Scar and The Past

“Gimana? Udah mendingan?”

Hyunjin mengangguk. Badannya sudah jauh lebih dingin sekarang. Tadi, ketika ia diserang mini heat, dengan sigap Chan membopongnya ke kamar dan membantunya menenangkan diri.

Ia juga telah berganti baju, dibantu oleh Chan.

“Kak Chan.”

“Iya?”

Hyunjin diam sejenak. Ia tatap pria yang duduk bersila di karpet, berada di seberangnya. “Aku ini nyusahin gak, sih?”

Chan balas menatap Hyunjin. “Kenapa mikir gitu?”

Kali ini pandangan Hyunjin turun ke lengan bawah Chan yang terekspos—karena pria itu mengenakan kaos lengan pendek. Ada beberapa bekas luka gigitan di sana. Beberapa sudah mengering, beberapa lagi masih baru dan basah.

“Itu, tangan Kak Chan. Tadi, Kak Chan gigit tangan sendiri lagi?”

“Oh, hihi,” Chan langsung sembunyikan lengannya di balik punggungnya. “Gak papa ini mah, diobatin juga sembuh udah.”

Hyunjin masih ingat jelas bagaimana ketika Chan membantunya menenangkan diri. Jelas-jelas alpha itu sekuat tenaga menahan diri demi dirinya. Sekuat mungkin menahan sisi buasnya agar tidak keluar, demi menjaga kehormatannya. Bahkan sang alpha rela terluka demi melampiaskan dorongan untuk melakukan biting mark, alih-alih alpha itu menggigit lengannya sendiri.

Jika Hyunjin tersiksa karena panas, Chan lebih tersiksa karena menahan sakitnya dorongan dari dalam sisi buasnya.

“Selalu gitu,” ucap Hyunjin, cemberut.

“Well, kamu minta tolong aku. Aku bisa apa selain nolong kamu?” Chan menanggapi. “It's not like I can resist you.”

“Kenapa gitu?”

Chan menyadari perkataannya barusan, ia keceplosan. “Um, gak ada. Hehe. Aku asbun aja tadi. Well, mau makan? Aku bawain makan mau?”

“Kak Chan tuh kebiasaan.”

Baru saja Chan akan berdiri, gerakannya tertahan lagi karena ucapan Hyunjin.

“Masih di tengah-tengah obrolan serius, selalu ngalihin topik.”

Kemudian Chan duduk lagi. Namun ia memilih untuk diam, ia biarkan Hyunjin mengatakan apa yang ingin omega cantik itu katakan.

“Kak Chan kenapa mau tolongin aku terus? Padahal kalo emang Kak Chan keberatan, Kak Chan bisa nolak,” Hyunjin kembali berujar.

“Um,” Chan mengusap tengkuknya. “Aku sendiri juga gak tau pasti alasannya. Yang jelas, aku gak bisa nolak aja. Aku juga gak tau kenapa.”

Benarkah seperti itu?

Nyatanya tidak.

Suatu malam, Chan pernah melihat Hyunjin menangis di balkon kamarnya. Waktu itu Chan memang pulang malam karena harus menyelesaikan urusan organisasi di kampusnya. Ketika sampai di kost, ia lihat Hyunjin yang terduduk sendirian. Mata alphanya yang tajam dapat melihat mata sang omega yang basah, juga bau manis sang omega yang berubah menjadi keruh.

Chan tahu saat itu pasti ada yang sedang mengganggu perasaan Hyunjin.

Dan instingnya mengatakan untuk menghampiri sang omega.

Maka ia hampiri kamar Hyunjin, ia ketuk kamarnya. Lama ia menunggu untuk dibuka, hingga akhirnya Hyunjin luluh dan memilih untuk membukakan pintu. Mungkin saat itu juga ia sudah lelah menangis seorang diri, ia butuh seseorang untuk bersandar.

“Hyunjin kenapa nangis?” Ucapnya sembari memeluk sang omega.

Tak ada jawaban. Hingga singkatnya, ketika akhirnya tangisan Hyunjin sudah mereda, omega itu bercerita.

Sedari kecil Hyunjin mendapat perlakuan buruk di lingkungan sekolahnya. Alasannya tak lain adalah karena dirinya terlahir sebagai seorang omega, dimana pada saat itu omega laki-laki seperti dirinya dianggap sebagai makhluk rendahan. Dengan kata lain, laki-laki yang gagal.

Hyunjin tidak pernah mendapat teman baik. Sering mendapatkan cemoohan dan tindakan bullying. Tak jarang ia harus kabur dari sekolah dan sembunyi, mengonsumsi suppressant untuk menekan feromonnya hingga overdosis demi menghindari alpha-alpha tidak bermoral yang sedang rut. Beberapa kali ia harus dilarikan ke rumah sakit karena mengalami overdosis.

Lalu semua membaik ketika dirinya lulus dari sekolah menengah atas dan masuk ke dunia perkuliahan. Dunia perkuliahan lebih terbuka menerima dirinya. Ditambah ia bertemu dengan Chan dan yang lain, teman-teman kostnya yang baik dan menyenangkan.

Tapi suatu saat, ketakutannya terjadi lagi. Di suatu tempat, ia bertemu dengan beberapa alpha berkeliaran di tengah jalan. Satu di antaranya sedang rut, sisanya terlihat sedang mabuk. Mereka mengejar Hyunjin, walau akhirnya Hyunjin bisa kabur dan bebas. Ia sampai di kost dengan selamat walau keadaan mentalnya sangat hancur.

“Kak Chan jangan jahat kayak mereka..”

Tentu saja, mana mungkin Chan tega berperilaku brengsek terhadapmu, Hyunjin?

Sungguh hati Chan tersayat ketika mendengar cerita hidup Hyunjin. Dari situ ia berjanji, setidaknya dirinya akan menjadi tempat Hyunjin untuk mengadu, berkeluh kesah, tempat untuk pulang.

Karena itu pula, Chan tidak pernah bisa menolak jika Hyunjin meminta bantuannya, entah apa pun itu. Chan ingin Hyunjin tahu bagaimana rasanya disayangi dan dianggap berharga.

“Kak? Malah ngelamun,” Hyunjin terkekeh kecil.

Chan balas terkekeh. “Oh, enggak. Itu, inget sesuatu dikit.”

“Oh ya? Apa itu? Aku boleh tau?” Hyunjin menggeser duduknya hingga kini dirinya berdekatan dengan Chan.

Chan memberanikan dirinya untuk mengulurkan tangan, ia usak lembut rambut panjang Hyunjin. “It's just something in the past. Yang pasti gara-gara itu, aku cuma pengen kamu rasain bahagia terus. Aku gak mau liat kamu susah, sedih lagi. You had enough with those. Jadi kalo aku bantu kamu, udah, kamu diem. Jangan komplain, oke? Aku lakuin itu karena emang aku mau.”

Mendengar itu Hyunjin menunduk. Wajahnya memerah, senyum manis mengembang di bibirnya. “Padahal dengan dikelilingi temen-temen baik di sini aja udah lebih dari cukup.”

“Tapi aku pengen kamu dapet lebih.”

Hyunjin mendongak, ia tatap Chan. “E-eh?”

Chan tersenyum. “Udah lah, apa-apa yang aku kasih ke kamu, terima aja. Aku pengen kamu tau gimana rasanya dimanja. Dulu kamu gak pernah dapetin itu, kan? Makanya aku mau kamu rasain itu. Aku mau kamu tau gimana rasanya ada orang yang selalu ada buat kamu. Ngerti?”