Monokuro
I wrote this special for Suguru Geto's birthday, a character made by Gege Akutami who has special place in my heart.
Suguru Geto (03/02/1990 – 24/12/2017).
Blood. Blood is everywhere. Bagi Geto, darah adalah sahabatnya.
Satu persatu kantong plastik hitam diletakkan di hadapan pria bersurai panjang nan legam itu. Tak ada bau busuk, jasad-jasad di dalam kantong itu semua masih baru.
Geto tak suka bangkai.
Satu karung goni Geto lempar kepada beberapa manusia di hadapannya, anak buahnya. Karung goni itu penuh terisi dengan lembaran-lembaran uang.
Sepeninggal anak buahnya, Geto membuka satu persatu kantong berisi mayat yang belum ia buka.
Manusia-manusia ini, Geto membunuhnya karena mereka adalah hama. Hama untuk Geto dan kelompoknya. Mereka yang suka menghalang-halangi visi, misi, dan tujuan kelompok yang dipimpin olehnya.
Jasad pria layaknya manusia albino, dengan semua rambut di tubuhnya berwarna putih Geto tatap untuk beberapa saat. Ia buka kelopak matanya, iris sebiru langit itu kini mengabur.
“Geto.”
Seseorang memanggilnya, maka ia menoleh dan mendapati seorang berambut biru keperakan. Sama panjangnya dengan surai miliknya.
“Mahito.”
“Yang itu,” si surai perak bernama Mahito menunjuk jasad pria albino. “Bukannya kamu deket sama dia?”
Geto terkekeh. Sarat akan sesuatu yang Mahito dan siapa pun tak bisa tahu. “Lalu kenapa?”
“Kenapa dibunuh?” Mahito menyandarkan tubuhnya pada dinding.
Geto menatap sejenak jasad pria itu. Tanpa ekspresi, namun entah apa yang ia rasa di dalam hati.
“Sejak kapan aku kasih izin orang lain buat tahu urusanku? Termasuk kamu. Mahito,” Geto menutup rapat-rapat kantong berisi jasad pria albino itu.
Mahito mencebik. Ia angkat bahunya, tak ingin terlalu jauh terlibat cekcok dengan atasannya, Suguru Geto. Ia pun berlalu, membiarkan Geto sendirian di ruangan gelap itu.
Geto pun menghela napas. Pria albino itu, Satoru Gojo.
Satoru Gojo.
Sahabat baiknya, orang terdekatnya. Orang yang paling dia percaya, bahkan lebih dari bagaimana ia percaya dengan keluarganya sendiri.
Geto berjongkok di hadapan jasad Gojo yang telah tertutup rapat. Kemarin malam, ia sendiri yang merenggut nyawa sang sahabat. Setelah bertahun-tahun tak jumpa, secara tiba-tiba ia munculkan dirinya di depan sang sahabat.
Gojo terkejut, tentu saja. Tak pernah mengira ia akan melihat Geto lagi. Juga tak pernah menyangka bahwa hari itu adalah hari terakhirnya. Nyawanya dihabisi oleh sahabatnya sendiri.
'Satoru..'
'Suguru..'
Untuk beberapa saat Geto terdiam, terbungkam. Memori tentang dirinya bersama Gojo selama beberapa waktu terakhir melintas deras dalam pikiran. Tentang bagaimana mereka memanggil nama satu sama lain, penuh kehangatan.
Dan kasih sayang.
Sebagai sepasang sahabat dekat.
Begitulah kata orang. Namun nyatanya, tak ada yang benar-benar tahu seberapa jauh hubungan Geto dan Gojo. Yang semua orang tahu, kedua pria itu hanya terlampau dekat. Sedikit terlalu dekat jika dibilang hanya sebatas sahabat lekat.
Inilah juga alasan Mahito tak percaya bahwa Geto membunuh Gojo. Bahkan orang tak pedulian semacam Mahito sampai heran.
“Satoru. Aku penuh dosa. Dan sebaik-baik dirimu pasti kau juga penuh dosa. Sesungguhnya seluruh isi dunia ini adalah dosa.”
'Bunuhlah aku kalau aku pernah mengecewakanmu. Suguru, kita janji buat jaga kepercayaan masing-masing. Aku lebih baik mati daripada hidup dihantui kekecewaan dari kamu.'
Gojo pernah berucap. Dan ucapan itu, dalam otak dan hati Geto tertancap.
“Kalau aja kamu nggak kecewain, aku, Satoru. Sekarang ini aku nggak bakal liat darahmu mengalir keluar dari tubuhmu. Napasmu lepas dari paru-parumu. Detak jantungmu hilang dari balik dadamu.”
Tak peduli berapa kali Geto mengajak Gojo bicara, Gojo tak akan pernah bisa menjawabnya lagi. Tentu saja. Tak akan ada lagi suara jenaka milik Satoru Gojo dalam hidup Suguru Geto. Tak akan pernah ada lagi.
“Satoru Gojo, dia bukan bagian dari kelompok yang dianggap hama sama Geto, kan?”
Toji Fushiguro, salah satu pria anggota aliansi yang dibentuk oleh Geto. Pria itu berbadan kekar, dengan bekas luka gores permanen di bibirnya. Ia membuka obrolan.
“Tiga tahun gue gabung sama Geto, gue masih belum paham kelompok yang dianggap hama sama Geto itu yang kayak gimana.”
Sukuna Ryomen, pria dengan badan tak kalah kekar dan tato khas hampir di sekujur tubuhnya. Ia menjawab ucapan Fushiguro.
“Geto gak suka orang banyak aturan. Contohnya polisi, pemerintah. Semua yang berhubungan sama aparat.”
Zen'in Naoya. Dengan kimono mewah dan telinga dipenuhi tindikan. Ia menanggapi ucapan Ryomen.
“Udah dibilang, jangan urusi apa-apa tentang Satoru.”
Geto, sang pemimpin kelompok tiba-tiba muncul. Ia sahut ucapan Zen'in.
Seketika semua pria dewasa di sana hening. Membiarkan Geto mengambil tempat duduk tepat di sebelah Fushiguro, di hadapan Ryomen.
“Bunuh aja mereka-mereka yang berseragam. Berpangkat. Kalo coba-coba halangin kita, habisi aja. Masalah Satoru, biar gue yang urus. Jangan coba-coba kalian ikut campur. Juga masalah Nanami, biar Mahito yang urus.”
Ketiga pria bawahan Geto hanya diam, sebagai tanda mengiyakan. Hanya Ryomen yang mengangguk pelan sebagai tanggapan dari ucapan Geto.
Geto pun beranjak dan berlalu.
“Yang pasti ada sesuatu di antara Geto dan Gojo. Yang mana siapa pun nggak mereka ijinkan buat tau,” Zen'in berbisik.
Papan catur hitam dan putih.
Geto dan Gojo itu sangat berbanding terbalik. Jika Geto adalah papan catur hitam, maka Gojo adalah papan catur putih. Jika Geto adalah yin, maka Gojo adalah yang. Geto itu hitam, Gojo itu putih.
Hitam rambut Geto, putih rambut Gojo. Panjang surai Geto, pendek surai Gojo. Tenang pembawaan Geto, enerjik pembawaan Gojo. Geto itu nakal. Tindik dan tato adalah sahabatnya. Rokok dan alkohol adalah kawannya. Sedangkan Gojo itu anak baik-baik. Bersih dari tindik dan tato, juga tak punya toleransi terhadap rokok dan alkohol.
Namun ada kalanya Geto adalah yang, dan Gojo adalah yin. Ketika mereka menghabiskan waktu berdua, melakukan hal privasi yang hanya mereka berdua tahu dan nikmati. Itulah saat ketika Geto berada di atas Gojo, dan Gojo berada di bawah Geto.
Berbicara tentang Geto dan Gojo, keduanya pernah membuat janji untuk tak saling mengecewakan. Keduanya setuju untuk lebih baik mati daripada dikecewakan.
Mungkinkah itu alasan Geto membunuh Gojo?
“Geto.”
Menolehlah Geto, ternyata Mahito memanggilnya. Terkadang Geto heran, kenapa Mahito suka tiba-tiba muncul di dekatnya. Tiba-tiba memanggilnya.
Geto menatap tangan Mahito. Sebuah dasi dengan corak macan tutul melilit tangannya.
Itu adalah dasi milik Kento Nanami, salah satu juniornya yang juga merupakan junior Gojo di sekolah menengah atas.
“Kalau diberi satu kesempatan untuk mengembalikan sesuatu yang pernah kita sesali, kamu mau balikin apa?” Mahito bersuara.
“Walaupun aku jawab apa pun selain Satoru, pasti jawaban hatiku adalah Satoru,” Geto menjawab.
“Lalu kenapa Satoru kamu bunuh?”
Geto masih melirik tangan Mahito. “Lalu kenapa Kento kamu bunuh?”
Mahito terhenyak. Sedikit tertegun, ia menunduk.
“Tahu, kan, Mahito? Rasanya urusan pribadi kita diungkit-ungkit, ditanya-tanya sama orang lain. It's annoying.“
Mahito menghela napas. Benar, Geto pasti punya alasannya sendiri. Sama hal dengan dirinya, bagaimana dia memiliki alasannya sendiri untuk membunuh Nanami.
“Tentang Satoru dan aku, biar jadi urusan kami. Biarlah orang-orang tebak tentang kami. Cuma kami yang tahu semua tentang kami.”
Freezing cold.
Biasanya Geto akan menyimpan jasad orang-orang yang dia bunuh di dalam ruangan pendingin. Geto itu tidak ceroboh. Membuang jasad ke sembarang tempat sama artinya dengan memberi umpan kepada aparat.
Lagi pula Geto tak ingin merugi. Jasad-jasad beku itu nantinya bisa ia jadikan objek jual beli. Limpahan uang akan ia terima dalam jumlah berarti.
Namun berbeda dengan jasad Gojo, Geto memutuskan untuk memumikan sahabatnya itu. Pakaian terbaik ia pakaikan pada tubuh Gojo, wewangian terbaik ia balurkan pada tubuh Gojo.
Gojo masih tampak menawan, meskipun tak ada lagi pancaran aura cerah seputih awan. Gojo sudah layu. Badannya telah membiru. Kulitnya dingin membeku.
Malam ini, pukul dua belas dini hari, masuklah hari ketiga pada bulan Februari. Hari di mana Geto bertambah usia, yang mana kini dirinya bukan tunas lagi.
Ingin ia habiskan malam hari ulang tahunnya bersama Gojo. Maka malam itu, lima belas menit sebelum jam menunjukkan dini hari, Geto telah duduk di sebelah jasad Gojo yang ia letakkan di dalam peti kaca.
Geto memakaikan setelan jas putih untuk Gojo, agar senada dengan rambut putih pria itu. Sedangkan dirinya sendiri mengenakan setelan jas hitam. Agar senada dengan rambutnya yang tak kalah legam.
Sekali lagi, Geto dan Gojo itu adalah hitam dan putih.
Lima belas menit berlalu, hari telah berganti. Usia Geto pun resmi bertambah.
“Satoru, kamu nggak bisa minum alkohol. Tapi karena saat ini kamu tidur, biar aku yang minum alkohol,” Geto mendentingkan gelasnya pada peti Satoru.
“Cheers, Satoru. Wish me a happy birth day.”