Menjadi ketua Mapala, mau tidak mau Chan harus mengikuti kegiatan berpetualang organisasi itu. Mendaki gunung, menyeberangi sungai, membelah hutan, melewati jurang, memanjat tebing, mengarungi lautan, menjadi tarzan dan pelaut, maupun menjadi panji petualang dan jejak si gundul, ibaratnya begitu, semua sudah pernah Chan lalui.

Liburan semester genap ini cukup panjang, mestinya waktu liburan itu digunakan untuk rehat dan menghabiskan waktu bersama keluarga setelah satu semester penuh dengan kegiatan perkuliahan. Tetapi untuk Chan, sebagai ketua Mapala, menjadikan liburan sebagai waktu istirahat total rasanya hampir mustahil.

Hampir setiap dua minggu sekali, anak buahnya secara bergantian mengajaknya untuk berpetualang. Sebagai ketua, ya, sebenarnya Chan bisa saja menolak mereka jika dia mau. Tetapi Chan bukanlah tipe orang yang seperti itu. Dia tipikal orang yang menempatkan kepentingan anggota organisasi di atas kepentingan pribadi. Jadi, pada akhirnya Chan tidak pernah bisa menolak ajakan mereka.

Seperti kemarin contohnya, lelaki yang baru saja menyelesaikan semester 6 itu baru saja pulang dari pendakian di salah satu gunung yang kata banyak orang medannya cukup ekstrem. Dan ya, Chan membuktikannya sendiri. Dia mengakui bahwa kata orang-orang memang benar, medan gunung yang baru saja dia daki adalah salah satu medan pendakian paling ekstrem yang pernah dia alami.

Maka dari itu, sesampainya di rumah, lelaki itu langsung tepar. Tidur selama lebih dari 24 jam. Tak hanya itu, badannya terasa tidak karuan. Kalau dideskripsikan, menurut Chan, rasanya seperti tulang-tulangnya lepas dari tubuhnya.

Lelaki itu bangun di siang hari ketika mendengar suara panci ibunya bergelontengan di dapur. Seperti pemuda pada umumnya, hal pertama yang dia ambil setelah bangun tak lain adalah ponsel. Ada beberapa pesan masuk dari sohibnya yang bernama Changbin. Karena malas mengetik, Chan pun memutuskan untuk menelepon lelaki itu.

“Oi, baru bangun gue.”

“Udah gue duga. Gimana? Gunung kemaren mantap ga? Hahaha!”

“Lebih mantap kalo kontol gue disepongin.”

“Hahahahaha asu lo. Oh iya, lo mau ga gue rekomendasiin tempat pijet? Lumayan men, gue kemaren pijet di situ tuh, beuhh, mantap banget. Lo mau coba, ga? Siapa tau pegel-pegel lo langsung ilang.”

“Hmm, boleh.”

“Coba ke XX Spa. Di Jalan YY 69, tempatnya agak di dalem. Ntar ada cafe, sebelahnya ada gang kecil, lo masuk situ.”

“Mahal gak?”

“Ya, lumayan, sih. Tapi asli worth it banget. Gue jamin lo ga akan nyesel.”


Pada akhirnya Chan menerima saran dari Changbin. Dia memutuskan untuk mencoba mengunjungi XX Spa yang direkomendasikan oleh sahabat karibnya itu.

“Selamat sore, Mas, ada yang bisa saya bantu?” Resepsionis menyapanya setelah dirinya berdiri di depan meja resepsionis.

“Mau pijet dong, Mbak, masa mau cari jodoh, hahahaha,” gurau Chan.

“Hahahaha,” mbak resepsionis pun mau tak mau harus ikut tertawa, meskipun canggung.

Kemudian Chan diberikan sebuah buku.

“Ini, Mas, silah kan pilih mau treatment yang apa, setelah itu saya buatkan pesanan.”

Chan membolak-balikkan buku itu. Jujur saja dia bingung. Dia tidak

Setelah membuat pesanan, Chan menunggu di ruang tunggu. Pria itu sudah mengenakan