan bergabung, kali ini dia memilih untuk duduk seorang diri sembari memainkan ponselnya.
Sesekali dia mendongak dan melihat keadaan sekitar. Semakin banyak orang yang berdansa. Seorang Asaki, sebenarnya paling tidak tahan dengan kesendirian. Namun saat ini dirinya sedang perang dengan batinnya.
Antara harus mengajak orang lain untuk berdansa dengannya, atau harus mengajak Lily? Jujur saja dia sangat ingin mengajak Lily. Namun teringat dengan kejadian satu jam yang lalu, niatnya harus dia kubur dalam-dalam. Bukannya dia takut, hanya saja dirinya belum siap untuk ditolak lagi.
Asa itu, dia adalah lelaki dengan ego yang tinggi. He hates it when people hurt his pride.
Ingin mengalihkan pikirannya, Asa pun beranjak dan memilih untuk menghampiri meja wine. Lelaki itu memang suka dengan alkohol. Mungkin minum sedikit akan membuatnya merasa lebih baik.
Kebetulan Lily ada di dekat sana. Tentu saja tidak sadar bahwa Asa ada di sekitarnya, lantaran gadis itu sedang sibuk bersenda gurau dengan teman-temannya.
One sip. Asa menyandarkan pinggulnya pada meja itu. Matanya tak bisa untuk tak terpaku pada Lily. Tak bisa mengelak, jujur saja Lily terlihat begitu menawan malam itu. Sangat kuat dorongan di dalam dirinya untuk mengajak gadis itu berdansa. Namun dia sendiri tak tahu, hanya karena perkara kadonya yang tidak cukup diapresiasi oleh gadis itu, dia merasa tak pantas berada di dekat gadis itu.
Two sips. Mama, Asa ingin pulang.
“Bro, sendirian mulu, dah. Kenapa gak ngajak siapa gitu buat dansa? Or like, sekedar ngobrol apa gimana kek. Ini tuh kayak bukan lu banget, serius.”
Asa menoleh ketika seseorang menghampirinya. Ternyata itu Ginta lagi.
“Siapa juga yang mau gua ajak?” Jawab Asa, seakan sudah sangat pasrah dengan kehidupan.
“Sama gua aja.”
Seketika Asa menoyor kepala Ginta. Tak peduli dengan fakta bahwa Ginta lebih tua darinya.
“Edan lu bajingan, kagak mau anying dansa sama elu! Dih!”
“Asu maksud gua ngobrol, cuk, bukan gua ngajak lu dansa sama gua!”
“Oooh, bilang dong! Lu ngomong kagak jelas, sih!”
“Kok lu emosi?!”
“Lu juga napa emosi?!”
“Ah udah lah bego masa berantem gara-gara ngajak dansa, sih. Udah tua juga. Eh btw,” tak ingin ribut lebih jauh, Ginta pun segera mengalihkan pembicaraan. Lelaki yang sebentar lagi akan menginjak usia 21 itu pun memegang satu botol wine tanpa mengangkatnya.
“Ini misal gua tenggak langsung dari botolnya boleh gak ya, ahahahahaha.”
Dan ucapan Ginta itu berhasil membuat Asa tertawa kecil.
“Goblok, ya masa nenggak wine kek nenggak bir? Lu mah ada-ada aja kata gua,” ujarnya menanggapi ucapan Ginta.
“Gak cuy, serius gua kagak telaten minum wine dikit.. dikit.. di gelas gitu. Kek, apa sih, kelamaan,” sahut Ginta.
Asa pun menyilangkan kedua lengannya di depan dada. “Lu coba dah. Kalo gak diketawain nanti gua juga minum langsung dari botol.”
“Anjing lu mah gitu cuk, numbalin temen!”
“Kan elu yang ngide, gimana sih?”
Ginta pun mengedarkan pandangannya. “Gak ah, rame banget. Nanti diliatin orang disangka kagak pernah minum wine lagi.”
“Emang udah pernah?” Asa menyahut, tentu saja maksudnya adalah gurauan belaka.
“Wah anjing, lu sendiri tau tot di rumah gua ada wine cellar yakali kagak pernah gua minum?”
Mendengarnya Asa tertawa. Jujur saja, dirinya bersyukur mempunyai sahabat seperti Ginta. Walaupun kadang pemarah, namun kawannya itu selalu ada bersamanya dalam keadaan apa pun.
“Iya, iya, canda ah! Lu jangan mulai sombong gitu, yang down-to-earth, dong. Lama-lama kayak si Princess mau lu?”
Ginta tertawa kencang. “Heh lu bisa nyatir gitu cok! Hahahaha!”
Masih asyik bergurau,
“Emang kenapa kamu gak mau sama Asa sih, Ly?”
Kedua lelaki itu mendengar seseorang menyebut nama Asa. Tentu saja otomatis mereka berdua memasang telinga untuk mendengarkan obrolan yang ternyata datang dari Lily dan teman-temannya.
“Bukannya gak mauuuu, cuma gimana ya, Asa tuh- like, kalian tau kan dia kerjaannya clubbing?” Ini adalah Lily yang berbicara.
“It’s his job gak, sih? Setau aku dia DJ kan ya?”
“Iya, dia DJ.”
“Iya siihh, cuma I think it’s kinda weird aja dia baru lulus SMA udah jadi DJ, kerjanya di club, ih aku bayangin gimanaaaa gitu,”
“Tapi menurutmu dia oke gak, Ly? Like, is he your type?”
“Sebenernya jujur iya sih, dia ganteng, keren juga, baik, cuma ya sayang aja gitu sehari-hari dia ada di club. I mean, dia kan bisa kuliah dulu yaaaa, baru abis itu cari kerja laiiiin. Kalo udah gitu pasti aku bakal mau sama Asa, tanpa pikir panjang.”
Mendengar ucapan Lily, Ginta menyenggol lengan Asa dengan sikunya. Dia tatap yang lebih muda dengan sorot mata yang sarat akan kata-kata, ‘Bro, you good?’
Namun Asa hanya mendengus, “Huh.”
“Papa kamu gak bolehin apa gimana, Ly?”
“Gak tau sih, Papa belom tau kalo aku deket sama Asa. Aku juga gak berani bilang. Tapi Papa biasanya gak strict juga siiihh, cuma gimana ya, Asa kan gak kuliah yaaa, aku gak bisa bayangin aja nanti gimana keluarga besar mandang aku kalo aku pacaran sama cowok yang cuma lulusan SMA. Bukan maksud gimana-gimana ya, cuma you guys must understand my position…”
Brak!
Asa meletakkan gelas wine-nya dengan keras pada meja. Tanpa mengatakan apa-apa, dia beranjak pergi, keluar dari ruangan itu.
“Sa! Asa!” Ginta memanggil-manggil Asa, namun yang lebih muda tidak menggubris. Tak punya pilihan lain, Ginta pun berlari mengejar Asa.
Yang mana lelaki itu ternyata menuju tempat dirinya memarkir mobilnya.
“Sa!”
“Anjing..,” gumam Asa ketika Ginta sudah dekat dengannya, sehingga Ginta bisa mendengar umpatannya.
“Serendah itu anjing gua di mata dia. Jadi selama ini buat apa dah gua kasih semuanya buat dia kalo pada akhirnya itu semua gak ada artinya? Yang keliatan di mata dia cuma gelar dan kedudukan?”
Ginta terdiam. Kalau dia salah bicara, bisa-bisa Asa akan semakin emosi. Dan dia tak mau hal itu terjadi. Sehingga saat ini Ginta hanya menepuk pelan pundak Asa, sesekali mengelusnya.
“Gua emang gak kuliah, tapi dengan gua gak kuliah itu bukan artinya gua pengangguran ya anjing, gua kerja! Emang dia dikasih duit berapa sih, sama papi dia?! Yakin lebih banyak dari gaji gua?! Cok, kalo gua tega ni gua udah bilang dah bacot amat yang masih jadi beban orang tua.”
“I know bro, gua paham banget. Misalnya gua jadi elu juga bakal emosi banget, sih. Mungkin bakal lebih emosi dari elu sekarang. Udah mah kata gua cari yang lain aja,” kali ini Ginta mencoba menenangkan.
“Ini mah asli Gin, fix banget gua musti cari yang lain. There’s no way gua bakal lanjut perjuangin modelan orang yang bahkan sekedar ngehargain orang lain aja gak bisa.”
Ginta mengangguk setuju. Sementara Asa berkacak pinggang, menunduk, sembari menghela napas panjang.
“Gila, gila. Gak habis pikir gua. Bisa gitu ya sombongnya. Iya tau dah, dia Princess. Anak keluarga konglo. Tapi masa segitunya ngerendahin orang, sih? Sok sok an remehin my job. Well, I can buy a Lambo if I want. Cuma masalahnya garasi di rumah gak cukup, man. Ini juga kenapa gua ke sini pake mobil Papa,” gerutunya kemudian.
Ginta pun merangkul pundak Asa. Ketika ucapan yang lebih muda sudah mulai melantur kemana-mana, itu artinya dia sedang benar-benar tidak baik-baik saja.
“Iya bro, iya, iya. I totally understand. You’re damn rich bro, job lu kaga bisa diremehin, I know it very well. And you’re amazing di usia yang belom juga nyentuh kepala dua udah jago cari duit. So, kata gua mah si Lily aja yang emang aneh. Dah ya, sekarang tenangin diri dulu aja.”
Lagi-lagi Asa menghela napas. “I don’t know, man. Sebenernya gua juga sih yang tolol. I mean udah beberapa kali gua dikode bahwa gua ini ditolak, tapi guanya aja yang kurang peka. Plus tetep keukeuh dan denial juga. Nah sekarang gua sendiri kan yang sakit hati when I finally realized about the truth.”
“It’s okay, man. It happens. Gak papa, jadiin pengalaman aja. Yah, gimana ya, namanya juga apes. Eh iya gak, sih? Apes gak sih jatohnya?”
Kemudian Ginta menoleh ke arah Asa. “Pulang aja? Atau mau kemana gitu? Gua temenin.”
Asa pun mengambil kunci Audi A5 Sportback milik papanya itu dari dalam saku celananya. “Pulang aja deh.”
“Gua anterin?”
“Gak usah, Gin. Repot-repot lu ntar.”
“Kaga ah, kek sama siapa aja. Takutnya lu bukannya pulang malah mampir ke mana gitu lagi.”
Asa terkekeh. “No, man. Langsung pulang ini.”
“Janji lu,”
Asa menepuk pundak Ginta sebelum membuka kunci mobilnya dan kemudian masuk ke dalamnya. “Janji coy.”
Ginta tertawa kecil. “Ya udah, ati-ati. Awas lu aneh-aneh di jalan. Jangan bikin onar. Kasian pengemudi yang gak ngerti apa-apa.”
“Enggaakk, sumpah. You have to trust me, man, come on.”
Lagi-lagi Ginta tertawa. “Iye, you know, just to make sure.”
Akhirnya setelah sekali lagi berpamitan kepada Ginta dan meminta tolong untuk dipamitkan kepada teman-temannya yang lain, Asa pun meninggalkan area rumah Lily.
Di tengah jalan pikirannya melayang. Tak terlalu larut, tak sampai membuatnya hilang fokus ketika berkendara.
Sungguh, tak pernah Asa sangka sebelumnya bahwa wanita semanis Lily akan mengatakan hal semenyakitkan itu di belakang punggungnya. Mungkin memang, to let go of the Princess is the best decision he has to make.
‘Ly, jujur aku gak bakal gimana-gimana kalo misalnya kamu nolak aku. It’s okay, I don’t wanna give you pressure anyway. Aku pun gak bisa maksa orang buat cinta sama aku. But to hear you said that, to stab my back like that, aku sama sekali gak bisa tolerir itu. I cannot directly be mad at you, curse and cuss at you, so, I shall just leave and never see your face again. You hurt me so damn bad.’
Hari ini adalah hari minggu. Hari libur bagi sebagian besar orang, namun bagi Asa hari minggu sama saja dengan hari-hari yang lain. Karena jam kerjanya yang fleksibel, tentu saja.
Masih pagi, ketika dirinya selesai mencuci piring, dia mendengar alunan nyanyian merdu yang diikuti dengan petikan gitar. Apakah itu kakaknya? Tentu saja bukan, karena kedua kakaknya itu sedang melakukan studi di Australia.
Lalu apakah itu papanya? Tentu saja bukan, karena suara orang bernyanyi ini adalah suara seorang perempuan. Lalu apakah itu mamanya? Ini adalah satu-satunya kemungkinan yang paling mungkin terjadi.
Merasa tertarik, Asa pun membawa langkah kakinya menghampiri suara itu yang berasal dari halaman belakang rumahnya.
“Arin?!” Asa menyunggingkan senyum lebar, melihat seorang gadis dengan rambut sebahu yang dikuncir dua itu.
Gadis itu, Karina, yang lebih sering dipanggil Arin balas tersenyum melihat kedatangan Asa. “Haaiiii, Bli Asa, baru bangun?”
Asa pun duduk di sebelah Arin. “Aduh, ketauan dong suka bangun siang.”
Arin tertawa, gitar dalam pangkuannya dia letakkan di sebelahnya. “Gak papa kali, karena mungkin aja Bli Asa tadi malem banyak kegiatan. So, it’s okay, gak masalah kalo bangun siang mah.”
Asa tersenyum. Tadi malam, ya…, salah satu malam paling menyakitkan dalam kehidupannya.
“Eh sorry Bli, ini gitar Papa kamu ehehe tadi aku pinjem. Papa sih ke sini gak bawa gitar,” alunan suara Arin membuyarkan hal buruk yang kembali memenuhi otaknya.
“Gak papa weh, pake aja. Eh emang kamu ke sini sama Om Gilang?”
“Huum,” Arin mengangguk. “Papa bilang mau main ke pantai terus mampir dulu ke rumah Om Gibran, kangen katanya. Terus aku ikut.”
Arin, gadis ini adalah putri semata wayang dari Gilang, sahabat karib Gibran, papa Asa. Arin terpaut satu tahun lebih muda dari Asa, dan gadis itu sangat menyukai musik. Bernyanyi, memainkan alat musik, adalah hobi Arin. Dan orang-orang termasuk Asa pun mengakui bahwa Arin memang piawai dalam bidang itu.
“Oh gitu,” Asa ikut mengangguk. “Terus sekarang Om Gilang sama Papa kemana?”
“Tadi sih pamitnya ke minimarket, katanya mau beli bahan makanan. Tadi aku ditemenin sama Mamanya Bli Asa, tapi beliau tadi pamit mau mandi dulu,” ujar Arin menjelaskan semuanya.
Ada satu hal yang Asa suka dari Arin. Gadis ini ramah dan suka bercerita. Asa suka itu. Orang yang terlihat antusias ketika menceritakan sesuatu, di mata Asa terlihat begitu menarik.
“Tadi lagi nyanyi, Rin? Lanjutin lah,” ujar Asa, mengeluarkan topik baru.
Arin tersenyum malu-malu. “Aduh kenceng banget kah aku nyanyinya? Sampe kedengeran sama Bli Asa.”
Asa tak bisa untuk tidak terkekeh. “Ya gak papa kali, nyanyi mah emang kudu kenceng. Kalo pelan mah bisik-bisik namanya.”
Dan Arin balas tertawa mendengarnya. “Enggak, maksudnya takut ganggu Bli Asa kan tadi lagi tidur..”
“Gak ah, kalo dari kamarku mah nggak kedengeran. Tadi aku abis cuci piring di dapur, makanya kedengeran. Dah yo, ayo nyanyi lagi. Let me be your first audience di pagi hari ini,” ujar Asa.
“Aduh sedikit merasa pressured nih, ditonton sama musisi handal,” gurau Arin sambil mengibas-kibaskan tangannya.
“Musisi apaan, orang kang DJ doang ih hahahahahahaha,” Asa tertawa.
“Tetep aja kali, kan mainnya di musik. Mana Bli udah sering manggung, jam terbangnya banyak banget, udah pengalaman tiga tahun lebih lagi.”
“No no,” Asa menyergah. “I still want to hear you sing, tho. Buru dah, gak usah insecure atau malu atau apa lah, suara kamu tuh bagus. Kamu juga oke main musiknya. Kalo kamu mainnya jelek mah dari tadi juga udah aku lemparin tomat.”
Arin tertawa lagi. Dan Asa suka dengan cara Arin tertawa. Terlihat tulus, ikhlas, totalitas, dan, entah, Asa suka saja.
Setelahnya, Arin pun mulai memetik senar gitarnya.
“Engkau yang sedang patah hati.. menangislah dan jangan ragu ungkapkan, betapa pedih hati yang tersakiti, racun yang membunuhmu secara perlahan..”
Asa menatap Arin, matanya terpaku pada gadis itu. Terlebih dengan lagu yang dipilih oleh gadis itu.
“Hanya… diri sendiri, yang tak mungkin orang lain akan mengerti..”
“Di sini ku temani kau dalam tangismu, bila air mata dapat cairkan hati… kan ku cabut duri pedih dalam hatimu, agar ku lihat senyum di tidurmu malam nanti..”
“Anggaplah semua ini, satu langkah dewasakan diri, yang tak terpungkiri juga bagimu..”
[Pedih by Last Child.]
Arin pun menyelesaikan nyanyiannya. Dengan senyum manis dan mata sayu dia lirik Asa. Asa sendiri masih terpaku menatap Arin.
“Bli?”
“Eh, iya?”
Arin terkekeh. “Kok malah ngelamun, sih?”
Asa ikut terkekeh. “Sorry, sorry, terlalu fokus tadi. Damn girl, you sang very well. Tapi kalo boleh tanya nih, kenapa milih lagu itu? I mean itu lagu udah lawas banget tau, jaman Papa kita masih muda.”
Arin menunduk, masih tersenyum. Sekilas terlihat semburat merah muda pada pipi putih bersih gadis itu.
“Emmm, itu dulu lagu kesukaan Papa. Papa suka nyanyiin lagu itu ke Mama kalo Mama lagi sedih. So, I sang it to you,” Arin mendongak, dia tatap Asa. Tersenyum manis hingga matanya membentuk lengkungan layaknya bulan sabit.
Lagi-lagi Asa terpaku, gara-gara mendengar ucapan Arin. “Emang tau aku lagi sedih?” Ucapnya kemudian.
“Tadi malem Kak Ginta cerita, hehehe. Katanya Bli Asa lagi patah hati gitu. Even tho I don’t know what happened, dan Bli Asa patah hatinya karena apa, but I think it’d be the best for me to sang that song to you, Bli. Hoping that it’d make you feel better, hehe. Hope you like it, tho,” Arin masih tersenyum manis.
“Aduh Ginta si ember, ya udah lah. Well, thank you so much, Rin. You have no idea how much you made me feel better. And I like it so much!” Tanggapan Asa.
Mendengar itu Arin memekik girang. Dia beranjak dari kursi untuk melompat-lompat kecil. Melihatnya Asa terkikik gemas. Gadis itu memang tidak pernah tidak terlihat lucu.
“Oh my gosh, Bli, I’m so happy kamu puji aku. Oh my God, thank you so much, Bli Asa!” Tanpa gadis itu sendiri sadari, dia memeluk leher Asa.
Dan Asa? Muncul semburat merah muda pada pipinya.
Dari kejauhan, dua pria dewasa sedang mengamati anak masing-masing. Satu pria berambut gondrong yang diikat cepol, satu lagi berambut putih seputih tembok.
“Gibraaaaan~” Yang berambut putih menatap yang gondrong dengan alis dinaik turunkan.
“Hahhhhh,” yang gondrong menghela napas, lalu memijit alis. “Sebenernya mah gue udah males banget, Gil. Elu lagi, elu lagi. Masa besanan juga harus sama elu. Tapi kalo anak gue maunya sama anak elu, dan anak elu juga mau sama anak gue, gue bisa apa?”
Yang berambut putih pun menari-nari tidak jelas. “Asiiik~ besanan sama Bli Gib~ besanan sama Bli Gib~”
“Berisik anjir.”
END.