tulisan mamat

Chan memang biasa menjaga toko milik ayahnya karena selain punya toko, ayah Chan juga merupakan seorang ketua RT. Jadi lumayan sering sibuk mengurus lingkungan RT, lah.

Sedangkan ibunya masih cukup muda, beliau setiap hari bekerja di rumah makan milik beliau dari pagi hingga malam.

Chan sendiri sudah lulus SMK sejak dua tahun yang lalu, dan dia lebih memilih untuk kerja. Awalnya dia ikut di bengkel milik kakak kelasnya, namun tak lama kemudian dia dan teman-temannya yang tak lain adalah Lino dan Abin pun patungan untuk membuka bengkel sendiri.

Karena ketiga orang itu menjaga bengkel secara bergilir, sehingga Chan lebih sering gabut di rumah. Dan ketika gabut seperti ini lah Chan biasanya berisiatif untuk menjaga toko milik ayahnya. Anak yang baik.


Seperti siang ini, Chan melihat ada anak laki-laki dengan seragam SMA sedang duduk di motornya yang diparkir di trotoar dekat toko ayahnya. Helm anak itu dilepas sehingga dia bisa melihat rambut anak itu panjang sebahu dan berwarna pirang.

'Keren juga, sekolah mana tuh ngebolehin rambut siswanya pirang,' batin Chan.

Sebentar-sebentar Chan melirik anak itu. Cantik. Visualnya menarik. Diam-diam dia berharap anak itu agar mampir ke tokonya.

Meet Him Again After Thousand Years

Hyunjin menyukai Chan sudah lama, sejak mereka masih menjadi teman dari Hyunjin menduduki bangku taman kanak-kanak hingga sekolah dasar kelas III. Hyunjin tidak pernah berani mengungkapkan perasaannya kepada Chan, laki-laki yang berusia tiga tahun lebih tua darinya itu.

Hyunjin terlalu malu. Selama empat tahun Hyunjin hanya bisa mengagumi Chan dan menyimpan rasa sukanya diam-diam. Hingga kemudian Chan dan keluarganya pindah ke Australia. Pada saat itulah perasaan suka Hyunjin kepada Chan bukannya semakin menghilang, justru berubah menjadi perasaan cinta.

Setiap hari Hyunjin akan menyebut nama Chan dalam doa singkatnya sebelum tidur. Dia berharap laki-laki yang pernah selalu mengisi hari-harinya itu akan hadir dalam mimpinya.

Dan kini, setelah bertahun-tahun, Chan kembali. Dan alasan Hyunjin segera berlari setelah bundanya menanyai apakah dia suka dengan Chan atau tidak adalah karena dirinya tak bisa lagi menahan tangis bahagianya. Dia tak mau ibunya tahu kalau dia menangis.


Hyunjin membutuhkan waktu lebih lama di kamar mandi kamar mandi karena dia tidak bisa berhenti menangis. Matanya sempat sembab, namun segera dia kompres dengan kapas yang dia celupkan pada air es. Dia tidak ingin mata sembabnya merusak penampilannya nanti.

Hyunjin sengaja memakai sweater berwarna putih yang pernah Chan berikan kepadanya. Rambut hitam sebahunya dia biarkan tergerai begitu saja.

“Um, how about...,” dia pun meraih sebuah jepitan rambut mungil berbentuk cherry. Dia sematkan jepitan itu pada rambutnya.

“Hehe,” senyumnya pada diri sendiri.

“Hyuni! Udah siap?!”

Oh, bundanya sudah memanggilnya. Dia pun segera membereskan meja riasnya, lalu menyambar ponselnya.

“Sudah!” Pintu kamarnya dia buka, ternyata bundanya sudah menunggunya di depan pintu. Beliau tersenyum.

“Yuk, berangkat.”


Akhirnya, setelah bertahun-tahun rumah bercat abu-abu ini dibuka kembali. Keluarga Chan menyambut kedatangan keluarga Hyunjin.

And see? Hyunjin berjalan di belakang bundanya dengan menunduk malu-malu. Dia melihat kak Chan-nya yang berdiri di dekat tangga, menatapnya sambil tersenyum hangat.

Kak Chan-nya sudah banyak berubah. Maksud Hyunjin adalah fisik lelaki dambaannya itu. Badannya kini terbentuk sempurna, dengan garis wajah yang tegas.

Lagi-lagi pipi Hyunjin memerah.

“Loh, dek Hyunjin? Kok diem aja di luar? Ayo sini masuk,” itu tante Jess, mama Chan.

“U-uh, iya Tante..,” Hyunjin pun masuk lalu duduk di samping bundanya, sedikit sembunyi di belakang lengan bundanya.

Tanpa Hyunjin ketahui, Chan memandanginya sambil tertawa kecil.

“Ih, Hyuni kok malu-malu gini sih, Nak? Itu loh kak Chan. Katanya mau ketemu kak Chan,” bunda Hyunjin sengaja mengeraskan suaranya.

Muka Hyunjin semakin memerah. Dia menyembunyikan mukanya di belakang punggung bundanya, dengan mulut yang mengucapkan gerutuan-gerutuan kecil untuk bundanya. Semua orang di ruangan itu tertawa gemas kecuali Hyunjin.

“Chan, kayaknya dek Hyunjinnya malu kalo banyak orang begini. Gih, kamu ajak ke mana gitu berdua aja.”

Hyunjin semakin terbelalak mendengar ucapan tante Jess barusan.

“U-ung, nda mau...,” gumam Hyunjin lirih, hanya dirinya dan bundanya yang bisa mendengar.

“Dek Hyunjinnie, ayo?”

Hyunjin berani bersumpah, suara Chan yang sudah berubah menjadi suara laki-laki dewasa mengalun begitu indah di telinganya. Maskulin dan lembut menenangkan.

“Diajak itu loh, masa nda mau?” bisik bunda Hyunjin.

Dengan malu-malu Hyunjin pun berdiri. Chan menghampirinya lalu mengulurkan tangannya. Hyunjin meraih tangan Chan, seketika jantungnya berdebar dengan ribut. Sekujur tubuhnya memanas.

Chan terkikik geli melihat tingkah Hyunjin yang begitu malu-malu. Setelah minta ijin kepada ayah dan bunda Hyunjin, Chan pun membawa Hyunjin untuk naik ke balkon rumahnya.

“Hihihi, kamu kenapa malu-malu gitu, sih?” ujar Chan ketika keduanya telah berada di balkon.

“K-kak Chan diem ih!”

Chan pun tertawa.

“Kak! Jangan diketawain,” Hyunjin pun memunggungi Chan.

Sedangkan Chan berjalan mendekat. “Kita dulu sering banget pelukan. Even kissie, cuddles, tidur bareng.”

Muka Hyunjin yang sudah merah kini semakin memerah. Dia merasakan badan Chan yang semakin mendekat dari belakang.

“Can I hug you, now? I miss you so much,” ujar laki-laki itu.

Hyunjin benar-benar tidak tahu harus bagaimana. Dia ingin menangis.

“Dek? Hyunjinnie? Eh!”

Chan segera menangkap badan Hyunjin ketika teman masa kecilnya, yang sudah dia anggap seperti adik sendiri, itu oleng dan hampir jatuh. Chan mendekap badan Hyunjin, menopangnya agar tidak jatuh.

“H-hiks..”

Ternyata si manis-nya itu menangis. Deep down inside, Chan bisa merasakan kalau Hyunjin juga begitu merindukannya. Maka dari itu dia tidak lagi heran ketika si manis-nya kini menangis. Dia memilih untuk diam dan membiarkan si manis-nya menumpahkan tangis hingga lega sambil mendekapnya erat dan memberikan belaian-belaian lembut.

“Udah mendingan?”

Hyunjin, dengan muka yang merah dan sembab, mengangguk. Chan terkikik melihat wajah Hyunjin-nya yang justru terlihat menggemaskan setelah menangis.

“K-kakak... Hyuni kangen banget..,” Hyunjin memberanikan diri untuk menatap wajah Chan yang kini sudah berubah menjadi jauh semakin tampan.

“I know sayang, kak Chan juga kangen Dek Hyuni,” Chan membelai rambut Hyunjin, tersenyum tipis ketika melihat jepitan berbentuk cherry yang tersemat pada rambut Hyunjin.

“E-eh? K-kakak panggil Hyuni apa tadi?”

“Um, sayang?”

Lagi dan lagi pipi Hyunjin menghangat. Dia alihkan mukanya, lalu melepaskan diri dari pelukan Chan.

“Kok dilepas, sih, pelukannya? Kan kakak masih kangen,” ujar Chan.

“Diem!”

Chan terkekeh. Dia pun menghampiri Hyunjin, memeluknya dari belakang. Hyunjin membiarkannya saja karena jujur dia juga sangat merindukan pelukan Chan.

“Dek, kayaknya kakak harus jujur aja, deh.”

“Hum?”

Chan pun meraih tangan Hyunjin untuk dia genggam.

“I love you. Kakak baru sadar sama perasaan kakak setelah kita jauh. Dan bertahun-tahun itu, nggak ada hari-hari kakak tanpa kangenin kamu. Nggak pernah kamu hilang dari otak kakak. Selalu aja kepikiran. And now you've grown so much. Just like I did. Kamu selalu cantik, tapi sekarang kamu makin cantik. You're glowing up.”

“K-kak...”

Hyunjin pun menangis lagi. Begitu luar biasa perasaan yang dia rasa sekarang hingga tak bisa dia ungkapkan dengan kata-kata. Kak Chan-nya, pujaan hati yang dia tunggu selama bertahun-tahun, ternyata merasakan perasaan yang sama dengannya. Perasaannya terbalaskan.

“I love you, sayang. Bukan sebagai teman kecil kayak dulu, tapi sebagai Chan dan Hyunjin yang sekarang.”

Hyunjin menangis dalam pelukan Chan. Semakin deras ketika Chan mengucapkan kalimatnya tadi.

“H-hiks.., kakak..., Hyuni h-hiks.. juga sayang k-kakak.. hueeeeee!”

Chan terkikik gemas melihat Hyunjin yang menangis seperti anak kecil. Namun jujur saja saat ini Chan juga menangis tersentuh. Air matanya mengalir, namun dia tertawa melihat kegemasan Hyunjin.

“So, will you be mine?”

Hyunjin mendongak. “U-uh? J-jadi kita pacaran..?”

“Iya sayang,” Chan tersenyum lembut.

“Hiks.., hueee! Mauuu!” Hyunjin memeluk Chan erat sambil menenggelamkan wajahnya pada dada Chan.


Hyunjin's monologue

Hyuni masih inget beberapa hari yang lalu Hyuni mainan tepuk-tepuk bulu mata. Berkali-kali Hyuni coba, bulu mata Hyuni selalu jatuh waktu Hyuni bilang B dan C. Kalau Hyuni boleh berharap, bisa nda ya mitos itu beneran? Hyuni mau jadi jodohnya kak Chan...


End.

What Hyunjin Did in the Tree House

Katanya jika bulu mata kita jatuh, tandanya ada orang yang merindukan kita. Dan bila kita menaruh bulu mata tersebut di telapak tangan, lalu menepuk-nepuk tangan kita sambil menyebutkan abjad secara urut, maka abjad yang kita sebut ketika bulu mata itu terjatuh adalah abjad awal nama jodoh kita.

Hwang Hyunjin, sama seperti anak-anak lugu yang lainnya. Umurnya sudah menginjak 16 tahun dan dia masih mempercayai mitos bulu mata itu.

Seperti sore hari yang cerah ini. Di sebuah rumah pohon yang disinari matahari sore, duduklah Hyunjin dan Felix, sahabat karibnya sejak kecil, di lantai rumah pohon itu.

“Ayo sekarang giliran Feli! Cepet kocok dadunya!”

Kedua anak remaja yang sama-sama memiliki wajah manis dan rambut sebahu itu sedang bermain permainan ular tangga.

“Yaahh~ kok enam, sih!” Felix cemberut, diiringi dengan tawa renyah Hyunjin karena Felix kena makan ular.

Hyunjin pun mengocok dadu dan melemparkannya di udara, membiarkan dadu itu mendarat dengan menunjukkan empat mata dadu.

“Uh? Yeaaay!! Hyuni menang!” Hyunjin bersorak riang, sedangkan Felix hanya menatap Hyunjin dengan wajah yang masih cemberut.

“Feli no no sad, it's just a game,” Hyunjin memeluk pinggang sahabatnya itu sambil meletakkan kepalanya pada pundak Felix.

Kemudian Felix pun teringat sesuatu.

“Hyuni Hyuni,” dia menepuk paha Hyunjin.

“Hum?”

“Hyuni pernah suka sama orang, nda?”

Hyunjin pun melepaskan pelukannya dari pinggang Felix dan duduk dengan tegak.

“Ung, n-nda! Nda pernah!” Hyunjin menggeleng ribut.

Felix menatap Hyunjin sambil mengerjapkan matanya berkali-kali.

“Masa?” ujarnya kemudian.

“I-iya!” Sahut Hyunjin cepat.

“Tapi pipi Hyuni pink,” Felix menunjuk pipi Hyunjin dengan jari telunjuknya.

“U-ung.., Hyuni lagi kepanasan! Makanya pipinya Hyuni pink!” Lagi-lagi Hyunjin menyahut dengan cepat.

Sepertinya Felix melihat ada kebohongan dari Hyunjin. Felix menyelidiki raut wajah Hyunjin hingga alisnya bertaut, bibirnya mengerucut.

“Ish! Feli!” Hyunjin cemberut.

“Um, Hyuni percaya nda, kalo bulu mata kita jatuh itu tandanya ada yang kangen sama kita?”

“Huum, katanya sih kayak gitu. Tapi Hyuni percaya!”

“Itu bulu mata Hyuni ada yang jatuh.”

Hyunjin pun berlari ke depan cermin. Benar, ada satu bulu mata terjatuh di dekat tahi lalat mungil di bawah mata kirinya. Hyunjin pun mengambil satu helai bulu mata itu, lalu menaruhnya di atas telapak tangannya.

“Ada... yang kangen sama Hyuni?” gumamnya lirih.

Kemudian dia teringat dengan hal yang pernah diajarkan oleh ibunya ketika beliau masih kecil.

“A B- uh?”

Hyunjin menepuk-nepuk telapak tangannya sambil menyebutkan abjad secara urut, bulu mata yang tadi dia letakkan di atas telapak tangannya pun jatuh ketika dia menyebut abjad 'B'.

Seketika pipinya memanas, semburat merah terlihat semakin jelas di sana.

Hyunjin mengambil kembali sehelai bulu matanya itu, lalu dia taruh kembali di atas telapak tangannya. Kemudian dia tepuk-tepuk lagi telapak tangannya sambil menyebutkan abjad secara urut.

“A B C- uh?”

Hyunjin mengerjapkan matanya sambil menatap bulu matanya yang jatuh di meja nakas itu.

“Uh.., k-kak Chan kan nama panjangnya Bang Chan.. t-terus nama lahir dia Christopher Bang... t-terus nama panggilannya Chan...”

Hyunjin pun menggelengkan kepalanya cepat. Dia mencoba melakukannya lagi, dia ulang sampai tiga kali. Namun tetap saja, bulu matanya jatuh ketika dia menyebutkan abjad B, C, dan B.

“Ung? Hyuni lagi apa?” Felix yang penasaran pun beranjak dari duduknya dan berjalan menghampiri Hyunjin.

“U-uh n-nda ada! Nda ada, Feli!”

“Ung?” Felix menatap Hyunjin sambil memiringkan kepalanya bingung.

“Hyunjin! Felix!”

Terdengar teriakan bunda Hyunjin dari bawah sana. Kedua anak itu pun bergegas untuk keluar menuju teras.

“Iya, Bunda?!” seru Hyunjin.

“Ayo turun, gih! Udah mau malem!”

Hyunjin dan Felix pun menurut. Mereka tutup pintu dan jendela rumah pohon mereka, tak lupa menguncinya, lalu turun dari sana. Kedua anak itu berjalan beriringan dengan bunda Hyunjin.

“Dadah Hyuni!” Felix pun memisahkan diri ketika dirinya sudah sampai di depan rumahnya, tangan mungilnya melambai-lambai.

“Dah~!” balas Hyunjin sambil melambaikan tangannya kepada Felix.

“Hyuni tau, nda? Lihat di sana itu mobil siapa?” bunda Hyunjin menepuk pundak putra manisnya itu, lalu menunjuk ke arah rumah bercat abu-abu di seberang rumahnya.

“Uh.., itu kan rumah kak Chan, terus itu mirip mobilnya om Jack..,” Hyunjin masih berpikir.

“That's it! Exactly sayang, om Jack sekeluarga pulang. Dah, Hyuni mandi yang bersih, dandan yang rapih, nanti malam kita ke rumah om Jack,” ujar bunda Hyunjin.

Seketika pipi Hyunjin memerah lagi.

“U-uh.., bunda, jadi nanti ketemu kak Chan?”

Bunda Hyunjin mengangguk. “Sure! Kenapa sayang? Kamu suka sama kak Chan, ya?”

“Ih! Nda!” Hyunjin pun berlari ke rumahnya, meninggalkan bundanya yang tertawa kecil melihat tingkah putranya yang begitu menggemaskan walau sudah menginjak pertengahan masa remaja.


To be continued.

Saat itu Seungmin baru saja selesai berlatih vokal dengan Chan. Chan berpamitan untuk pergi ke studio, kini Seungmin sendirian di apartemen Chan. Lelaki itu duduk di atas ranjang di kamarnya. Kemudian dia melirik gitarnya yang dia sandarkan pada dinding kamar.

Dia tersenyum. Segera dia beranjak dari posisinya, menuju kamar mandi untuk membasuh muka, sikat gigi, dan sedikit merapikan rambutnya. Setelah itu dia berganti baju yang lebih rapi, lalu dengan semangat meraih gitarnya dan keluar dari kamar.

Hari ini Seungmin akan melakukan busking.


Seungmin berjalan menuju taman di pusat kota yang kebetulan terletak tidak terlalu jauh dari apartemen Chan. Cukup ramai di sana. Entah tiba-tiba Seungmin merasa sangat gugup.

Dia menarik dan membuang nafas, berusaha menenangkan dan meyankinkan dirinya sendiri.

“A, a, o, ooooo,” Seungmin melakukan tes pada vokalnya.

Sekali lagi dia hembuskan nafas, lalu mulai melangkahkan kakinya untuk mencari tempat yang cukup strategis.

Dia menengok sekitar. Ada beberapa busker yang bermusik dengan penuh percaya diri. Seungmin menggigit bibirnya. Dia merasa kecil. Sekali lagi Seungmin menarik nafas dalam dalam dan menghembuskannya perlahan. Dia pun duduk di atas pembatas taman, mulai meletakkan jemarinya di atas fretboard.

Seungmin tidak memiliki mikrofon. Sedangkan para busker lain bernyanyi menggunakan mikrofon. Keadaan cukup ramai, Seungmin khawatir jika suaranya tidak akan terdengar.

“Alright, Seungmin. Just sing for yourself,” dia memberi tahu dirinya sendiri.

Alunan melodi dari gitarnya mulai terdengar. Beberapa orang yang lewat sempat menoleh ke arahnya, namun kemudian berpaling lagi dan memilih untuk lanjut berjalan.

“Help me, it's like the walls are caving in..”

“Sometimes I feel like giving up but I just can't..”

“It isn't in my blood..”

“Laying on the bathroom floor, feeling nothing. I'm overwhelmed and insecure, give me something..”

Mata Seungmin bergerak-gerak melihat sekelilingnya, tak ada satu orang pun yang menoleh untuk memperhatikannya, apalagi mampir sejenak untuk mendengarkan dirinya bernyanyi.

“I could take to ease my mind slowly..”

Jemari Seungmin semakin lincah memainkan senar gitarnya.

“Just take a drink and you'll feel better. Just take her home and you'll feel better. Keep telling me that it gets better..”

“Does it ever?”

Ujung bibir Seungmin mulai terangkat. This is it, the feeling has come.

“Help me, it's like the walls are caving in. Sometimes I feel like giving up no medicine is strong enough, someone help me.”

“I'm crawling in my skin. Sometimes I feel like giving up but I just can't.”

“It isn't in my blood.”

“It isn't in my blood.”

Dari ujung matanya, Seungmin dapat melihat beberapa orang yang mulai menaruh perhatian kepadanya. Bahkan ada sedikit orang yang berhenti untuk melihat penampilannya.

Seungmin tersenyum tipis.

“I'm looking through my phone again, feeling anxious. Afraid to be alone again,”

Mata Seungmin melirik seorang berambut pirang sebahu yang familiar. Dia tesenyum miring.

“I hate this.”

“I'm tryna find a way to chill, can't breathe, oh...”

“Is there somebody who could help me?”

Pada saat itu juga sorot mata Seungmin menangkap seseorang lain yang juga familiar. Mentornya, orang yang membagikan apartemennya untuk dia tinggali bersama Seungmin.

Bang Chan, terlihat sedang bertanya kepada orang-orang di jauh sana.

“It's like the walls are caving in. Sometimes I feel like giving up, no medicine is strong enough. Someone help me.”

Beberapa orang mulai memasukkan uang pada topi Seungmin yang dia letakkan terbalik.

“I'm crawling in my skin. Sometimes I feel like giving up but I just can't,”

Pemuda pirang itu kini memicingkan matanya, melihat sosok familiar yang duduk bermain gitar dengan banyak orang mengitarinya. Sosok yang menabraknya di tempat audisi Heart Eagle.

Hwang Hyunjin, dia sedikit berjalan mendekat agar dapat melihat lebih jelas sosok dugaannya itu.

Dan Kim Seungmin, dia sadar bahwa Hwang Hyunjin sedang memperhatikannya.

“It isn't in my blood.”

“It isn't in my blood.”

“I need somebody now.”

“I need somebody now.”

“Someone to help me out.”

“I need somebody now.”


Tepuk tangan terdengar riuh dari orang-orang yang melihat penampilan Seungmin. Topinya pun kini terisi dengan lembaran-lembaran juga koin-koin uang. Walaupun tak terisi penuh, namun Seungmin tetap mensyukurinya, paling tidak usahanya hari ini membuahkan hasil.

Lelaki manis itu membungkuk sopan, berkali-kali mengucapkan terima kasih kepada orang-orang yang bersedia melihat penampilannya tadi, apalagi sampai memberikan imbalan. Senyum cerah tidak pernah lepas dari bibir merah mudanya.

Orang-orang mulai beranjak untuk bubar. Dari balik kerumunan orang, Seungmin dapat melihat sosok Chan yang melontarkan senyum hangat kepadanya. Seungmin menunduk, tersenyum malu.

“Chan, you're here.”

Chan menggumam, dia berjalan mendekat kearah Seungmin.

“It was amazing. I love that.”

Seungmin mengulum senyumnya. Bagaimana dia tidak tersipu, dipuji oleh mentor sekaligus pengujinya ketika audisi tepat di hadapannya secara langsung.

Chan pun ikut duduk di sebelah Seungmin. “Why didn't you tell me that you went busking?”

Seungmin mendongak, senyumnya perlahan luntur.

“Do I need to do so?”

Raut muka Chan berubah. “You know, Seungmin. Kau tinggal bersamaku. Tentu aku akan khawatir kalau kau pergi tanpa pamit. Besides, I'm your mentor. Wajar kalau aku perlu tahu ke mana perginya orang yang aku dampingi karena bagaimana pun juga kau masih menjadi tanggung jawabku.”

Entah kenapa detak jantung Seungmin terpacu begitu cepat. Dia meremas jemarinya, sebuah kebiasaan yang dia lakukan ketika gugup.

“A-alright. I'm sorry.”

Chan tersenyum. “It's okay. Just don't do that again. I was so worried about you.”

'I was so worried about you.'

Satu kalimat yang mampu membuat detak jantung Seungmin terpacu semakin cepat. Demi Tuhan, Seungmin ingin menenggelamkan dirinya ke dalam lautan.


“Oh, right. Find the new one already, I see.”

Pemuda pirang itu, Hwang Hyunjin, menyesap batang rokoknya dan menghembuskan asap hingga mengepul di langit malam yang dingin itu. Kemudian dia menunduk, meremat rambutnya frustrasi.

“Is it that easy for you, Chris..”

“Lluvi!”

Hyunjin mendesah sebal ketika dia mendengar suara rekannya yang memanggilnya dengan nama panggungnya. Rekannya itu berjalan mendekatinya, lalu duduk di sampingnya.

“What the heck bothers you again, huh? You look awful.”

“Shut up, Minho.”

“Well, lusa kau audisi lagi, kan?”

Hyunjin hanya mengangguk lesu sebagai jawaban.

“Man, don't be discouraged like this. Bukannya Lluvi penari yang handal? Ayo lah, you gotta lift your mood up!”

“I know, Minho, I know. Tapi bukan itu masalahnya.”

Pria yang bernama Minho itu mengernyit. “So?”

“Tadi aku melihat Chris dengan pacar barunya. And guess what? Lusa aku akan bertemu dengan pacar baru Chris.”

Minho membulatkan matanya. “What the fuck?!”

.

Pagi pertama Seungmin semenjak dia tinggal di rumah mentornya. Pria bernama Chan itu masih terlelap, lampu-lampu utama di apartemennya masih padam.

Seungmin mengendap-endap keluar dari kamar tamu, takut-takut jika dirinya menimbulkan suara berisik. Pemuda itu berjalan menuju jendela besar di ruang tamu, perlahan menyibak korden dan membuka jendela itu.

Udara dingin menyambut wajahnya. Langit berwarna biru gelap, sorot dari sinar matahari belum terlihat.

Pukul 5:40 a.m.

Masih terlalu pagi, tetapi Seungmin lapar. Akan tidak sopan jika mencari makanan di dapur rumah Chan, apalagi ketika si pemilik rumah masih belum bangun, begitu pikir Seungmin. Oleh karena itu, dia memutuskan untuk berjalan-jalan keluar untuk menghirup udara segar sekaligus mencari makan.


Uangnya sangat pas-pasan. Dia sendiri bahkan tidak yakin jika uang yang dipegangnya akan cukup untuk tiga hari ke depan.

Seungmin menghela nafas.

Pagi itu belum banyak tempat makan yang buka. Hanya ada minimarket 24 jam.

Seungmin pun menghela nafas untuk kedua kalinya. Telapak tangannya yang dingin dia selipkan pada saku hoodienya. Dia berjalan tanpa tujuan, sekedar ingin melihat-lihat sekitar.

Sambil berpikir.

Kemudian matanya menangkap sebuah objek di dekat sebuah gang. Senyumnya merekah, tanpa pikir panjang dia membawa dirinya untuk menghampiri objek tersebut.

Sebuah gitar rusak tersandar pada bak tempat sampah.

Seungmin mengangkat gitar itu. Badan gitar itu lecet di beberapa bagian. Warnanya juga sudah tak lagi mengkilap, beberapa senar putus.

Seungmin pun meletakkan kembali gitar itu, kini di tempat yang lebih tersembunyi. Dia berlalu dari situ, memutuskan untuk pergi ke minimarket untuk membeli makanan instan.


“Chan.”

“Hm?”

“Bisa kau tunjukkan di mana letak toko senar?”

Dahi Chan sedikit mengernyit. “Senar? Untuk apa?”

“Hanya, aku membutuhkannya.”

Chan pun mengangguk. “Alright. Sekarang?”

Sorot mata Seungmin berbinar, ditariknya senyuman tipis pada ujung bibirnya.


Seungmin senang karena dia telah mendapatkan senarnya. Tanpa pikir panjang dia masuk ke kamarnya, menutup pintunya, lalu meraih gitar rusak yang dia temukan di dekat tempat sampah tadi pagi itu.

Dulu Seungmin pernah melihat temannya yang bekerja di toko gitar sedang memasang senar pada gitar. Kemudian dengan bekal ingatan yang dia miliki, Seungmin mencoba untuk memasang kembali senar pada gitar itu.

Hari menjelang malam ketika Seungmin berhasil memasang senar pada gitar itu.

JRENG

Sedikit aneh memang suaranya, tapi Seungmin tidak mempermasalahkan hal itu.

Jemari tangan kirinyanya dia letakkan pada fretboard, jemari tangan kanannya bersiap untuk memetik senar.

TOK TOK TOK

“Seungmin, ayo kita makan malam.”

“Help me, it's like the walls are caving in..”

Chan mengurungkan niatnya untuk mengetuk pintu kamar Seungmin sekali lagi. Pria itu tertegun.

Alunan gitar dan suara lembut dari Seungmin seakan langsung menelusup masuk ke dalam hatinya tanpa permisi.

“Sometimes I feel like giving up but I just can't..”

“It isn't in my blood..”

Chan begitu menyukai suara Seungmin. Alunan indah dari mulut lelaki berwajah mirip anak anjing itu selalu berhasil menusuk hatinya. Seakan terdapat suatu hal yang tidak dapat Chan jelaskan dalam suara Seungmin.

“Ah!”

Chan tersadar dari lamunannya ketika mendengar Seungmin memekik.

“Seungmin, are you okay?”

CKLEK

Tak lama kemudian pintu kamar Seungmin terbuka.

“Oh, hi, Chan. Kau sudah lama menunggu, kah? Maaf membuatmu menunggu.”

“No, I just-”

Chan sempat melihat ada cairan merah di ujung jari telunjuk Seungmin.

“You hurt yourself.”

Seungmin sedikit terbelalak. “W-what? What do you mean?”

Chan melirik tangan kiri Seungmin yang lelaki itu sembunyikan di balik punggungnya.

“Sini tanganmu.”

Mata Seungmin bergerak-gerak gelisah. Tetapi kemudian dia mengulurkan tangan kanannya kepada Chan.

“Bukan yang kanan. Yang kiri.”

“Uhm, wait a minute, aku lupa aku sudah janji akan mengirimi pesan ibuku. Tunggu sebentar.”

Chan meraih lengan kiri Seungmin, menahan lelaki itu untuk beranjak dari tempatnya.

“Kim Seungmin.”


Seungmin memperhatikan tangan Chan yang dengan lihai melilitkan plester pada ujung jarinya yang terluka karena tergores senar gitar.

“Why did you hide it from me? It's not like I'm gonna scold you.”

Seungmin diam saja. Benar juga, untuk apa dia tadi bertingkah seakan Chan akan memarahinya kalau dirinya terluka.

“Where did you get that guitar from?”

Mata Seungmin menatap wajah Chan yang masih menunduk untuk membereskan kotak P3K. Merasa tidak mendapat jawaban, Chan mendongan untuk menatap Seungmin yang kini menunduk untuk menghindari tatapan darinya.

“It's not like I'm gonna scold you,” Chan mengulang kalimatnya.

“I-i found it. Di jalan.”

Chan menatap Seungmin lebih dalam. “Kau, memungutnya?”

Seungmin berkedip dengan cepat dan gelisah. “Look, gitar itu diterlantarkan di tempat sampah. Jadi aku pikir gitar itu sudah tidak digunakan lagi jadi aku mengambilnya. I-”

Seungmin tiba-tiba menghentikan suaranya. Bibir dan tangannya bergetar.

“I'm not a thief...”

Tawa renyah Chan terdengar setelah hening menyelimuti beberapa saat. Pria itu meraih tangan Seungmin, lalu meremat lembut tangan yang bergetar itu.

“Seungmin, kenapa kau berpikir seperti itu?”

Seungmin menunduk. Dia hampir menangis.

“A-aku takut kau akan mengataiku seorang pencuri dan kau akan mendiskualifikasiku dari peserta audisi..”

Lagi-lagi Chan tertawa renyah. Lelaki manis ini, dia sangat polos.

“Kau polos sekali.”

Chan mengubah posisi duduknya agar lebih mudah menghadap Seungmin. Dia ulurkan tangannya ke dagu Seungmin, lalu mengangkat wajah lelaki manis itu agar bertatapan dengan wajahnya.

“I won't, okay? Aku hanya penasaran, makanya aku tadi bertanya. Aku tidak peduli mau gitarmu itu hasil curian atau bukan. Yang penting kau tetap bernyanyi. Because I'm falling in love with your voice,” nada bicara Chan sedikit menggantung.

Mulut Seungmin sedikit menganga. Matanya berkedip-kedip. Chan tahu, lawan bicaranya ini sedang berusaha mencerna kata-katanya barusan.

“Well, sudah lah. Sekarang kau makan dulu. Ada satu box ayam di meja makan, itu untukmu. Tidak usah berterima kasih. Sudah sana cepat makan.”

Dengan begitu Seungmin mengangguk dan segera beranjak dari sofa tempatnya duduk. Chan memandangi punggung Seungmin yang makin menjauh.

”...and you. I'm falling in love with you, Kim Seungmin.”

.

Seungmin adalah anak tunggal dari keluarga kecil yang kehidupannya serba terbatas. Ibunya selingkuh dengan pria lain, begitu juga dengan ayahnya yang selingkuh dengan wanita lain. Namun Seungmin sudah terbiasa dengan hal itu, dia memilih untuk tidak memikirkannya. Satu hal yang menjadi fokus Seungmin, dirinya ingin menjadi penyanyi.

Suatu hari di perjalanan sepulang dari toko bunga tempatnya bekerja, Seungmin melihat poster yang tertempel di tiang listrik pinggir jalan. Isi poster itu, sebuah klub musikal sedang kekurangan anggota. Klub itu mengadakan audisi untuk merekrut anggota baru yang mana audisinya akan dilaksanakan dua minggu lagi.

Seungmin pun memutuskan untuk mengikuti audisi itu. Walaupun Seungmin tahu orang tuanya tidak akan mengizinkannya pergi, namun Seungmin tetap memutuskan untuk pergi ke audisi yang digelar jauh dari kota tempatnya tinggal itu. Maka dari itu Seungmin harus mencari kesempatan saat kedua orang tuanya sedang tidak ada di rumah untuk pergi diam-diam.

Seungmin tidak memiliki cukup uang untuk menyewa tempat tinggal. Disitu dia merutuki dirinya sendiri karena pergi tanpa persiapan yang matang. Dia pun pasrah, dan akhirnya memutuskan untuk menumpang tidur di teras sebuah toko yang letaknya di ujung sebuah gang, untuk menghindari digrebek oleh satpol pp. Tak apa, audisi digelar besok. Tak masalah jika satu malam saja dia tidur dengan kondisi tempat tidur kurang baik seperti ini, begitu pikir Seungmin.


Bang Chan, salah satu vokalis dari klub musikal ‘Heart Eagle’. Tiga bulan terakhir hidupnya terasa hampa. Dia putus dengan kekasihnya, Hwang Hyunjin, tiga bulan lalu. Semenjak itu hidupnya terasa tak sama lagi. Padahal Chan sendiri lah yang memutuskan untuk mengakhiri hubungan dengan Hyunjin.

Malam itu dia dalam perjalanan pulang dari sebuah club. Dia memutuskan untuk berkeliling kota sebentar untuk menempelkan beberapa poster audisi klub musikalnya di sudut-sudut kota. Pada saat itu lah dia menemukan seorang pemuda yang terbaring meringkuk di teras sebuah barber shop, hanya mengenakan hoodie kebesaran sebagai pelindung badan dari dinginnya udara malam itu.


“K-kim Seungmin.”

“Bang Chan. Just call me Chan or Chris. Chris is my stage name.”

Mata pemuda itu membulat. “S-stage name? K-kau selebriti?”

Chan terkekeh sambil menunduk. Pria itu mengusap tengkuknya. “No, I’m just a singer.”

“Well, Seungmin, what brings you here? Where are you from? Why are you sleeping here? Are you homeless? No offense, just asking.”

Pemuda bernama Seungmin itu menunduk, dia meremas tangannya yang hampir membeku. “I’m attending an audition tomorrow. Aku berasal dari luar kota, jauh dari sini.”

Chan menatap Seungmin. “Audisi?”

Seungmin mendongak, matanya bertemu dengan sorot tajam lawan bicaranya itu. Pria bernama Bang Chan itu, dia memiliki kharisma yang tidak bisa Seungmin jelaskan.

“Yap. Do you know Heart Eagle? I’m attending their audition.”

Chan terkesiap. “Oh, shit.”


Hari H audisi. Seungmin menggunakan kamar mandi umum untuk mandi dan sedikit berdandan. Selain skill, penampilan pun harus Seungmin perhatikan demi untuk mendapat first impression yang baik. Seungmin menggunakan layar ponselnya untuk bercermin. Baiklah, penampilannya tak terlihat begitu buruk. Setelah itu dia simpan ponselnya ke dalam tasnya. Tangannya lalu terulur untuk meraih knop pintu. Nafas panjang dia buang sebelum knop pintu dia putar.

“Kim Seungmin. Whatever the result, just don’t mind about it. At least you’ve tried,” ucapnya pada dirinya sendiri.

Dengan perasaan yang mantap, Seungmin pun membuka pintu kamar mandi umum itu, lalu bergegas menuju halte. Dia tak boleh terlambat.


BRUK

“What the hell?”

“Oh my God, I’m so sorry!”

Seseorang yang dia tabrak itu masih berdiri di dekatnya tanpa mengatakan apapun. Seungmin pun mendongak sambil memegang pundaknya yang sakit. Seorang pemuda dengan rambut pirang sebahu yang dikuncir half-ponytail, sedang memeriksa gelas kopinya. Merasa ditatap oleh Seungmin, pemuda itu menoleh.

“Good thing I have lid on my glass so my coffee didn’t spill.”

Seungmin menunduk lagi. “I’m so sorry. I’m not careful enough.”

“Well. Just be careful. Don’t use only your feet when you’re walking but also use your eyes.”

Pemuda pirang itu pun berlalu. Seungmin masih terpaku di tempat, memandangi punggung pemuda itu. Seungmin sedikit merenung. Suara pemuda itu, terdengar sedikit pahit. Entah bagaimana Seungmin bisa merasakan kalau suasana hati pemuda itu sedang tidak baik.

“Audition participants, please get in line!”

Lamunan Seungmin buyar ketika suara dari speaker terdengar. Baik lah, Seungmin harus fokus.


“Show us what you got, Kim.”

Jujur saja Seungmin sangat gugup. Ini adalah pertama kali dirinya bernyanyi di hadapan orang-orang. Matanya berkedip gelisah, telapak tangannya berkeringat. Sudut matanya menangkap Chan yang duduk di ujung ruangan bersama beberapa orang lain disana. Pria itu menatap Seungmin, melayangkan senyum tipis sambil menganggukkan kepalanya sekali.

“I thought that I’d been hurt before..”

Chan yang sebelumnya menunduk kini mendongak untuk menatap Seungmin tepat ketika pemuda itu melantunkan satu larik dari lirik yang dia nyanyikan.

“But no one’s ever left me quite this sore..”

Mata Chan tidak pernah lepas dari Seungmin. Suara lembut dan manis dari pemuda itu begitu memikatnya.

“Your words cut deeper than a knife, now I need someone to breathe me back to life..”

Disisi lain, lirik dari lagu yang dilantunkan oleh Seungmin begitu menusuk hatinya.

“Got a feeling that I’m going under. But I know that I’ll make it out alive,”

Sorot tajam Chan begitu fokus pada Seungmin. Namun pikirannya berkelana entah kemana.

“If I quit calling you my lover, move on..”

Hwang Hyunjin.

Move on.

Pria yang duduk di sebelahnya menyenggol lengannya. Chan pun menoleh.

“The lyrics got you?” ujar pria itu.

Chan hanya menghela nafas.

“Dude, he’s your ex.”


“Kim Seungmin.”

Seungmin meremas jemarinya, mencoba sekuat tenaga agar dirinya tetap tenang. Mengetahui fakta bahwa Chan lah yang mengumumkan lolos tidaknya dirinya, membuat kegugupannya meningkat berkali-kali lipat.

Chan memberi jeda cukup lama. Dia lirik Seungmin yang menunduk gugup. Ujung bibirnya tertarik untuk membentuk sebuah senyuman. Pemuda itu terlihat cukup menggemaskan.

“Congratulations. You passed the first step of the audition. Please come again three days later for the second step of selection.” Chan tersenyum bangga setelah dia mengumumkan kelolosan Seungmin.


Hari menjelang malam. Chan melihat Seungmin yang duduk seorang diri di kursi yang terletak di trotoar. Pria itu mengingat betul tentang kemarin malam. Kemudian dia pun memutuskan untuk menghampiri Seungmin. Dia tidak bisa membiarkan calon rekan vokalisnya itu tidur di teras toko lagi.


“Aku tinggal sendirian. Jadi jangan khawatir.”

“Tapi tetap saja aku merasa tidak enak. Aku merasa tidak layak untuk tinggal satu rumah dengan juriku sendiri.”

Chan menghentikan langkah kakinya. Dia pun berbalik untuk menghadap Seungmin yang berdiri di belakangnya.

“Bukan juri, Seungmin. Aku tidak suka dipanggil seperti itu.”

Seungmin terdiam. Dia menatap Chan, otaknya penuh dengan tanda tanya. Jujur saja dia tidak begitu mengerti apa maksud dari perkataan Chan barusan. Dan juga apa alasan pria itu dengan senang hati menampungnya untuk tinggal sementara, selagi menunggu datangnya hari audisi tahap kedua.

“Well, let’s say I’m your mentor,” Chan melanjutkan langkahnya. Dengan begitu Seungmin membuntuti pria itu.

“I can see a strong potential on you, Seungmin. I love your voice, it’s beautiful, and I love your style in singing. Tapi seperti yang kau tahu juga, aku tidak bisa membuat keputusan sepihak. Jadi hanya karena aku memilihmu untuk menjadi calon vokalis Heart Eagle, bukan berarti itu akan menjamin kau pasti akan menjadi vokalis Heart Eagle nantinya. That’s why I’d rather to be called your mentor.”

Chan pun menghentikan langkahnya. Pria itu pun duduk pada single sofa di ruang tamu apartemennya. Dia tumpu kedua sikunya pada pahanya. Matanya menatap mata Seungmin.

“But I want you. I have strong will to make you a new vocalist of Heart Eagle. I’ll help you.”

.