Purple Light District
Tags: geto x fem!reader, other jjkdilf as cameo, assassin, mafia, slight nsfw, weapons, fight, explosion, blood, bruises, gun, sword, knife, grenade, catcalling, harsh words & action, you and geto are working partners, written in bahasa, dialog semi english & nonbaku
Words: 3,3K+
“Thank you!”
Dirimu melangkah keluar dari minimarket sembari memakan es krimmu. Di tangan kirimu, terdapat kantong berisi belanjaan untuk kau jadikan stok bulanan.
Sore hari yang cerah, dengan santai kamu berjalan menyusuri trotoar menuju asrama tempatmu tinggal. Bibirmu bersenandung kecil, menikmati angin sepoi-sepoi sore hari itu. Sesekali kamu menyapa orang-orang yang berpapasan denganmu, tidak peduli kamu kenal dengan mereka atau tidak.
Masih asyik bersenandung, tiba-tiba dirimu mendengar suara orang sedang berbisik-bisik dari belakangmu. Jika kamu kira-kira, kemungkinan ada dua orang. Kamu pun memutuskan untuk mengabaikan saja. Hingga kemudian,
“Hoit! Cewek~”
“Wuih, pantatnya semok cuy!”
“Toketnya pasti gede ya, coba hadep sini dong, cantik~”
Kamu pun mendengus sebal. Es krimmu yang tinggal 1/3 itu pun kamu lempar ke dalam tempat sampah yang berjarak lima meter di depanmu. Kamu meregangkan sendi-sendi pada jarimu sebelum akhirnya berbalik dan berjalan cepat menghampiri dua orang di belakangmu.
BUGH! DUGH!
Mereka jatuh tersungkur. Satu laki-laki mendapat bogem mentah pada pipinya, satu lagi mendapat tendangan pada selangkangannya. Kamu mengusap buku-buku jarimu. Dirimulah yang memukul dan menendang kedua laki-laki asing itu.
Terlihat bagaimana mereka berusaha untuk bangun, namun kemudian dengan gerakan super cepat kamu raih lengan mereka untuk kamu pelintir.
“Akh!” Erang mereka kesakitan.
Tanpa rasa ampun, kamu bekuk kedua laki-laki itu hingga posisi mereka saat ini adalah tengkurap di atas trotoar.
“Fyuh, nyusahin aja deh,” kamu menghela napas. Satu kakimu kamu pijakkan pada punggung salah satu dari mereka.
“Abang-abang, kalo mau godain cewek itu minimal mandi. You looking like that, mana ada cewek yang mau? Dekil gitu,” ujarmu, masih belum melepaskan bekukanmu.
Terdengar bagaimana kedua laki-laki itu merintih dan memohon untuk dilepaskan.
“Mau liat toket? Paling enggak harus ada effort, lah. Jangan minta-minta doang. Lu ganteng dulu, kaya dulu. Baru dah,” lanjutmu.
Kamu pun melepaskan kedua laki-laki itu. “Dah sana, mandi dulu, ye?! Biar gak dekil. Keramas bang, biar rambutnya gak gimbal gitu. Oke?! Gak usah ganteng gak papa, paling enggak bersih, wangi, gak apek.”
Kedua laki-laki itu segera lari terbirit-birit, kabur untuk menghindar darimu.
CTUK!
“Hm?”
Sebuah kepingan kotak kartu jatuh dari sakumu. Kamu pun memungut kartu itu.
Y/N Xyz Assassination Organization Private Combat Division
Sebuah kartu identitas keanggotaan Xyz Assassination Organization, atau lebih umum disebut XAO. Kartu itu adalah milikmu, maka kamu pun segera menyimpan kembali kartu itu sebelum ada orang yang sempat mengetahui kartu apa itu.
CLAP CLAP CLAP
“Impressive. That’s my girl.”
Kamu menoleh ketika ada suara menginterupsi. Tapi setelahnya, bibirmu menyunggingkan senyum tipis ketika mengetahui dari mana suara itu berasal.
“That’s my girl that’s my girl, gue itu partner kerjamu, bukan pacarmu,” ucapmu.
Pria yang baru saja datang itu adalah Geto Suguru, salah satu partner kerjamu. Dia juga bekerja pada XAO, yang kebetulan pada periode ini berada dalam satu divisi denganmu.
Geto menghampirimu, dia meraih tanganmu. “Well, di divisi kita lu doang yang cewek. Makanya gue bilang ‘my girl’. Anyway, lu gak papa? Ada yang lecet?” Dia mengecek tanganmu. Sesekali tangannya akan memegang punggung, pinggang, dan pinggulmu.
Kamu pun menarik tanganmu. “Lebay ah. Ngehajar dua tusuk sate doang mah kecil.”
Geto tertawa mendengar ucapanmu. “They didn’t know yang di-catcall pembunuh bayaran.”
Kali ini kamu ikut tertawa. “Dah ah, yuk balik!”
Kamu pun mengangkat kantong belanjaanmu yang sempat terlantar itu. Lalu kamu menoleh ke arah Geto yang masih diam berdiri, yang ternyata masih sibuk membakar ujung batang rokoknya.
“Get, gak mau bantu bawaan ini gitu?” Kamu menyodorkan kantong belanjaanmu kepada pria berambut panjang yang diikat cepol itu.
Geto segera menghampirimu, mengambil alih kantong belanjaanmu, dan berjalan di sebelahmu. Kalian berdua pun kembali menuju asrama.
“Saya kurang tahu ini kelalaian siapa, tapi sebagian senjata kita di gudang telah dicuri.”
Pukul satu dini hari, beberapa anggota XAO sedang berkumpul. Termasuk dirimu dan Geto juga berada di situ.
“Mengungkit siapa yang salah menurut saya nggak penting sih, Sir. Tinggal gimana cara kita bisa dapetin balik itu senjata,” kamu menoleh ke arah Geto ketika pria yang duduk di sebelahmu itu membuka suara.
“That’s true, Geto. Good thing is we still got some traces left. Kita dapet jejak yang cukup jelas, nunjukin siapa pelakunya. Our Spy Division, mereka berhasil mengungkap siapa pelakunya dari jejak-jejak yang ditinggalin oleh pelaku,” kepala Weapon Division itu menanggapi ucapan Geto.
Pria yang telah menginjak kepala empat itu diam sejenak sebelum melanjutkan, “It was The Jaguar. ‘Anak’ dari Purple Light District’s Mafia.”
Purple Light District. Sebuah distrik malam yang dikenal sangat bebas di kota ini. Berita pembunuhan dan kasus kriminal lain yang berlokasi di distrik ini sudah tak lagi asing didengar.
Konon katanya, terdapat markas kelompok mafia di dalam distrik ini. Tak diketahui asal muasal kelompok mafia itu, yang orang-orang tahu adalah mereka menguasai hampir sebagian besar tempat-tempat di Purple Light District. Itulah mengapa mereka disebut Purple Light District’s Mafia atau PLD’s Mafia.
Namun nyatanya, walaupun memang adanya kelompok mafia yang bermarkas di distrik itu adalah fakta, tapi saat ini mereka telah pergi mengembara entah ke mana, meninggalkan markas mereka di Purple Light District untuk dilimpahkan kepada The Jaguar, salah satu dari sekian banyak ‘anak’ mereka. The Jaguar berisi sekelompok manusia yang telah dilatih dan dipercaya PLD’s Mafia untuk dijadikan tangan kanan mereka.
“The Jaguar tidak sebahaya PLD’s Mafia. Saya rasa, satu divisi saja cukup untuk menangani mereka. Untuk itu, atas instruksi dari Boss serta hasil diskusi dengan para kepala divisi, Private Combat Division, kalian yang kami tunjuk untuk turun ke lapangan.”
“Mafia, huh? Ini bakal agak merepotkan.”
Geto mengangguk setuju. “Terlebih ini PLD. Mereka bukan mafia ecek-ecek.”
Kamu melepas bajumu. Membiarkan payudaramu yang tak tertutupi bra itu terekspos dengan jelas. Tak peduli bahwa di situ masih ada Geto dan beberapa anggota Private Combat Division lain yang sedang bersiap-siap.
Dan Geto sudah biasa melihat pemandangan itu.
“Are you afraid?” Ucapmu sembari mengenakan jaket kulit anti peluru.
Geto menoleh, dia menyeringai tipis sembari menggeleng. “There’s no way.”
“But what if you die tonight?”
“Mau gue jawab jujur apa bohong?”
Kamu tertawa kecil mendengarnya.
“Well, kalo bohong, misal gue mati malam ini, gue nggak bakal ngapa-ngapain. Like, if I die, so I die. I can’t do anything about it. Lalu kalo jujur, before I die,” Geto menatapmu.
Ketika dirimu membalas tatapannya, dapat kamu rasakan lekatnya sorot mata pria itu. Kamu merasakan sesuatu, yang entah apa itu kamu pun tidak tahu.
Geto pun kembali membuka mulutnya, “I really want to have s—”
CKLEK
Pintu ruangan itu terbuka, menampakkan sosok pria paruh baya yang merupakan kepala divisi Private Combat.
“You guys have 10 mins before assemble. Siapkan diri baik-baik.”
“Yes, Sir!”
Setelah kepala divisi itu berlalu, kamu pun kembali menaruh perhatianmu kepada Geto yang tadi belum menyelesaikan kalimatnya.
“You wanna have what?”
Alih-alih menjawab, pria itu terkekeh. “Gak jadi.”
Kamu menggumamkan kata 'ancrit' sambil ikut terkekeh kecil.
Setelah pakaianmu siap, kamu pun mengambil pistolmu yang masih belum diisi peluru itu. Kamu lihat Geto baru saja selesai mengikat tali boots-nya.
Kamu menghampiri Geto sembari membawa pistolmu. Tanpa mengatakan apa-apa, kamu duduk di pangkuan pria itu, menghadap dirinya.
“Hm?”
Kamu todongkan ujung pistolmu pada dada Geto. “Isiin peluru.”
Geto mengambil pistolmu. “You can do it by yourself,” walau begitu dia tetap mengisikan peluru ke dalam pistolmu.
Kamu tersenyum. “Thanks!”
Para kru Private Combat Division memasuki sebuah gang dengan penerangan yang didominasi warna ungu. Walaupun dini hari, masih terdapat banyak kehidupan di Purple Light District.
“Menurut petunjuk dari anak divisi Spy, The Jaguar headquarter ada di dalam Palmera Club. Jadi kita kudu masuk dulu ke situ. Nanti di lantai 2, deket room no. 39, ada pintu tersembunyi di balik pot bunga gede. Pintunya nyatu sama tembok, kayak, nyatu banget. Jadi kalau nggak jeli, nggak bakal keliatan,” Geto memberi penjelasan kepada kru yang turun dini hari itu. Kali ini dirinya diberi kepercayaan untuk menjadi pemimpin kru.
Untuk penyamaran, para kru malam itu mengenakan baju biasa di atas pakaian tempur mereka. Senjata yang mereka bawa pun telah mereka sembunyikan dengan sedemikian, sehingga jika dilihat dari luar, mereka terlihat seperti pengunjung biasa.
“Ah…, ini masuk ke club, kah? Gue gak bisa minum alkohol,” salah satu anggota kru berceletuk. Dia adalah Gojo Satoru, yang merupakan ahli senjata ledak.
“We’re not gonna drink tonight. Bro, kita mau perang, masa ya perang dalam keadaan mabok?” Sahut Geto.
“Ada rumor bilang orang mabok tenaganya lebih gede daripada orang lagi gak mabok,” satu lagi anggota kru bersuara, dia adalah Haibara Yuu.
“Rumor dari mana, anjing? HAHAHAHAHA asbun aja lu!” Kru lain yang bernama Ino Takuma menimpali dengan tawa kencang.
Kamu ikut tertawa kecil mendengar banyolan rekan-rekanmu. Setidaknya biarkan saja mereka bergurau sebelum akhirnya harus mempertaruhkan nyawa.
Akhirnya para kru termasuk dirimu pun memasuki Palmera Club, salah satu klub diskotik paling tua di Purple Light District.
“Can we book a whole room for us?” Ujar Geto kepada seorang waiter.
“Sure, how many people?”
“Seven.”
“Okay, Sir. Available rooms are room no. 02, room no. 11, room no. 26, and room no. 39.”
“We’d like to take room no. 39.”
Waiter itu pun menuliskan pesanan Geto, lalu menunjukkan jalan menuju ruangan no. 39. Sesampainya di sana, kedatangan mereka disambut oleh dua orang waiter yang juga telah menyediakan daftar menu.
“Foods and beverages?”
“Bro, asli kita gak boleh minum? Minimal bir lah,” Sukuna, salah satu anggota kru yang berdiri di sebelah Geto berbisik pada pria rambut panjang itu.
“No, thanks. We’ll order later.”
Kedua waiter itu pun membungkuk, kemudian berlalu meninggalkan ruangan. Sementara itu, Sukuna mendengus sebal sambil menatap Geto dengan tatapan datar.
“Gak asik,” gerutunya.
“I heard that,” Geto menyahut.
“Now what?” Kali ini kamu yang buka suara. Kamu menyilangkan kedua lenganmu di depan dada sembari menyandarkan punggung pada dinding. Satu batang rokok terselip di antara kedua bibirmu.
“Strategi udah deal semua, kan? Ya udah, tinggal cus,” jawab Geto.
Lalu tanpa menjawab apa-apa, dengan santai kamu berjalan menuju pintu, membukanya, dan keluar dari ruangan itu.
“Agh, dammit. That girl,” dengus Geto, berjalan menyusulmu keluar.
“Wajar bosku, cewek sendiri. Susah ditebak, seenaknya sendiri,” celetuk Sukuna.
“Jangan banyak omong, ayo,” sahut Geto, nada bicaranya terdengar sedikit lebih dingin.
Ketika Geto sudah sampai di luar ruangan, dia melihat pintu yang dia maksud sudah terbuka lebar. Kamu ada di depan pintu itu, pot besar yang menghalangi pintu itu juga telah tergeser jauh.
“How—”
“Yang ini, bukan? Pintunya,” kamu menoleh ke belakang, menatap Geto.
“U-uh, yes, that one—”
“Ya udah, ayo. Tunggu apa lagi?” Kamu pun bergegas melangkah melewati ambang pintu itu, diikuti Geto dan yang lain di belakangmu.
Ruangan di balik pintu itu hitam pekat, gelap gulita. Salah satu anggota kru bernama Choso menyalakan senter dari ujung bolpoin yang dia bawa sebagai penerangan.
Kamu dan anggota kru yang lain menyusuri lorong dengan tangga yang membawa kalian menuju ruang bawah tanah. Di sepanjang dinding terdapat lukisan jaguar dari spray paint.
Semakin mendekati ujung lorong, Geto memerintahkan Choso untuk mematikan senter karena di ujung sana mereka melihat cahaya ungu remang-remang.
“It’s them. They’re here,” bisiknya.
Kamu dan orang-orang bersamamu berjalan makin mendekati ujung dari lorong. Kamu mendengar samar-samar suara beberapa orang yang sedang bercengkerama. Juga beberapa bunyi benda keras yang diletakkan.
“Di ruangan itu,” Geto menunjuk sebuah pintu baja yang berada di sudut ruangan. “Mereka nyimpen curian senjata di sana. Mei told me.”
Mei Mei, wanita itu adalah salah satu anggota andalan dari Spy Division XAO. Semua informasi tentang The Jaguar, sebagian besar didapat dari Mei.
Kamu melihat ada banyak orang di sana. Mungkin sekitar hampir tiga puluh. Untuk menuju ke pintu baja itu, artinya harus menghabisi mereka terlebih dahulu.
“Let's go.”
Sukuna, Choso, dan Ino mulai bergerak secara diam-diam. Mengikuti gelapnya bayangan, mereka mendekati orang-orang The Jaguar yang dini hari itu sedang bersantai.
Tanpa suara, seperti tak terjadi apa-apa, beberapa orang The Jaguar tumbang satu persatu. Entah trik apa yang mereka lakukan, yang pasti orang-orang The Jaguar yang lain mulai terlihat kebingungan.
“Yo, what the fuck is happening?!”
“Kita diserang!”
Sukuna, Choso, dan Ino yang maju lebih awal tadi mulai menunjukkan diri. Pertarungan pun dimulai.
Sementara empat kru yang lain,
“Gue sama Haibara bakal ikut maju. Gojo, Y/N, kalian berdua nanti langsung ke pintu baja itu, amanin senjata. I trust you guys,” ucap Geto memberi komando.
“Sebenernya gue pengen perang, sih.”
“Yah, padahal gue paling oke kalo masalah ngebobol pintu.”
Kamu dan Haibara berkata secara bersamaan.
Mendengarnya, Geto diam sejenak. Sebelum akhirnya pria itu berkata lagi, “Well, ya udah kalo gitu Haibara pergi sama Gojo. Y/N, lu sama gue. Let’s go!”
Kamu bersama tiga yang lain segera bergerak sesuai instruksi. Kamu bersama Geto, dirimu segera beraksi dengan pistolmu, sementara Geto bergerak lincah dengan pedang dan belatinya, menebas kepala dan anggota tubuh orang-orang The Jaguar tanpa ampun.
Saat ini dirimu berada di tempat tersembunyi, menembaki orang-orang The Jaguar dari jauh. Namun ketika dirimu melihat empat yang lain di sana mulai kewalahan, kamu pun memutuskan untuk bergabung dengan mereka.
Dengan kemampuan yang sudah terlatih, kamu mengombinasikan hand combat dengan tembakan pistol. Beberapa orang The Jaguar berhasil tumbang di tanganmu.
Kemudian ada satu orang The Jaguar yang mendekatimu. “Hai, cantik,” orang itu menyeringai, dengan cepat menjambak rambutmu dan menariknya ke belakang.
Gerakan orang itu sangat cepat, hingga dirimu tak sempat untuk menangkis. Kepalamu pun dibenturkan ke dinding.
“Ssshh,” desismu menahan rasa pening di bagian belakang kepalamu.
Ketika orang itu mendekat lagi—dengan gerakan yang sangat cepat—dirimu segera bergerak menghindar, berpindah menuju blind spot orang itu, dan mencengkeram kerah bajunya dari belakang. Ya, kali ini dirimu tak kalah cepat dengannya.
Kamu tarik kerah orang itu dengan kencang, membantingnya ke lantai. Tanpa basa-basi, kamu tembak kepala orang itu.
“Fuck you,” kamu meludahi muka orang itu sebelum beranjak.
Sementara itu, Geto dan yang lain masih bergerilya. Tanpa mengurangi kewaspadaan, kamu menyempatkan diri untuk mengamati mereka, terutama bagaimana lincahnya Geto beraksi.
Tanpa sadar senyuman tipis terukir pada bibirmu. Kamu bergumam, “He’s cool.”
“Uh?” Matamu pun menangkap seorang The Jaguar yang mengarahkan senapan pada Sukuna, yang saat itu sedang fokus pada orang The Jaguar yang lain.
Kamu pun berlari menuju orang yang membawa senapan itu.
“Sukuna! Awas kepala!”
DOR! BUGH!
Kamu berhasil memberikan headlock dan menendang senapan orang itu. Namun begitu, peluru masih berhasil ditembakkan.
“Aw,” dan Sukuna sendiri mengusap daun telinganya yang berdarah, nampaknya tergores peluru dari orang The Jaguar itu.
Sebuah belati kamu ambil dari dalam jaketmu. Dengan cepat, kamu tusukkan belati itu tepat mengenai jantung orang The Jaguar tanpa sempat dia bertindak apa-apa.
“Y/N!” Itu Sukuna yang memanggilmu. “Thanks!”
Kamu mengangguk. “Be more careful next time!”
“Sip!” Pria bertato itu mengacungkan jempolnya.
Sebagian besar orang The Jaguar telah berhasil ditumbangkan. Menyisakan empat orang petinggi kelompok itu, sementara tujuh anggota kru Private Combat Division dari XAO menyembunyikan diri.
“Kemana mereka sekarang?”
“They must be hiddin’, Boss.”
Coral, bos dari The Jaguar itu menyesap rokoknya. “XAO, huh?” Pria paruh baya itu pun menghembuskan kepulan asap dari mulutnya. “That organization is a real pain in the ass.”
Sementara itu di tempat persembunyian,
“Gue tau lu semua capek kalo gelut mulu, kan? Apalagi tinggal bosnya ni cuy, bakal rada susah dikit,” Gojo, spesialis senjata ledak itu berujar.
“Kalo boleh jujur sih iya cog, gue capek,” jawab Sukuna, yang saat itu lengannya yang terkena luka tusuk sedang diperban oleh Choso.
“Kasian Una sih, udah luka banyak,” celetuk Choso, seorang ahli racun dan bius.
Gojo pun mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya. “That’s why gue udah siapin ini. Cepet, praktis, deadly,” ucapnya.
Sebuah granat.
“Jangan bilang lo mau ledakin tempat ini?” Geto bersuara.
“Ya, iya. Emang granat buat apa lagi kalo bukan buat diledakin? Dibuat sepak bola, kah?” Jawab Gojo, masih sempat bergurau.
“Lu gila? Trus orang-orang yang kerja di klub ini sama pengunjungnya gimana?” Kali ini kamu yang bersuara.
“Tenang aja, semua udah dievakuasi sama Ino. Tanpa terkecuali, ” Gojo menjawab lagi.
“What about the weapons?” Lagi, Geto bertanya.
Dan Gojo menyahut sambil mengacungkan jempol, “Udah diamanin Haibara.”
Ah, benar. Itulah kenapa saat ini Ino dan Haibara tidak ada bersama kalian berlima.
Setelah berpikir dan berdiskusi singkat, kalian memutuskan untuk menyetujui ide Gojo. Maka dari itum Gojo pun mulai merakit granatnya.
“Nah, ini tinggal lempar. Lima detik, dia meledak. Sebelom gue lempar, lu pada buruan lari. Temuin Ino sama Haibara di deket John’s Bakery. Kalo udah di sana, kasih gue sinyal,” ujar pria berambut putih itu.
“Terus elu?” Terlihat raut wajah Geto yang sedikit ragu bercampur khawatir.
“Come on, man. Gue bisa lari lebih cepet dari lima detik,” jawab Gojo, terlihat begitu santai.
Namun tetap saja keempat yang lainnya terlihat sedikit ragu. Terlebih ketika mendengar waktu ledak granat itu hanya lima detik. Yang mana artinya, Gojo harus sudah berada di luar gedung sebelum lima detik.
Dan Gojo, dia menyadari kekhawatiran kawan-kawannya. Dia pun tertawa kecil. “Come on, don’t you guys trust me? Waktu kita nggak banyak.”
Akhirnya keempat yang lain pun segera beranjak. Kamu menyempatkan diri untuk menepuk pundak tinggi pria rambut putih itu.
“Lu harus janji, jangan mati. Sampe lu mati, gue sumpahin lu disiksa di alam baka,” ucapmu.
Menanggapinya, Gojo tertawa lagi. “Siap, bos!” Balasnya.
Maka dari itu, dirimu bersama Geto, Sukuna, dan Choso bergegas keluar dari gedung Palmera Club, menyusul Ino dan Haibara yang telah menunggu di John’s Bakery. Meninggalkan Gojo seorang diri yang telah bersiap dengan granatnya.
Kalian berlima telah bergabung dengan Ino dan Haibara. Beberapa orang yang bekerja pada Palmera Club juga berada di sana. Sesuai dengan permintaan Gojo, Geto pun memberi sinyal kepada Gojo menggunakan walkie talkie.
1 detik..
2 detik..
3 detik..
Belum terlihat batang hidung pria super jangkung itu.
4 detik..
“That bastard…,” gumam Geto gelisah.
5 detik.
BOOM!
Suara ledakan terdengar dari bawah tanah gedung Palmera Club.
Geto merosot, dia berlutut dengan lemas. Dan kamu pun berinisiatif menghampiri pria itu, ikut berlutut untuk mengelus pundaknya.
“Masih ada harapan,” ucapmu lembut. “Grenade isn’t as powerful as bomb. Besides, Gojo itu ahli senjata ledak. He sure knows what he’s doing. Don’t underestimate him.”
Perlahan, gedung Palmera Club mulai runtuh. Hal ini karena fondasi dan kolom yang menahannya di bawah tanah diledakkan.
Dan Gojo, pria itu belum juga terlihat keluar dari sana.
Geto pun beranjak untuk berdiri. “Kita tunggu dia sepuluh menit. Kalo belum keluar, well…, dengan berat hati, we go home without him.”
“OI! GUYS!”
Seketika enam anggota kru menoleh, lantaran mendengar suara yang begitu familiar. Senyum kalian merekah, bahkan Sukuna sampai bersorak girang, melupakan rasa sakit yang dia rasakan pada lengannya yang terluka.
Dia adalah Gojo, muncul dengan beberapa bagian baju yang sobek dan pipi serta lengan yang lebam. Dengan riang dia berlari menuju John’s Bakery sambil melambai-lambaikan tangannya.
“I didn’t make it in five seconds, but I still managed to escape. Heheh,” dia berkata ketika telah sampai ke tempat rekan-rekannya berada.
“Njing, lu bikin gue mau komplikasi, dah. Udah tensi naik sampe hampir hipertensi, perut mules, kepala pening, badan lemes, susah napas, ginjal gue lemah sampe kebelet kencing, sendi gue letoy, jantung gue rasanya sampe mau kena heart attack,” tak henti-hentinya Geto mengomel sambil memukuli badan Gojo yang sudah babak belur karena tertimpa runtuhan bangunan itu.
Private Combat Division dari XAO berhasil menjalankan misi mereka hari ini. Sebelum matahari terbit, mereka melakukan pesta kecil-kecilan untuk merayakan keberhasilan mereka.
Sekitar pukul 5 pagi hari, dirimu berjalan menyusuri lorong asrama XAO bersama Geto yang merengkuh pinggangmu.
Kalian berdua sedikit mabuk.
Seorang pria dengan rambut pirang berpapasan dengan kalian.
“Great job, guys. Congratulations. Nanti siang kalian diminta untuk ketemu Boss. Beliau mau kasih kalian penghargaan. Tolong sampein ke anggota divisi yang lain, oke? Thanks,” pria itu berlalu setelah melayangkan senyuman tipis.
Dia adalah Nanami Kento, salah satu anggota Civil Safety Division dari XAO.
Geto mendekatkan bibirnya pada telingamu. “What did that blondie say? Gue gak nangkep.”
Kamu terkekeh, lalu menggeleng kecil. “Me too, I didn’t hear him.”
Kemudian tangan Geto terulur untuk meraih resleting jaketmu, dengan perlahan dia tarik turun. Tangannya menyusup masuk ke dalam jaketmu dan meremas gundukan di dalam sana.
“Ahh, lu ngapain?” Kamu mendesah lirih.
“Yang gue pengen bilang waktu itu,” Geto bersuara dengan parau. “My wish before I die, it is to have sex with you.”
Mendengarnya kamu tertawa. Tanpa menanggapi ucapannya, kamu tarik lengan pria itu menuju kamarmu. Sesampainya di sana, kamu dorong badan kekar Geto hingga pria itu setengah berbaring pada ranjangmu.
Kamu pun mendekat.
“Do whatever you want. You never know when you’ll die,” bisikmu dengan nada nakal.
.
.
.
End.