Swapping Spit

a sugusato oneshot.

Tags: ciggarette, bubble gum, kissing, deep kiss, spit, suguru and satoru are friends with benefit (kinda), romantic friendship, boyslove, dialog non baku & semi eng

Words: 1,1K+


“Sebat itu…, apa enaknya, sih?”

Dua orang laki-laki yang sama-sama baru saja menginjak usia dewasa tengah berada di sebuah balkon. Matahari kemerahan yang beranjak terbenam itu menemani mereka.

“Once you taste it, you’ll know it.”

Mereka adalah Geto Suguru dan Gojo Satoru.

Yang bersurai putih memiringkan kepalanya. Sebuah gumaman “hm?” lirih keluar dari bibir merah mudanya.

Yang bersurai hitam melirik lawan bicaranya. “Tapi menurut gue mending lu jangan coba, deh. Once you try it, you’ll get addicted to it.”

Geto, si surai hitam. Lelaki itu menyesap lintingan tembakaunya, lalu menghembuskan kepulan asap dari mulutnya. “And it’s hard to stop it.”

Gojo, si surai putih. Ia geser kursi plastiknya untuk mendekat kepada Geto. Tangannya menepuk pundak lelaki itu, membuat Geto menoleh kepadanya.

“Mana yang lebih adiktif? Sebat?” Gojo menunjuk rokok yang terselip pada jari Geto, “atau—” kemudian ia tunjuk bibirnya, “—ini?”

Geto terkekeh. Jika Gojo sudah bertingkah seperti itu, dia lebih dari paham, ada sesuatu yang diinginkan sahabatnya itu.

“You won’t like it, Satoru. My spit would taste like a burnt tobacco.”

“Gue belom coba. Gimana gue bisa tau? Beside, gue cuma tanya mana yang lebih adiktif. Rokok, atau bibir gue,” Gojo menyahut.

Kemudian Suguru meletakkan rokoknya yang tersisa setengah itu pada asbak. “Well, both are addictive. But it’s different. Kalo rokok, ketika mulut gue sepet, gue bisa isep kapan aja. Kalo bibir lo, ketika mulut gue sepet, well, lu gak 24 jam selalu ada sama gue.”

Gojo mendengus. “Gue pindah rumah, deh. Biar serumah sama elu. Biar bisa 24 jam sama elu.”

“Kalo gue gak mau?” Geto mengangkat sebelah alisnya, tentu saja bercanda.

Tiba-tiba Gojo beranjak, ia menghampiri Geto dan berdiri di hadapan lelaki itu. Selanjutnya, ia dudukkan pantatnya pada paha Geto dengan posisi wajahnya berhadapan dengan lelaki yang lebih muda 2 bulan darinya itu.

Gojo menarik leher Geto, ia tubrukkan bibirnya di atas bibir Geto. Ia kulum, ia sesap. Ia paksa Geto untuk membuka bibirnya.

Geto sendiri tersenyum di dalam ciuman itu. Hal semacam inilah yang ia suka dari Gojo. Ia biarkan Gojo melakukan apa pun sesukanya, ia memilih untuk menikmati hal yang ingin ditunjukkan oleh sahabatnya itu.

“Gue bisa kasih hal kayak gini setiap hari. Masih gak mau tinggal sama gue?” Gojo berucap dengan napas sedikit terengah setelah melepas tautan bibirnya pada bibir Geto.

Geto terkekeh. “Lu kedengeran kayak manusia hopeless romantic.”

Tiba-tiba Gojo meletakkan kepalanya pada pundak Geto, membuat dirinya sendiri rileks dalam posisi seperti itu. “Well, I am. Suguru…,” jari telunjuknya membuat pola-pola abstrak pada dada Geto.

“Come on…, just let me live with you,” bibirnya sedikit mengerucut.

“You know, Satoru. It’s not like I don’t let you live with me. Gue akan suka banget kalo lu tinggal sama gue. It’s just, lu tau sendiri gue perokok berat. Dan lu bukan perokok. Gue khawatir aja paru-paru lu bakal kenapa-napa gara-gara gue,” Geto menanggapi ucapan Gojo.

“Well, gue kesepian. Di rumah segede itu, gue tinggal 'sendirian', it feels like a hell, man.”

Geto paham betul tentang latar belakang keluarga Gojo. Lahir dan tumbuh di dalam keluarga konglomerat, yang mana hal itu terkadang membuat Geto iri.

Tetapi setelah mendengar keluh kesah Gojo tentang betapa kakunya tradisi dan tata krama di lingkungan keluarganya, membuat Geto harus berpikir dua kali jika ingin menaruh rasa iri.

Dia adalah lelaki yang benci di kekang.

Dan Gojo lebih benci lagi. Bagi seorang Gojo Satoru, kebebasan adalah segalanya. Itulah kenapa Gojo tidak suka berada di rumah, dan lebih sering memilih untuk mengunjungi apartemen sederhana Geto dan menghabiskan waktu bersama lelaki itu.

“Lu gak papa kepapar asap rokok?”

Gojo menghela napas, membuat leher Geto terasa digelitik.

“Lebih baik dari pada diatur mulu di rumah.”

Tangan Geto pun terangkat untuk mengelus kepala Gojo. “Live with me, then. Tapi bantu bayar billsnya.”

“Of coooourse, gue bayar tagihan apart lu, lu bayar tagihan listrik, air, sama wifi. Gimana?” Gojo menanggapi.

“Tagihan air, listrik, sama wifi udah jadi satu sama tagihan apart, sih.”

Iseng, tangan Gojo menyentuh area selangkangan Geto.

“Anj—lu ngapain?” Geto tersentak, sementara Gojo terkikik. “We’re in the middle of convo with serious topic, for a God’s sake.”

“Hehehe, gue denger kok, Suguru ganteng. Ya udah, nanti bayarnya split bill aja. Atau mau giliran, kayak bulan ini gue, bulan depan elu, bulan depannya lagi gue, dan seterusnya. Terserah lu deh, atur aja gimana enaknya,” ujar Gojo.

Geto mengangguk. “Oke, gampang deh nanti. Lu pikir-pikir lagi aja, mau beneran pindah ikut gue apa enggak. Sekarang mending lu bantu gue buat,” ia menggantungkan kalimatnya.

“Hm?” Dan Gojo pun mendongak untuk menatapnya.

“Kurangin kebiasaan gue nyebat,” lelaki bersurai hitam itu mengelus bibir yang bersurai putih, “with this.”

Gojo tak bisa untuk tak menarik sebuah senyuman pada bibirnya. Tepat ketika wajah Geto mulai mendekat, ia mengacungkan jari telunjuknya.

“Ah! Gue punya ide,” ia pun mengambil sesuatu dari saku celananya, mengundang kerutan penuh rasa penasaran dari Geto.

“Bubble gum?”

Gojo mengangguk antusias. “Yap! Kalo mulut gue sepet, gue biasa ngunyah permen karet. Gue gak tau di elu bakal works atau enggak, tapi apa salahnya coba, ya kan?”

Lelaki bersurai putih itu pun mengupas bungkus permen karetnya. Satu butir ia masukkan ke dalam mulutnya.

Geto menatap Gojo kebingungan. “I thought you were gonna help me?”

Gojo meletakkan jari telunjuknya pada bibir Geto. Setelah beberapa kali mengunyah, ia tarik lagi tengkuk Geto untuk menyatukan bibirnya dengan bibir pria itu.

Dapat Geto rasakan bagaimana lidah Gojo yang memaksa masuk ke dalam sela-sela bibirnya, seakan tak sabar untuk memintanya membuka mulut.

Dan dengan senang hati Geto ladeni. Ia buka mulutnya, membiarkan lidah Gojo menelusup dan mengeksplor rongga mulutnya.

Ludah Gojo terasa sedikit manis, mungkin karena gula dari permen karet yang masih belum hilang itu.

Gojo pun mendorong permen karet di mulutnya untuk ia pindahkan ke dalam mulut Geto. Setelah gumpalan elastis itu berpindah, ia kulum sebentar bibir Geto, lalu ia hisap sebelum akhirnya ia lepas tautan bibirnya pada bibir Geto.

Ah, jadi begini cara Gojo.

Gojo tersenyum ketika melihat lelaki di hadapannya mengunyah permen karet darinya. Kemudian senyumnya berubah menjadi kekehan.

“Lu gak bohong, Sug. Your spit really taste like shit. Rasanya kayak gue ngemut abu.”

Geto ikut tertawa. “Kan juga udah gue bilang tadi.”

Gojo pun membuka satu lagi bungkus permen karet yang masih baru dan mengunyahnya untuk menghilangkan rasa rokok dari ludah Geto.

“Tapi gue paling suka ciuman sama elu. Aaaaaaaaaagh! Nagih pokoknya hehehehe, nanti mau lagi, ya?” Ujarnya kemudian, ditanggapi tawa gemas dari Geto.

“At least kalo pengen ciuman bilang dulu, biar gue bisa ilangin dulu bau rokok di mulut gue.”

“Aih.., Suguru, why so sweet?” Gojo menoel pipi Geto.

“It’s a bare minimum?” Sahut Geto.

“Tetep aja.”

Geto tertawa, sekali lagi. Kedua lengan bebasnya pun berinisiatif untuk melingkar pada pinggang Gojo.

“Thanks, anyway. It was sweet, Satoru. I like it,” ucapnya sebelum mengecup sekilas bibir Gojo.