tulisan mamat

A Little Dirty Secret at the Workshop

fem!satoru x suguru x sukuna x toji

tags: genderswap, 4some, gangbang, local porn, local dirty talk, dirty thoughts, fantasizing, age gap, subtle teasing, semi public sex, virgin sex, fingering, pussy licking, dick sucking, blowjob, facial, satoru is shy but secretly slutty here, it's a little bit of comedy, porn with plot, out of character (OOC), informal dialogue, automotive themed

Words: 4,2K+

All casts belong too Gege Akutami. Enjoy!


Sudah beberapa hari berlalu sejak kejadian Satoru kehujanan yang berakhir dibawa ke kediaman Toji. Oh, tentang motor Satoru, tenang, dia sudah baik-baik saja. Kondisinya sudah prima dan siap digunakan untuk touring nonstop dari Sabang sampai Merauke saking primanya.

Setelah peristiwa beberapa hari yang lalu itu, jujur saja Satoru jadi sering kepikiran tentang mas-mas bengkel yang kemarin memperbaiki motornya itu. Satoru itu anak yang tergolong jarang keluar rumah. Keluar hanya untuk ke kampus, beli jajan, disuruh mamah ke minimarket, main ke mall saat weekend, dan ke cafe untuk nongkrong dengan teman-temannya. Selain itu, sebagian besar waktunya dia habiskan di rumah. Wajar saja kalau orang yang dia temui ya hanya itu-itu saja. Istilahnya, dia mainnya kurang jauh.

Sampai-sampai ketika dia bertemu dengan mas-mas bengkel kemarin, dia membatin, 'Oh.. mas-mas bengkel ternyata ada yang ganteng juga.. aku kira yang di bengkel tuh cuma bapak-bapak.'

Tidak dong sayang, mas-mas bengkel banyak yang ganteng kok. ;)

Berhari-hari Satoru masih kepikiran tentang cara mas yang gondrong (Suguru) dan mas yang mohawk (Sukuna) mengerjakan motornya. Bisepnya, pundaknya, lengan dan urat-uratnya, semua mengkilap karena keringat, juga otot punggungnya yang nyeplak di balik kaos yang mereka kenakan.

Oh, omong-omong Satoru juga tidak lupa tentang om-om tinggi besar yang menyelamatkannya beberapa hari yang lalu itu (Toji). Walaupun si om juga terlihat cukup menarik, ganteng juga, lumayan, kalau kata Satoru, tapi jujur saja Satoru masih takut-takut kalau sama om-om. Jadi setiap kali bayangan Om Toji muncul di otaknya, Satoru cepat-cepat menepis.

Dia bakal cemberut dan menggerutu, 'Ih, gak mau sama om-om!'

Hehe. Iya, kah, sayang? Kita lihat saja nanti.


Hari itu Satoru merasa ada dorongan pengen ketemu dengan mas-mas bengkel ganteng itu. Tapi Satoru tidak punya alasan buat datang ke sana. Masa iya, dia harus pura-pura kendaraannya rusak lagi?

Memutar otak, akhirnya Satoru punya ide.

“Papa!” Dia lari keliling rumah untuk mencari papanya.

Pak Gojo, papa Satoru muncul dari balik kamar beliau.

Satoru menaikkan alis ketika melihat penampilan papanya yang super duper rapi, seperti mau menghadiri rapat kedutaan besar.

“Wuih! Rapi amat,” celetuknya.

“Kok jadi Rapi Ahmat? Jelas-jelas ini Papa. Papa belom sekaya dia, ya, walaupun Papa lumayan kaya, sih,” sengaja, Pak Gojo mengangkat lengan dan memamerkan jam tangan Relox Hulk yang beliau pakai di pergelangan tangannya.

Satoru mendengus. Mulai, banyolan bapak-bapak.

“Mau kemana sih, Pa?” Tanya Satoru, basa-basi.

“Mau jemput Mama di tempat arisan. Habis itu sekalian lunch. Maaf ya, kamu gak diajak dulu. Ini acara kencan Papa sama Mama.”

Satoru mendelik, “Yeee siapa juga yang mau ikut. Tapi kalo gitu aku boleh main ya, Pa?”

“Kemana?”

“Ke tempat temen. Aku pinjem Paginale boleh?”

Pak Gojo langsung melotot. “Yakin, dek?”

Why not? Toh aku bisa pakenya,” Satoru menyergah.

“Bukan gitunya, nak, tapi itu moge. Yakin kamu mau bawa ke jalan raya? Bisa beneran? Nanti kalau hilang kendali gimana? Itu motor tarikannya gak sama kayak Mmax-mu loh,” Naluri seorang ayah Pak Gojo pun muncul.

“Gak papa, Pa. Aku bisa kok. Nanti aku bawanya pelan-pelan,” jawab Satoru, meyakinkan papanya.

Pak Gojo diam sejenak. “Gak. Gak boleh. Kamu pake Mmax aja sampe bobrok gitu kemaren. Gimana mau pake Paginale. Pake Carrara aja. Biar lebih aman kalau tiba-tiba hujan. Kuncinya di tempat biasa.”

Dengan begitu, Pak Gojo kembali masuk ke kamar dan menutup pintunya, tak lagi mau mendengar protes dari anak perempuannya. Sementara Satoru, dia manyun. Bagaimana tidak kesal? Pengennya naik motor, malah disuruh naik mobil.

Ya sudahlah, apa boleh buat. Naik Porches 9II Carrara tidak buruk juga.


Jadi, sebenarnya niat Satoru main ke bengkel Om Toji membawa kendaraan keren itu untuk caper sekalian tebar pesona. Dia pikir, masih jarang ada cewek yang main pakai moge. Jadi dengan cara ini, dia berharap bisa menarik perhatian mas-mas ganteng yang kerja di bengkel Toji itu.

Dan dalih yang dia pakai awalnya adalah untuk konsultasi perawatan moge. Tapi gagal total karena tidak diperbolehkan mengendarai moge oleh papanya. Sehingga sekarang dalih yang dia pakai berganti menjadi, konsultasi perawatan sportscar.

Satoru pun melancarkan aksinya. Dia bergegas menuju bengkel Om Toji.

Setelah perjalanan sekitar 30 menit dari rumahnya, akhirnya dia sampai juga di lokasi. Perlahan dia parkirkan mobilnya di pinggir jalan, karena teras bengkel Om Toji penuh dengan motor yang antri untuk diservis.

Satoru merasa sedikit pengen nakal hari ini. Makanya dengan sengaja dia pakai kaos croptop ketat dan rok mini. Tapi dia tetap membawa jaket jika sewaktu-waktu dibutuhkan.

Sebelum keluar dari mobil, dia lihat dulu keadaan bengkel Om Toji dari kaca mobilnya. Cukup ramai, beberapa orang sedang duduk di waiting room untuk menunggu kendaraannya diservis.

“Huh? Kak Gondrong sama Kak Mohawk mana, ya?” Satoru celingak-celinguk mencoba mencari keberadaan Suguru dan Sukuna.

Dia cemberut, karena tidak menemukan orang yang dia cari. Tapi kemudian dia melihat sosok Toji. Matanya bersinar lagi.

“Hehe, tanya Om itu aja, siapa tau ada,” dengan bersemangat, dia bergegas keluar dari mobilnya.

Oh, betapa orang-orang memperhatikan Satoru bagaikan supermodel yang sedang berjalan di catwalk. Cantik, tinggi semampai, pakaian seksi, plus keluar dari mobil kece yang super mahal. Siapa yang tidak terpana?

“Om Toji!”

Yang dipanggil kaget luar biasa. Bagaimana tidak? Tiba-tiba ada bidadari menghampirinya dan memanggil namanya.

“E-eh, adek cantik, kok kesini? Ada yang mau diservis lagi, ya?” Tanya pria yang berusia 40-an itu kepada Satoru.

“Nggak kok, Om. Aku mau konsultasi aja. Boleh, nggak?” Jawab Satoru.

Suara Satoru begitu nikmat masuk di telinga. Halus, terdengar sedikit centil, manja, dan menggemaskan. Duh, siapa yang tidak meleleh, coba? Sampai-sampai klien yang tadinya sedang ngobrol dengan Toji ikut senyum-senyum seperti orang gila saat mendengar suara indah Satoru.

“Aduh adek manis, ya boleh, dong. Mau konsultasi apa, nih?”

Satoru senyum-senyum malu. Entah kenapa di matanya hari ini Toji terlihat lebih menawan dari pada yang kemarin.

“Itu, aku kan baru dikasih pegang Porches Carrara sama Papa. Tapi aku kurang tau tentang maintenance-nya gimana, Om. Jadi aku mau konsultasi tentang itu,” Satoru menjawab lagi.

“Buset dah, Carrara lagi,” Toji terkekeh. “Iya boleh, nantian dikit tapi ya, manis, ngantri. Hehehe. Kamu boleh duduk dulu di sana. Ada teh sama kopi, kalau haus boleh diminum,” Toji menginstruksikan kepada Satoru untuk menunggu di VIP waiting room.

Satoru menurut. Tapi sebelum bergegas, Satoru menanyakan hal terpenting yang harus dia tanyakan.

“Om, Kak Gondrong sama Kak Mohawk mana?”

“Hah? Siape?” Toji cengo.

“Emm... itu,” Satoru menggaruk tengkuknya canggung. “Kakak yang kemarin servis motorku. Yang rambutnya gondrong sama mohawk, warna pink, tatoan.”

Tawa Toji meledak. “Oh, itu. Suguru sama Sukuna? Ada. Itu lagi kerjain mobil di dalem. Kebetulan nanti kalau mau konsultasi tentang mobil bisa ke mereka juga kalau mau. Jago mereka.”

Satoru terkekeh. “Hehe, iya, Kak Suguru sama Kak Sukuna maksudnya. Maaf Om, aku belom tau nama mereka. Um.., kalau gitu aku boleh nunggu di dalem aja.., boleh gak, Om?”

Toji menaikkan sebelah alisnya. “Oh? Mau liat mereka kerja, ya?”

Satoru mengalihkan muka malu-malu. “Ungg nggak gitu! A-anu, kayaknya di dalem lebih adem..”

Toji tertawa gemas melihat tingkah Satoru. Pun matanya yang sedari tadi curi-curi pandang pada gundukan yang menonjol di balik croptop ketat Satoru.

“Ya udah gak papa, tunggu di dalem aja. Di sana ada tempat duduk, kok. Temenin gih itu dua bujang biar makin semangat kerjanya. Hahaha. Dah ya, Om balik kerja dulu. Kamu masuk aja ke sana.”

Satoru mengangguk. Dia bergegas menghampiri tempat Suguru dan Sukuna bekerja. Jantungnya berdegup kencang, membayangkan hal-hal sedikit nakal yang mungkin akan terjadi.


Belum juga Satoru membuka mulut, tatapan Suguru dan Sukuna sudah menyambut kedatangan Satoru. Satoru makin gugup, dia menunduk malu-malu.

“Hei,” sapa Suguru, sejenak menghentikan pekerjaannya. Wajahnya sumringah.

“Halo kak,” Satoru menyapa balik.

“Kenapa nih, cantik, kok kesini?” Kali ini Sukuna yang berbasa-basi.

“Um.., mau konsultasi tentang mobil, Kak. Tadi sama Om Toji suruh nunggu di sini,” Satoru menjawab, malu-malu.

Gemas sekali. Suguru dan Sukuna punya pikiran yang sama, saat ini Satoru terlihat seperti kucing putih yang lucu, malu-malu dengan pipi yang merona kemerahan.

Seperti ingin menerkam rasanya.

“Oh, gitu. Ya udah. Gini aja, sambil ngobrol,” Jawab Sukuna. Pria itu berdiri, dia berjalan menuju pintu dan menutupnya.

“Kenapa ditutup, Na?” Itu suara Suguru.

Sukuna melirik Suguru, seakan mengisyaratkan hal yang hanya mereka berdua mengerti. Benar saja, Suguru tersenyum sekilas, lalu mengangguk.

Sukuna berjalan kembali, tapi kali ini dia duduk di sebelah Satoru. Sedikit terlalu dekat, hingga membuat Satoru sedikit tersentak.

“Sorry,” ucap Sukuna sambil tersenyum tipis. “Jadi mau konsul apa nih, exactly?

Satoru terkesan, dalam hati dia membatin, 'Woah! Kak Mohawk bisa Bahasa Inggris!'

“Um.. itu, mobil aku kan Porches 9II Carrara, Kak. Pemakaiannya yang baik gimana ya biar gak cepet rusak? Terus maintenance-nya?”

Sukuna mengangguk. “Hmm, sportscar, ya? Well, selama mobilnya beli dalam kondisi baru, menurutku gak perlu banyak dikhawatirkan sih. Dipakai sewajarnya aja. Kalau servis, ikuti saran dari dealer. Atau bisa lihat di buku panduan. Kan ada tuh pedomannya, ganti oli di setiap berapa km, ganti filter udara, AC, itu setiap jangka waktu berapa, ganti kampas rem juga, itu semua ada pedomannya.”

Sukuna terkekeh melihat muka Satoru yang terlihat ngang-ngong.

“Gini deh, kalau gak mau ribet, kamu dateng ke service center Porches buat tanya baiknya setiap berapa bulan sekali harus check up rutinan. Waktu check up kamu minta buat cek semuanya ada masalah apa enggak. Udah gitu aja.”

“Biasanya cukup servis rutinan 6 bulan sampe 1 tahun sekali. Kalau pemakaian intens bisa setiap 6 bulan, kalau pemakaian biasa dan cenderung jarang, 1 tahun sekali cukup,” kali ini Suguru menambahkan.

“Itu biasanya kalau Porches, misal ada yang salah mobilnya pasti muncul peringatan. Kalau udah ada peringatan, baiknya bawa ke bengkel aja. Jangan asal bengkel, gak semua bengkel bisa servis mobil Eropa, apalagi sportscar,” Sukuna menambahkan lagi.

Satoru itu, sebenarnya dia sudah tau dan paham. Dia basa-basi menanya seperti itu hanya untuk modus saja. Jadi, penjelasan Sukuna dan Suguru tadi masuk telinga kanan, keluar telinga kiri.

“Kalau servisnya di sini bisa nggak?” Celetuk Satoru, mengundang tawa Sukuna dan Suguru.

Suguru yang awalnya jongkok untuk memasang velg, sekarang dia berdiri dan kemudian duduk di moncong mobil yang sedang dia perbaiki. Tangannya dia silangkan di depan dada, matanya tertuju pada logo mobil yang terdapat di sebelah pahanya.

“Ini, yang kita perbaiki kan BMVV. Kalau BMVV bisa, mestinya Porches juga bisa,” jawab Suguru sambil menatap Satoru.

Tiba-tiba Sukuna mencondongkan badannya ke arah Satoru, membuat Satoru sedikit terkejut.

“Emang kenapa, sih? Kok kayaknya maunya di sini banget?” Suara Sukuna kini terdengar sedikit lebih dalam, pun terdapat seringaian tipis di bibirnya.

Buset, Satoru gugup setengah mati. “E-eh..., itu.., soalnya kenal sama Omnya..”

“Hm? Abah Toji, ya? Yah, kirain karena montirnya ganteng,” Sukuna pura-pura kecewa, padahal aslinya dia masih semangat ingin menggoda Satoru.

Saat ini mata Sukuna sudah jelalatan kemana-mana. Satoru sadar penuh diperhatikan seperti itu. Grogi, tapi jauh di dalam hati dia suka.

Oh, jangan lupakan bagian bawahnya yang mulai berkedut, padahal hanya ditatap oleh pria di sebelahnya.

“Hah.., gerah, gak sih?” Sukuna tiba-tiba melepas kaosnya. Satoru terkejut, tapi dia tidak melakukan protes apa-apa. Faktanya, matanya justru diam-diam melirik badan berotot Sukuna, yang terlihat makin seksi karena tato garis-garis di sana.

“Kamu gak gerah?” Tanya Sukuna ke Satoru.

“E-eh em, i-iya dikit,” jawab Satoru tergugup.

Sukuna memperhatikan paha Satoru yang pelan-pelan bergerak saling menggesek antara satu sama lain, terlihat sedikit gelisah. Dia menyeringai tipis, melirik Suguru sebentar sebelum matanya memperhatikan lagi gerakan paha Satoru.

Membaca situasi, Suguru yang berada di seberang Satoru perlahan melebarkan kakinya. Seperti sengaja memperlihatkan ada yang mulai bangun di sana.

Sukuna terkekeh kecil. Dia lirik Satoru, gadis manis itu mulai bernapas dengan berat dan pelan. Paha gadis itu makin bergerak gelisah. Dan Sukuna makin menyeringai ketika matanya mendapati terdapat dua titik menonjol di bagian dada Satoru, nyeplak dari balik croptopnya.

Suguru mengulum senyumnya ketika matanya juga menangkap puting Satoru yang mulai menegang.

Sukuna ikut melebarkan kakinya. Sesuatu di antara kedua kakinya bahkan lebih menonjol daripada punya Suguru.

“Satoru. Bener Satoru, kan namamu?”

Satoru mendongak saat Sukuna sebut namanya. “E-em, iya. Aku Satoru. Kenapa, kak?”

“Kamu umur berapa?”

“Um.., 21.”

Sukuna mengangguk. “Harusnya cewek umur segitu udah gak terlalu naif dong, buat paham apa yang bakal terjadi kalau kamu ditinggal sendirian di dalem ruangan tertutup sama dua cowok yang sama-sama dewasa.”

Sukuna memberi jeda, sebelum dia lanjutkan. “Belom lagi.., pakaian kamu. Crop top ketat, puting nyeplak, perut keliatan, rok mini yang cuma nutup ¼ paha kamu, dibuat nunduk aja pantat kamu pasti keliatan.”

Melihat Satoru tidak melontarkan perlawanan apa-apa, kini tangan Sukuna mulai berani menggerayangi paha Satoru.

“Na,” Suguru melihat itu memperingatkan.

“What? Come on, you want it too.”

Suguru hanya terkekeh mendengar sahutan Sukuna.

Sukuna kembali beralih pada Satoru. “Kamu gak ngelawan. Gak papa kan, cantik, kalau kita main-main dikit?”

Satoru cuma menunduk. Jujur dia ingin, tapi dia tidak yakin. Masih ada perasaan takut di lubuk hatinya. Tapi lain di hati, lain di nafsu. Bagian bawahnya makin berkedut, bahkan sekarang terasa sedikit becek.

“Hm? Diem berarti mau.”

Sukuna tersenyum nakal, sebelum tangannya pelan-pelan naik ke atas, kini menangkup sebelah buah dada Satoru.

“A-ah..”

Ternyata nafsu mengalahkan akal sehat Satoru. Dia menikmati sentuhan Sukuna.

“Oh, cantiknya..,” puji Sukuna, tangannya meremas lebih kuat buah dada Satoru. Kini dia menggunakan kedua tangannya untuk bermain-main dengan bongkahan menggemaskan itu.

Satoru memejamkan matanya. Ketika Sukuna mulai memainkan putingnya dari luar, Satoru meloloskan desahan yang cukup keras. Hingga ketika dia buka matanya, dia sudah melihat Suguru berjongkok di hadapannya.

“Ssstt,” pria itu meletakkan jari telunjuknya pada bibirnya. Sembari tersenyum, “Jangan keras-keras. Nanti kedengeran dari luar.”

Benar, Satoru seketika sadar kalau dirinya masih berada di bengkel. Dia langsung membungkam mulutnya dengan kedua tangannya.

Namun tampaknya Sukuna tidak mendukung hal itu, jarinya makin nakal memelintir dan menggaruk puting Satoru.

“Hmp- hm- hngg..,” sekuat tenaga Satoru mencoba menahan desahannya.

Suguru terkekeh. “Kasian tau, Na.”

Kontradiktif dengan ucapannya, justru pria gondrong itu kini membuka kedua paha Satoru lebar-lebar. Ia dekatkan mukanya di antara kedua paha itu, membuat Satoru membelalakkan matanya.

“K-kak tunggu..”

Menutup telinga, Suguru pelan-pelan mencium area vagina Satoru yang masih dilapisi celana dalam. Satoru menggelinjang, dan Suguru kegirangan melihat reaksi Satoru. Kini dia gunakan lidahnya untuk menyapu area itu dari bawah ke atas, lalu berputar-putar di area klitoris.

“Ahh..,” Satoru tidak lagi mampu menahan desahannya.

Takut-takut gadis itu mendesah terlalu kencang, Sukuna segera meraup bibir Satoru. Dia kulum dengan panas bibir sang gadis sembari tangannya kini perlahan mengangkat croptop yang dikenakaan gadis itu.

Payudara berukuran sedang itu kini terekspos di depan mata Sukuna dan Suguru. Sebuah bra tanpa cup menyangga buah dada cantik itu. Dengan lapar, Sukuna segera melahapnya. Mengulum putingnya, memainkan lidahnya di sana. Tangannya masih meremas-remas dengan gemas.

Sedangkan Suguru di bawah sana, dia gunakan jarinya untuk mengusap-usap vagina Satoru yang masih dilapisi celana dalam. Hingga saat Satoru mendesah dan menggelinjang makin hebat, Suguru menarik ke bawah celana berenda yang dikenakaan gadis itu.

Sebuah vagina merah muda terang terpampang nyata di hadapannya. Masih sempit, terlihat jelas belum terjamah sama sekali. Suguru membuka perlahan labia Satoru, kemudian dia sapu bagian tubuh itu dengan lidahnya. Dia jilat dan hisap vagina gadis itu seperti binatang yang lapar.

Satoru seperti gila. Masih seperti ini saja, rasanya sudah seperti melayang ke langit tujuh. Dia tak berhenti mendesah, walau dengan suara pelan karena takut terdengar dari luar.

Suguru kini perlahan memasukkan satu jari ke dalam vagina Satoru. Gadis itu memekik, sepertinya sedikit kesakitan.

“Rileks, sayang. Kakak bantu longgarin,” ucap Suguru, pelan-pelan mendorong jarinya makin dalam.

Setelah Satoru lebih rileks, dia mulai menggerakkan jarinya keluar masuk untuk melonggarkan dinding vagina Satoru.

“Ahh.. ahh.. e-enak..”

Suguru dan Sukuna tersenyum mendengar desahan Satoru.

“Iya sayang, enak. Makanya, mau ya, dibikin lebih enak lagi?” Sukuna berbisik di telinga Satoru sebelum dia cium dan hisap leher jenjang Satoru.

“A-ahh mau,” Satoru mengangguk dan mendesah manja.

Suguru dan Sukuna terkekeh.

“Good girl,” ucap Suguru sebelum dia ciumi paha dalam Satoru.

Melihat Satoru makin menikmati, Suguru memutuskan untuk menambah satu lagi jari ke dalam vagina Satoru. Sepertinya gadis itu tak lagi kesakitan, justru vaginanya kini mengeluarkan semakin banyak cairan manis yang begitu Suguru suka.

Tak tahan, Suguru hisap cairan Satoru sembari kedua jarinya masih bergerak keluar masuk.

Sedangkan Sukuna, pria itu kini mulai menurunkan celananya. Penis besar yang sudah bangun dengan tegak paripurna itu dia dekatkan pada mulut Satoru.

Lagi-lagi dia terkekeh melihat ekspresi terkejut Satoru. “Baru pertama kali liat burungnya cowok, ya?”

Satoru tidak menjawab, tangannya malu-malu meraih batang keras milik Sukuna.

“Pinter,” puji Sukuna, mengusap rambut Satoru sembari perlahan mendorong pinggulnya ke depan, membuat kepala penisnya menabrak mulut Satoru.

“Ayo sayang, diemut permennya, suka permen, kan?” Dengan jahil Sukuna berkata. Bahkan ucapannya sampai menggundang tawa renyah dari Suguru.

Satoru manyun malu-malu, tapi akhirnya tetap dia masukkan kepala penis Sukuna ke mulutnya.

“Aahh.. sialan, enak banget,” desah Sukuna.

Dia biarkan Satoru bermain-main dengan penisnya, membiarkan mulut gadis itu terbiasa dengan ukuran dan bentuk dari penisnya. Saat Satoru pelan-pelan memasukkan penis Sukuna lebih dalam, Sukuna ikut mendorong pinggulnya dan menggerakkannya maju mundur.

“Ahh.. bajingan. Enak. Sampe kayak pengen mati gue saking enaknya.”

Ucapan provokatif Sukuna membuat Suguru iri, pria itu kini menurunkan celananya untuk membebaskan penisnya yang tak kalah besar dan keras dari milik Sukuna.

Dia kocok batang miliknya, kemudian dia gesek-gesekkan pada bukaan milik Satoru di bawah sana.

“Nghh..,” Satoru mendesah, suaranya bergetar di antara penis Sukuna di dalam mulutnya.

Tak tahan lagi, Suguru pelan-pelan mendorong penisnya memasuki lubang Satoru. Sang gadis reflek memekik, sedangkan Suguru merasakan kepuasan sendiri ketika melihat sedikit darah mengotori batangnya.

Dia bangga menjadi pria yang pertama bagi Satoru.

Suguru diam sejenak, membiarkan vagina Satoru menyesuaikan diri dengan penisnya. Desahan keluar dari mulutnya merasakan bagaimana dinding Satoru meremas-remas batang penisnya.

“Aku gerak ya, sayang?” Tanya Suguru pada Satoru, direspon dengan anggukan lemah dari sang gadis.

Dengan begitu, Suguru mulai mengerakkan pinggulnya maju mundur. Tangannya memegang kedua paha Satoru, dia menunduk untuk menghisap puting Satoru.

Sukuna menarik penisnya keluar sejenak untuk memberi kesempatan Satoru untuk mengambil napas. Lantas, desahan-desahan indah langsung keluar dengan bebas dari mulut si cantik.

Baik Suguru dan Sukuna mengerang mendengar desahan cantik nan erotis itu. Suguru bergerak semakin cepat, Sementara Sukuna mengocok penisnya sendiri sambil menggesek-gesekkan kepala penisnya pada puting Satoru.

Suguru menaikkan tempo gerakannya, bersamaan dengan itu Sukuna kembali memasukkan penisnya ke dalam mulut Satoru. Kedua pria itu menghajar goa hangat satoru dengan ritme yang selaras.

Satoru sudah benar-benar pasrah. Bukan pasrah karena apa-apa, tetapi karena tubuhnya merasakan sensasi nikmat yang luar biasa, perasaan baru yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.

Rasa-rasanya, Satoru akan kecanduan dengan ini.

Dan saat itu juga, Suguru menggenjot vagina Satoru semakin dalam. Pria itu hampir mencapai klimaksnya. Sementara Sukuna, dia keluar lebih dulu. Sperma kentalnya memenuhi mulut Satoru, sisanya dia keluarkan di wajah Satoru.

Tak lama, Suguru menyusul Sukuna. Dia buru-buru mengeluarkan penisnya, dia kocok dan semburkan spermanya pada perut Satoru.

Ketiga manusia dewasa itu memenuhi ruangan dengan suara desahan dan erangan mereka.

Sukuna beranjak dari posisinya. Dia tepuk pundak Suguru. “Gantian,” katanya. Suguru menurut saja, toh dia juga ingin merasakan mulut Satoru.

Namun kelihatannya Sukuna bosan dengan posisi seperti ini. Dia gendong tubuh Satoru, dia turunkan menghadap hood mobil yang tadi sedang dia servis dengan suguru. Pria itu lalu membungkukkan punggung Satoru, dia berdiri di belakangnya dan menyibak roknya. Dia posisikan penisnya pada lipatan vagina Satoru, perlahan dia dorong pinggulnya hingga penisnya masuk dengan sempurna ke dalam vagina Satoru.

Satoru mendesah sampai ngiler. Ditusuk dari belakang memang beda rasanya.

Suguru tak tinggal diam. Dia raih dagu Satoru untuk menghadap selangkangannya. Dia sodorkan penisnya ke mulut Satoru agar dilahap oleh gadis itu.

Lagi-lagi Sukuna dan Suguru menghajar goa hangat Satoru secara bersamaan.

“Ahh.. bangsat,” umpat Sukuna, merasakan dinding vagina Satoru meremas-remas penisnya. “Sempit banget.”

“Ya, kan? Emang. Seenak itu. Ah.. gila. Kamu enak banget sayang,” Suguru menyahut. Tangannya membelai rambut Satoru, memberi senyum kepada gadis itu sebelum dia genggam rambut si cantik dan menggerakkan pinggulnya maju mundur.

“Ahh.. mulutnya gak kalah enak,” desah Suguru.

“Masih enakan memeknya,” jawab Sukuna, membuat Suguru terkekeh dan mengangguk setuju.

Suguru mengeluarkan penisnya dari mulut Satoru. Dia belai pipi si cantik yang sudah merona sempurna.

“Suka nggak, sayang?” Tanyanya.

Satoru mengangguk malu-malu. “Ung ung.., tapi.., pelan-pelan kalo masukin di mulut..”

Suguru tersenyum lembut, dia kecup bibir Satoru dan membelai rambutnya untuk menenangkan si cantik. “Iya maaf ya, nanti pelan-pelan. Kamu sih, seksi banget. Jadi kebablasan kita.”

Satoru cemberut lucu. “Bukan salahku. Aku udah dari lahir kayak gin- aahh!”

Genjotan keras tiba-tiba dari Sukuna di bawah sana membuat Satoru memekik. Suguru sontak menendang lutut Sukuna.

“Pelan-pelan anjir! Anak orang!”

“Aduh maap, kebablasan. Ih, ih, ih,” Sukuna menampar-tampar pantat Satoru dengan gemas. “Gemes banget habisnya.”

Masih asik bermain, tiba-tiba pintu terbuka. Ketiga orang disana lantas mematung.

“Woy ada apaan sih berisik amat- heh! Ngapain lu pada?! Astaga naga... anak customer langganan gue..”

Satoru masih menegang, panik, takut, kaget, khawatir, tapi tidak dengan Suguru dan Sukuna yang langsung rileks ketika mendengar suara siapa itu tadi.

Pria yang baru datang itu tadi lantas menutup pintu di belakangnya, dia kunci, dan berjalan menghampiri mereka bertiga.

“Hehe.. hai bah,” kekeh Suguru.

Toji, pria yang baru datang itu tadi menoyor kepala Sukuna dan Suguru.

“Buset dah buset, anak customer langganan gue malah dientot bareng-bareng. Mana di atas mobil orang lagi. Parah dah parah... gak ngajak-ngajak,” Toji melepas seluruh pakaiannya. Dia kocok penis setengah tegang miliknya.

“Minggir lu,” dia dorong pundak Sukuna yang masih belum selesai menyetubuhi Satoru.

“Yaelah bah gue belom selesai!” Protes pria mohawk itu.

“Ya selesein pake coli kek apa kek, gantian gue mau ngewe juga.”

Sukuna mengerang tidak suka, tapi cepat-cepat ditatap tajam oleh Toji. “Lu protes, gue pecat.”

“Hadeehhh,” Sukuna makin mengerang. Frustrasi karena belum puas merasakan vagina Satoru tapi sudah direbut oleh bosnya.

Baru saja Sukuna akan mendekat ke mulut Satoru, pria itu dicegah Suguru. “Jangan. Kasian. Mulutnya udah kecapekan tuh. Sampe robek dikit bibir dia.”

Melihat sedikit robekan di tepi bibir Satoru, Sukuna tertegun dan menghentikan niatnya. Mau tidak mau, akhrnya dia berdiri bersandar pada badan mobil sembari mengocok penisnya, matanya melihat bagaimana Satoru disetubuhi oleh Toji. Begitu juga dengan Suguru yang melakukan hal sama dengannya.

Toji membalik badan Satoru, kini gadis itu berbaring telentang. Toji mengangkat kaki Satoru, lalu dia buka lebar-lebar. Pria itu mengocok dan menggesekkan penisnya pada vagina Satoru hingga tegang sempurna sebelum perlahan dia dorong masuk.

Satoru mengerang lemah, penis Toji terasa sesak di dalam karena memang ukurannya yang lebih besar dari milik kedua pria montir tadi.

“Sakit ya, manis? Maaf ya, om bakal pelan-pelan,” ucap Toji, mengecup kening Satoru.

Satoru menggeleng. “Enggak.. capek..”

“Capek?” Ulang Toji lembut. “Yaudah kalo adek capek adek diem aja, nikmatin aja ya. Biar om yang bikin adek enak.”

Satoru mengangguk. Dia merengek pelan ketika Toji mulai bergerak. Melihat itu, Suguru terdorong untuk mendekat. Dia belai rambut Satoru, dia cium dan lumat dengan lembut bibir Satoru, sembari satu tangannya meremas lembut payudara Satoru.

“Nghh.. Kakak,” Satoru merengek lagi.

“Iya, Kakak di sini,” jawab Suguru lembut.

Sukuna yang menyaksikan pun berpikir, oh, mungkin Satoru memang lebih suka dilembutin daripada di kasarin. Dia pun ikut mendekati Satoru, dia belai dengan lembut lengan si cantik.

“Maaf ya kalo aku tadi terlalu kasar.”

Mendengar suara Sukuna, Satoru menoleh. Kemudian dia mengangguk. “Iya kak Sukuna, gak papa. Ahh.. om.. enak..”

Sial, masih sempet desah. Begitulah kira-kira batin Suguru dan Sukuna.

Sementara Toji tersenyum bangga, dia kecup paha Satoru sembari menggenjot wanita itu pelan tapi pasti. “Enak, kan? Iya dong, om, gitu loh. Om paling paham cara enakin perempuan. Gak kayak dua itu, masih bujang. Mana paham cara puasin perempuan.”

Mulai tengilnya.

Satoru terkekeh. “Tapi kak Suguru sama kak Sukuna juga enak tadi om.”

Mendengar itu Sukuna langsung menjulurkan lidah ke Toji untuk mengejek yang lebih tua. Sementara Suguru menaik turunkan alisnya bangga.

Toji mendengus sebal. Merasa tertantang, pria itu kini menggerakkan pinggulnya dengan sangat lihai. Penisnya menumbuk titik surgawi Satoru dengan tepat, membuat si cantik memekik dan menggelinjang keenakan.

Merasa bangga telah menemukan titik kenikmatan Satoru, Toji mulai menambah intensitas tumbukannya. Dia tumbuk berkali-kali tepat di titik itu hingga tubuh Satoru bergetar dan merinding.

Gadis itu keenakan sampai menangis.

“Pria yang berpengalaman itu tau dimana letak surga dunia perempuan. Sini sayang, ayo, keluarin buat om. Lepas,” ucap Toji lembut, penisnya masih menumbuk Satoru di titik itu sambil jarinya memainkan klitoris Satoru.

“A-ahh.. om.. aahh!”

Akhirnya, untuk pertama kali, Satoru merasakan orgasme. Seluruh badannya mengejang, kakinya bergetar, rasa nikmat memuncak hingga ke ubun-ubunnya. Sungguh luar biasa.

Toji tersenyum bangga. Dia kecup lembut perut Satoru sebelum menarik keluar penisnya. Dia kocok dan keluarkan spermanya di perut Satoru.

“Pinter.”

Dari sini, Suguru dan Sukuna yang menyaksikan hanya bisa pasrah menerima kekalahan mereka dari Toji. Ya, mereka akui, skill mereka dalam memuaskan wanita memang masih jauh jika dibanding dengan Toji.

Saking turn off-nya, penis kedua pria itu yang tadinya masih tegak, kini mulai melemas dan jatuh lunglai tak berdaya.

Sukuna menepuk dada Suguru. “Dah, dah, Sug. Balik kerja.”

Toji terkekeh dengan nada meledek, melihat kedua anak buahnya kembali memakai pakaian mereka dan melanjutkan pekerjaan seakan tidak terjadi apa-apa.

Kemudian dia mengalihkan perhatiannya ke Satoru. “Anak pinter. Kamu cantik banget sayang. Mau main sama om terus, gak? Nanti gantinya setiap kamu servis di sini, om gratisin. Biar uang saku dari papa bisa kamu tabung buat hal lain. Mau?”

Satoru terdiam, terlihat menimang-nimang. Dengan sabar Toji menunggu jawaban Satoru.

“Um.., tapi.., aku boleh main sama kak Suguru sama kak Sukuna juga, ya, om?”

Sukuna dan Suguru jelas mendengar jawaban Satoru. Mereka berdua sumringah. Yes! Setidaknya masih ada harapan.

Sementara Toji, pria itu mengangguk. “Iya, boleh dong sayang. Tapi om tetep prioritas. Paham?”

Satoru mengangguk lucu. “Ung! Paham om.”

Dan ya, seperti itulah kisah asal muasal Satoru bisa servis gratis selamanya di bengkel milik Toji.


END.

Thank you very much!

Swapping Spit

a sugusato oneshot.

Tags: ciggarette, bubble gum, kissing, deep kiss, spit, suguru and satoru are friends with benefit (kinda), romantic friendship, boyslove, dialog non baku & semi eng

Words: 1,1K+


“Sebat itu…, apa enaknya, sih?”

Dua orang laki-laki yang sama-sama baru saja menginjak usia dewasa tengah berada di sebuah balkon. Matahari kemerahan yang beranjak terbenam itu menemani mereka.

“Once you taste it, you’ll know it.”

Mereka adalah Geto Suguru dan Gojo Satoru.

Yang bersurai putih memiringkan kepalanya. Sebuah gumaman “hm?” lirih keluar dari bibir merah mudanya.

Yang bersurai hitam melirik lawan bicaranya. “Tapi menurut gue mending lu jangan coba, deh. Once you try it, you’ll get addicted to it.”

Geto, si surai hitam. Lelaki itu menyesap lintingan tembakaunya, lalu menghembuskan kepulan asap dari mulutnya. “And it’s hard to stop it.”

Gojo, si surai putih. Ia geser kursi plastiknya untuk mendekat kepada Geto. Tangannya menepuk pundak lelaki itu, membuat Geto menoleh kepadanya.

“Mana yang lebih adiktif? Sebat?” Gojo menunjuk rokok yang terselip pada jari Geto, “atau—” kemudian ia tunjuk bibirnya, “—ini?”

Geto terkekeh. Jika Gojo sudah bertingkah seperti itu, dia lebih dari paham, ada sesuatu yang diinginkan sahabatnya itu.

“You won’t like it, Satoru. My spit would taste like a burnt tobacco.”

“Gue belom coba. Gimana gue bisa tau? Beside, gue cuma tanya mana yang lebih adiktif. Rokok, atau bibir gue,” Gojo menyahut.

Kemudian Suguru meletakkan rokoknya yang tersisa setengah itu pada asbak. “Well, both are addictive. But it’s different. Kalo rokok, ketika mulut gue sepet, gue bisa isep kapan aja. Kalo bibir lo, ketika mulut gue sepet, well, lu gak 24 jam selalu ada sama gue.”

Gojo mendengus. “Gue pindah rumah, deh. Biar serumah sama elu. Biar bisa 24 jam sama elu.”

“Kalo gue gak mau?” Geto mengangkat sebelah alisnya, tentu saja bercanda.

Tiba-tiba Gojo beranjak, ia menghampiri Geto dan berdiri di hadapan lelaki itu. Selanjutnya, ia dudukkan pantatnya pada paha Geto dengan posisi wajahnya berhadapan dengan lelaki yang lebih muda 2 bulan darinya itu.

Gojo menarik leher Geto, ia tubrukkan bibirnya di atas bibir Geto. Ia kulum, ia sesap. Ia paksa Geto untuk membuka bibirnya.

Geto sendiri tersenyum di dalam ciuman itu. Hal semacam inilah yang ia suka dari Gojo. Ia biarkan Gojo melakukan apa pun sesukanya, ia memilih untuk menikmati hal yang ingin ditunjukkan oleh sahabatnya itu.

“Gue bisa kasih hal kayak gini setiap hari. Masih gak mau tinggal sama gue?” Gojo berucap dengan napas sedikit terengah setelah melepas tautan bibirnya pada bibir Geto.

Geto terkekeh. “Lu kedengeran kayak manusia hopeless romantic.”

Tiba-tiba Gojo meletakkan kepalanya pada pundak Geto, membuat dirinya sendiri rileks dalam posisi seperti itu. “Well, I am. Suguru…,” jari telunjuknya membuat pola-pola abstrak pada dada Geto.

“Come on…, just let me live with you,” bibirnya sedikit mengerucut.

“You know, Satoru. It’s not like I don’t let you live with me. Gue akan suka banget kalo lu tinggal sama gue. It’s just, lu tau sendiri gue perokok berat. Dan lu bukan perokok. Gue khawatir aja paru-paru lu bakal kenapa-napa gara-gara gue,” Geto menanggapi ucapan Gojo.

“Well, gue kesepian. Di rumah segede itu, gue tinggal 'sendirian', it feels like a hell, man.”

Geto paham betul tentang latar belakang keluarga Gojo. Lahir dan tumbuh di dalam keluarga konglomerat, yang mana hal itu terkadang membuat Geto iri.

Tetapi setelah mendengar keluh kesah Gojo tentang betapa kakunya tradisi dan tata krama di lingkungan keluarganya, membuat Geto harus berpikir dua kali jika ingin menaruh rasa iri.

Dia adalah lelaki yang benci di kekang.

Dan Gojo lebih benci lagi. Bagi seorang Gojo Satoru, kebebasan adalah segalanya. Itulah kenapa Gojo tidak suka berada di rumah, dan lebih sering memilih untuk mengunjungi apartemen sederhana Geto dan menghabiskan waktu bersama lelaki itu.

“Lu gak papa kepapar asap rokok?”

Gojo menghela napas, membuat leher Geto terasa digelitik.

“Lebih baik dari pada diatur mulu di rumah.”

Tangan Geto pun terangkat untuk mengelus kepala Gojo. “Live with me, then. Tapi bantu bayar billsnya.”

“Of coooourse, gue bayar tagihan apart lu, lu bayar tagihan listrik, air, sama wifi. Gimana?” Gojo menanggapi.

“Tagihan air, listrik, sama wifi udah jadi satu sama tagihan apart, sih.”

Iseng, tangan Gojo menyentuh area selangkangan Geto.

“Anj—lu ngapain?” Geto tersentak, sementara Gojo terkikik. “We’re in the middle of convo with serious topic, for a God’s sake.”

“Hehehe, gue denger kok, Suguru ganteng. Ya udah, nanti bayarnya split bill aja. Atau mau giliran, kayak bulan ini gue, bulan depan elu, bulan depannya lagi gue, dan seterusnya. Terserah lu deh, atur aja gimana enaknya,” ujar Gojo.

Geto mengangguk. “Oke, gampang deh nanti. Lu pikir-pikir lagi aja, mau beneran pindah ikut gue apa enggak. Sekarang mending lu bantu gue buat,” ia menggantungkan kalimatnya.

“Hm?” Dan Gojo pun mendongak untuk menatapnya.

“Kurangin kebiasaan gue nyebat,” lelaki bersurai hitam itu mengelus bibir yang bersurai putih, “with this.”

Gojo tak bisa untuk tak menarik sebuah senyuman pada bibirnya. Tepat ketika wajah Geto mulai mendekat, ia mengacungkan jari telunjuknya.

“Ah! Gue punya ide,” ia pun mengambil sesuatu dari saku celananya, mengundang kerutan penuh rasa penasaran dari Geto.

“Bubble gum?”

Gojo mengangguk antusias. “Yap! Kalo mulut gue sepet, gue biasa ngunyah permen karet. Gue gak tau di elu bakal works atau enggak, tapi apa salahnya coba, ya kan?”

Lelaki bersurai putih itu pun mengupas bungkus permen karetnya. Satu butir ia masukkan ke dalam mulutnya.

Geto menatap Gojo kebingungan. “I thought you were gonna help me?”

Gojo meletakkan jari telunjuknya pada bibir Geto. Setelah beberapa kali mengunyah, ia tarik lagi tengkuk Geto untuk menyatukan bibirnya dengan bibir pria itu.

Dapat Geto rasakan bagaimana lidah Gojo yang memaksa masuk ke dalam sela-sela bibirnya, seakan tak sabar untuk memintanya membuka mulut.

Dan dengan senang hati Geto ladeni. Ia buka mulutnya, membiarkan lidah Gojo menelusup dan mengeksplor rongga mulutnya.

Ludah Gojo terasa sedikit manis, mungkin karena gula dari permen karet yang masih belum hilang itu.

Gojo pun mendorong permen karet di mulutnya untuk ia pindahkan ke dalam mulut Geto. Setelah gumpalan elastis itu berpindah, ia kulum sebentar bibir Geto, lalu ia hisap sebelum akhirnya ia lepas tautan bibirnya pada bibir Geto.

Ah, jadi begini cara Gojo.

Gojo tersenyum ketika melihat lelaki di hadapannya mengunyah permen karet darinya. Kemudian senyumnya berubah menjadi kekehan.

“Lu gak bohong, Sug. Your spit really taste like shit. Rasanya kayak gue ngemut abu.”

Geto ikut tertawa. “Kan juga udah gue bilang tadi.”

Gojo pun membuka satu lagi bungkus permen karet yang masih baru dan mengunyahnya untuk menghilangkan rasa rokok dari ludah Geto.

“Tapi gue paling suka ciuman sama elu. Aaaaaaaaaagh! Nagih pokoknya hehehehe, nanti mau lagi, ya?” Ujarnya kemudian, ditanggapi tawa gemas dari Geto.

“At least kalo pengen ciuman bilang dulu, biar gue bisa ilangin dulu bau rokok di mulut gue.”

“Aih.., Suguru, why so sweet?” Gojo menoel pipi Geto.

“It’s a bare minimum?” Sahut Geto.

“Tetep aja.”

Geto tertawa, sekali lagi. Kedua lengan bebasnya pun berinisiatif untuk melingkar pada pinggang Gojo.

“Thanks, anyway. It was sweet, Satoru. I like it,” ucapnya sebelum mengecup sekilas bibir Gojo.

Purple Light District

Tags: geto x fem!reader, other jjkdilf as cameo, assassin, mafia, slight nsfw, weapons, fight, explosion, blood, bruises, gun, sword, knife, grenade, catcalling, harsh words & action, you and geto are working partners, written in bahasa, dialog semi english & nonbaku

Words: 3,3K+


“Thank you!”

Dirimu melangkah keluar dari minimarket sembari memakan es krimmu. Di tangan kirimu, terdapat kantong berisi belanjaan untuk kau jadikan stok bulanan.

Sore hari yang cerah, dengan santai kamu berjalan menyusuri trotoar menuju asrama tempatmu tinggal. Bibirmu bersenandung kecil, menikmati angin sepoi-sepoi sore hari itu. Sesekali kamu menyapa orang-orang yang berpapasan denganmu, tidak peduli kamu kenal dengan mereka atau tidak.

Masih asyik bersenandung, tiba-tiba dirimu mendengar suara orang sedang berbisik-bisik dari belakangmu. Jika kamu kira-kira, kemungkinan ada dua orang. Kamu pun memutuskan untuk mengabaikan saja. Hingga kemudian,

“Hoit! Cewek~”

“Wuih, pantatnya semok cuy!”

“Toketnya pasti gede ya, coba hadep sini dong, cantik~”

Kamu pun mendengus sebal. Es krimmu yang tinggal 1/3 itu pun kamu lempar ke dalam tempat sampah yang berjarak lima meter di depanmu. Kamu meregangkan sendi-sendi pada jarimu sebelum akhirnya berbalik dan berjalan cepat menghampiri dua orang di belakangmu.

BUGH! DUGH!

Mereka jatuh tersungkur. Satu laki-laki mendapat bogem mentah pada pipinya, satu lagi mendapat tendangan pada selangkangannya. Kamu mengusap buku-buku jarimu. Dirimulah yang memukul dan menendang kedua laki-laki asing itu.

Terlihat bagaimana mereka berusaha untuk bangun, namun kemudian dengan gerakan super cepat kamu raih lengan mereka untuk kamu pelintir.

“Akh!” Erang mereka kesakitan.

Tanpa rasa ampun, kamu bekuk kedua laki-laki itu hingga posisi mereka saat ini adalah tengkurap di atas trotoar.

“Fyuh, nyusahin aja deh,” kamu menghela napas. Satu kakimu kamu pijakkan pada punggung salah satu dari mereka.

“Abang-abang, kalo mau godain cewek itu minimal mandi. You looking like that, mana ada cewek yang mau? Dekil gitu,” ujarmu, masih belum melepaskan bekukanmu.

Terdengar bagaimana kedua laki-laki itu merintih dan memohon untuk dilepaskan.

“Mau liat toket? Paling enggak harus ada effort, lah. Jangan minta-minta doang. Lu ganteng dulu, kaya dulu. Baru dah,” lanjutmu.

Kamu pun melepaskan kedua laki-laki itu. “Dah sana, mandi dulu, ye?! Biar gak dekil. Keramas bang, biar rambutnya gak gimbal gitu. Oke?! Gak usah ganteng gak papa, paling enggak bersih, wangi, gak apek.”

Kedua laki-laki itu segera lari terbirit-birit, kabur untuk menghindar darimu.

CTUK!

“Hm?”

Sebuah kepingan kotak kartu jatuh dari sakumu. Kamu pun memungut kartu itu.

Y/N Xyz Assassination Organization Private Combat Division

Sebuah kartu identitas keanggotaan Xyz Assassination Organization, atau lebih umum disebut XAO. Kartu itu adalah milikmu, maka kamu pun segera menyimpan kembali kartu itu sebelum ada orang yang sempat mengetahui kartu apa itu.

CLAP CLAP CLAP

“Impressive. That’s my girl.”

Kamu menoleh ketika ada suara menginterupsi. Tapi setelahnya, bibirmu menyunggingkan senyum tipis ketika mengetahui dari mana suara itu berasal.

“That’s my girl that’s my girl, gue itu partner kerjamu, bukan pacarmu,” ucapmu.

Pria yang baru saja datang itu adalah Geto Suguru, salah satu partner kerjamu. Dia juga bekerja pada XAO, yang kebetulan pada periode ini berada dalam satu divisi denganmu.

Geto menghampirimu, dia meraih tanganmu. “Well, di divisi kita lu doang yang cewek. Makanya gue bilang ‘my girl’. Anyway, lu gak papa? Ada yang lecet?” Dia mengecek tanganmu. Sesekali tangannya akan memegang punggung, pinggang, dan pinggulmu.

Kamu pun menarik tanganmu. “Lebay ah. Ngehajar dua tusuk sate doang mah kecil.”

Geto tertawa mendengar ucapanmu. “They didn’t know yang di-catcall pembunuh bayaran.”

Kali ini kamu ikut tertawa. “Dah ah, yuk balik!”

Kamu pun mengangkat kantong belanjaanmu yang sempat terlantar itu. Lalu kamu menoleh ke arah Geto yang masih diam berdiri, yang ternyata masih sibuk membakar ujung batang rokoknya.

“Get, gak mau bantu bawaan ini gitu?” Kamu menyodorkan kantong belanjaanmu kepada pria berambut panjang yang diikat cepol itu.

Geto segera menghampirimu, mengambil alih kantong belanjaanmu, dan berjalan di sebelahmu. Kalian berdua pun kembali menuju asrama.


“Saya kurang tahu ini kelalaian siapa, tapi sebagian senjata kita di gudang telah dicuri.”

Pukul satu dini hari, beberapa anggota XAO sedang berkumpul. Termasuk dirimu dan Geto juga berada di situ.

“Mengungkit siapa yang salah menurut saya nggak penting sih, Sir. Tinggal gimana cara kita bisa dapetin balik itu senjata,” kamu menoleh ke arah Geto ketika pria yang duduk di sebelahmu itu membuka suara.

“That’s true, Geto. Good thing is we still got some traces left. Kita dapet jejak yang cukup jelas, nunjukin siapa pelakunya. Our Spy Division, mereka berhasil mengungkap siapa pelakunya dari jejak-jejak yang ditinggalin oleh pelaku,” kepala Weapon Division itu menanggapi ucapan Geto.

Pria yang telah menginjak kepala empat itu diam sejenak sebelum melanjutkan, “It was The Jaguar. ‘Anak’ dari Purple Light District’s Mafia.”

Purple Light District. Sebuah distrik malam yang dikenal sangat bebas di kota ini. Berita pembunuhan dan kasus kriminal lain yang berlokasi di distrik ini sudah tak lagi asing didengar.

Konon katanya, terdapat markas kelompok mafia di dalam distrik ini. Tak diketahui asal muasal kelompok mafia itu, yang orang-orang tahu adalah mereka menguasai hampir sebagian besar tempat-tempat di Purple Light District. Itulah mengapa mereka disebut Purple Light District’s Mafia atau PLD’s Mafia.

Namun nyatanya, walaupun memang adanya kelompok mafia yang bermarkas di distrik itu adalah fakta, tapi saat ini mereka telah pergi mengembara entah ke mana, meninggalkan markas mereka di Purple Light District untuk dilimpahkan kepada The Jaguar, salah satu dari sekian banyak ‘anak’ mereka. The Jaguar berisi sekelompok manusia yang telah dilatih dan dipercaya PLD’s Mafia untuk dijadikan tangan kanan mereka.

“The Jaguar tidak sebahaya PLD’s Mafia. Saya rasa, satu divisi saja cukup untuk menangani mereka. Untuk itu, atas instruksi dari Boss serta hasil diskusi dengan para kepala divisi, Private Combat Division, kalian yang kami tunjuk untuk turun ke lapangan.”


“Mafia, huh? Ini bakal agak merepotkan.”

Geto mengangguk setuju. “Terlebih ini PLD. Mereka bukan mafia ecek-ecek.”

Kamu melepas bajumu. Membiarkan payudaramu yang tak tertutupi bra itu terekspos dengan jelas. Tak peduli bahwa di situ masih ada Geto dan beberapa anggota Private Combat Division lain yang sedang bersiap-siap.

Dan Geto sudah biasa melihat pemandangan itu.

“Are you afraid?” Ucapmu sembari mengenakan jaket kulit anti peluru.

Geto menoleh, dia menyeringai tipis sembari menggeleng. “There’s no way.”

“But what if you die tonight?”

“Mau gue jawab jujur apa bohong?”

Kamu tertawa kecil mendengarnya.

“Well, kalo bohong, misal gue mati malam ini, gue nggak bakal ngapa-ngapain. Like, if I die, so I die. I can’t do anything about it. Lalu kalo jujur, before I die,” Geto menatapmu.

Ketika dirimu membalas tatapannya, dapat kamu rasakan lekatnya sorot mata pria itu. Kamu merasakan sesuatu, yang entah apa itu kamu pun tidak tahu.

Geto pun kembali membuka mulutnya, “I really want to have s—”

CKLEK

Pintu ruangan itu terbuka, menampakkan sosok pria paruh baya yang merupakan kepala divisi Private Combat.

“You guys have 10 mins before assemble. Siapkan diri baik-baik.”

“Yes, Sir!”

Setelah kepala divisi itu berlalu, kamu pun kembali menaruh perhatianmu kepada Geto yang tadi belum menyelesaikan kalimatnya.

“You wanna have what?”

Alih-alih menjawab, pria itu terkekeh. “Gak jadi.”

Kamu menggumamkan kata 'ancrit' sambil ikut terkekeh kecil.

Setelah pakaianmu siap, kamu pun mengambil pistolmu yang masih belum diisi peluru itu. Kamu lihat Geto baru saja selesai mengikat tali boots-nya.

Kamu menghampiri Geto sembari membawa pistolmu. Tanpa mengatakan apa-apa, kamu duduk di pangkuan pria itu, menghadap dirinya.

“Hm?”

Kamu todongkan ujung pistolmu pada dada Geto. “Isiin peluru.”

Geto mengambil pistolmu. “You can do it by yourself,” walau begitu dia tetap mengisikan peluru ke dalam pistolmu.

Kamu tersenyum. “Thanks!”


Para kru Private Combat Division memasuki sebuah gang dengan penerangan yang didominasi warna ungu. Walaupun dini hari, masih terdapat banyak kehidupan di Purple Light District.

“Menurut petunjuk dari anak divisi Spy, The Jaguar headquarter ada di dalam Palmera Club. Jadi kita kudu masuk dulu ke situ. Nanti di lantai 2, deket room no. 39, ada pintu tersembunyi di balik pot bunga gede. Pintunya nyatu sama tembok, kayak, nyatu banget. Jadi kalau nggak jeli, nggak bakal keliatan,” Geto memberi penjelasan kepada kru yang turun dini hari itu. Kali ini dirinya diberi kepercayaan untuk menjadi pemimpin kru.

Untuk penyamaran, para kru malam itu mengenakan baju biasa di atas pakaian tempur mereka. Senjata yang mereka bawa pun telah mereka sembunyikan dengan sedemikian, sehingga jika dilihat dari luar, mereka terlihat seperti pengunjung biasa.

“Ah…, ini masuk ke club, kah? Gue gak bisa minum alkohol,” salah satu anggota kru berceletuk. Dia adalah Gojo Satoru, yang merupakan ahli senjata ledak.

“We’re not gonna drink tonight. Bro, kita mau perang, masa ya perang dalam keadaan mabok?” Sahut Geto.

“Ada rumor bilang orang mabok tenaganya lebih gede daripada orang lagi gak mabok,” satu lagi anggota kru bersuara, dia adalah Haibara Yuu.

“Rumor dari mana, anjing? HAHAHAHAHA asbun aja lu!” Kru lain yang bernama Ino Takuma menimpali dengan tawa kencang.

Kamu ikut tertawa kecil mendengar banyolan rekan-rekanmu. Setidaknya biarkan saja mereka bergurau sebelum akhirnya harus mempertaruhkan nyawa.

Akhirnya para kru termasuk dirimu pun memasuki Palmera Club, salah satu klub diskotik paling tua di Purple Light District.

“Can we book a whole room for us?” Ujar Geto kepada seorang waiter.

“Sure, how many people?”

“Seven.”

“Okay, Sir. Available rooms are room no. 02, room no. 11, room no. 26, and room no. 39.”

“We’d like to take room no. 39.”

Waiter itu pun menuliskan pesanan Geto, lalu menunjukkan jalan menuju ruangan no. 39. Sesampainya di sana, kedatangan mereka disambut oleh dua orang waiter yang juga telah menyediakan daftar menu.

“Foods and beverages?”

“Bro, asli kita gak boleh minum? Minimal bir lah,” Sukuna, salah satu anggota kru yang berdiri di sebelah Geto berbisik pada pria rambut panjang itu.

“No, thanks. We’ll order later.”

Kedua waiter itu pun membungkuk, kemudian berlalu meninggalkan ruangan. Sementara itu, Sukuna mendengus sebal sambil menatap Geto dengan tatapan datar.

“Gak asik,” gerutunya.

“I heard that,” Geto menyahut.

“Now what?” Kali ini kamu yang buka suara. Kamu menyilangkan kedua lenganmu di depan dada sembari menyandarkan punggung pada dinding. Satu batang rokok terselip di antara kedua bibirmu.

“Strategi udah deal semua, kan? Ya udah, tinggal cus,” jawab Geto.

Lalu tanpa menjawab apa-apa, dengan santai kamu berjalan menuju pintu, membukanya, dan keluar dari ruangan itu.

“Agh, dammit. That girl,” dengus Geto, berjalan menyusulmu keluar.

“Wajar bosku, cewek sendiri. Susah ditebak, seenaknya sendiri,” celetuk Sukuna.

“Jangan banyak omong, ayo,” sahut Geto, nada bicaranya terdengar sedikit lebih dingin.

Ketika Geto sudah sampai di luar ruangan, dia melihat pintu yang dia maksud sudah terbuka lebar. Kamu ada di depan pintu itu, pot besar yang menghalangi pintu itu juga telah tergeser jauh.

“How—”

“Yang ini, bukan? Pintunya,” kamu menoleh ke belakang, menatap Geto.

“U-uh, yes, that one—”

“Ya udah, ayo. Tunggu apa lagi?” Kamu pun bergegas melangkah melewati ambang pintu itu, diikuti Geto dan yang lain di belakangmu.

Ruangan di balik pintu itu hitam pekat, gelap gulita. Salah satu anggota kru bernama Choso menyalakan senter dari ujung bolpoin yang dia bawa sebagai penerangan.

Kamu dan anggota kru yang lain menyusuri lorong dengan tangga yang membawa kalian menuju ruang bawah tanah. Di sepanjang dinding terdapat lukisan jaguar dari spray paint.

Semakin mendekati ujung lorong, Geto memerintahkan Choso untuk mematikan senter karena di ujung sana mereka melihat cahaya ungu remang-remang.

“It’s them. They’re here,” bisiknya.

Kamu dan orang-orang bersamamu berjalan makin mendekati ujung dari lorong. Kamu mendengar samar-samar suara beberapa orang yang sedang bercengkerama. Juga beberapa bunyi benda keras yang diletakkan.

“Di ruangan itu,” Geto menunjuk sebuah pintu baja yang berada di sudut ruangan. “Mereka nyimpen curian senjata di sana. Mei told me.”

Mei Mei, wanita itu adalah salah satu anggota andalan dari Spy Division XAO. Semua informasi tentang The Jaguar, sebagian besar didapat dari Mei.

Kamu melihat ada banyak orang di sana. Mungkin sekitar hampir tiga puluh. Untuk menuju ke pintu baja itu, artinya harus menghabisi mereka terlebih dahulu.

“Let's go.”


Sukuna, Choso, dan Ino mulai bergerak secara diam-diam. Mengikuti gelapnya bayangan, mereka mendekati orang-orang The Jaguar yang dini hari itu sedang bersantai.

Tanpa suara, seperti tak terjadi apa-apa, beberapa orang The Jaguar tumbang satu persatu. Entah trik apa yang mereka lakukan, yang pasti orang-orang The Jaguar yang lain mulai terlihat kebingungan.

“Yo, what the fuck is happening?!”

“Kita diserang!”

Sukuna, Choso, dan Ino yang maju lebih awal tadi mulai menunjukkan diri. Pertarungan pun dimulai.

Sementara empat kru yang lain,

“Gue sama Haibara bakal ikut maju. Gojo, Y/N, kalian berdua nanti langsung ke pintu baja itu, amanin senjata. I trust you guys,” ucap Geto memberi komando.

“Sebenernya gue pengen perang, sih.”

“Yah, padahal gue paling oke kalo masalah ngebobol pintu.”

Kamu dan Haibara berkata secara bersamaan.

Mendengarnya, Geto diam sejenak. Sebelum akhirnya pria itu berkata lagi, “Well, ya udah kalo gitu Haibara pergi sama Gojo. Y/N, lu sama gue. Let’s go!”

Kamu bersama tiga yang lain segera bergerak sesuai instruksi. Kamu bersama Geto, dirimu segera beraksi dengan pistolmu, sementara Geto bergerak lincah dengan pedang dan belatinya, menebas kepala dan anggota tubuh orang-orang The Jaguar tanpa ampun.

Saat ini dirimu berada di tempat tersembunyi, menembaki orang-orang The Jaguar dari jauh. Namun ketika dirimu melihat empat yang lain di sana mulai kewalahan, kamu pun memutuskan untuk bergabung dengan mereka.

Dengan kemampuan yang sudah terlatih, kamu mengombinasikan hand combat dengan tembakan pistol. Beberapa orang The Jaguar berhasil tumbang di tanganmu.

Kemudian ada satu orang The Jaguar yang mendekatimu. “Hai, cantik,” orang itu menyeringai, dengan cepat menjambak rambutmu dan menariknya ke belakang.

Gerakan orang itu sangat cepat, hingga dirimu tak sempat untuk menangkis. Kepalamu pun dibenturkan ke dinding.

“Ssshh,” desismu menahan rasa pening di bagian belakang kepalamu.

Ketika orang itu mendekat lagi—dengan gerakan yang sangat cepat—dirimu segera bergerak menghindar, berpindah menuju blind spot orang itu, dan mencengkeram kerah bajunya dari belakang. Ya, kali ini dirimu tak kalah cepat dengannya.

Kamu tarik kerah orang itu dengan kencang, membantingnya ke lantai. Tanpa basa-basi, kamu tembak kepala orang itu.

“Fuck you,” kamu meludahi muka orang itu sebelum beranjak.

Sementara itu, Geto dan yang lain masih bergerilya. Tanpa mengurangi kewaspadaan, kamu menyempatkan diri untuk mengamati mereka, terutama bagaimana lincahnya Geto beraksi.

Tanpa sadar senyuman tipis terukir pada bibirmu. Kamu bergumam, “He’s cool.”

“Uh?” Matamu pun menangkap seorang The Jaguar yang mengarahkan senapan pada Sukuna, yang saat itu sedang fokus pada orang The Jaguar yang lain.

Kamu pun berlari menuju orang yang membawa senapan itu.

“Sukuna! Awas kepala!”

DOR! BUGH!

Kamu berhasil memberikan headlock dan menendang senapan orang itu. Namun begitu, peluru masih berhasil ditembakkan.

“Aw,” dan Sukuna sendiri mengusap daun telinganya yang berdarah, nampaknya tergores peluru dari orang The Jaguar itu.

Sebuah belati kamu ambil dari dalam jaketmu. Dengan cepat, kamu tusukkan belati itu tepat mengenai jantung orang The Jaguar tanpa sempat dia bertindak apa-apa.

“Y/N!” Itu Sukuna yang memanggilmu. “Thanks!”

Kamu mengangguk. “Be more careful next time!”

“Sip!” Pria bertato itu mengacungkan jempolnya.


Sebagian besar orang The Jaguar telah berhasil ditumbangkan. Menyisakan empat orang petinggi kelompok itu, sementara tujuh anggota kru Private Combat Division dari XAO menyembunyikan diri.

“Kemana mereka sekarang?”

“They must be hiddin’, Boss.”

Coral, bos dari The Jaguar itu menyesap rokoknya. “XAO, huh?” Pria paruh baya itu pun menghembuskan kepulan asap dari mulutnya. “That organization is a real pain in the ass.”

Sementara itu di tempat persembunyian,

“Gue tau lu semua capek kalo gelut mulu, kan? Apalagi tinggal bosnya ni cuy, bakal rada susah dikit,” Gojo, spesialis senjata ledak itu berujar.

“Kalo boleh jujur sih iya cog, gue capek,” jawab Sukuna, yang saat itu lengannya yang terkena luka tusuk sedang diperban oleh Choso.

“Kasian Una sih, udah luka banyak,” celetuk Choso, seorang ahli racun dan bius.

Gojo pun mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya. “That’s why gue udah siapin ini. Cepet, praktis, deadly,” ucapnya.

Sebuah granat.

“Jangan bilang lo mau ledakin tempat ini?” Geto bersuara.

“Ya, iya. Emang granat buat apa lagi kalo bukan buat diledakin? Dibuat sepak bola, kah?” Jawab Gojo, masih sempat bergurau.

“Lu gila? Trus orang-orang yang kerja di klub ini sama pengunjungnya gimana?” Kali ini kamu yang bersuara.

“Tenang aja, semua udah dievakuasi sama Ino. Tanpa terkecuali, ” Gojo menjawab lagi.

“What about the weapons?” Lagi, Geto bertanya.

Dan Gojo menyahut sambil mengacungkan jempol, “Udah diamanin Haibara.”

Ah, benar. Itulah kenapa saat ini Ino dan Haibara tidak ada bersama kalian berlima.

Setelah berpikir dan berdiskusi singkat, kalian memutuskan untuk menyetujui ide Gojo. Maka dari itum Gojo pun mulai merakit granatnya.

“Nah, ini tinggal lempar. Lima detik, dia meledak. Sebelom gue lempar, lu pada buruan lari. Temuin Ino sama Haibara di deket John’s Bakery. Kalo udah di sana, kasih gue sinyal,” ujar pria berambut putih itu.

“Terus elu?” Terlihat raut wajah Geto yang sedikit ragu bercampur khawatir.

“Come on, man. Gue bisa lari lebih cepet dari lima detik,” jawab Gojo, terlihat begitu santai.

Namun tetap saja keempat yang lainnya terlihat sedikit ragu. Terlebih ketika mendengar waktu ledak granat itu hanya lima detik. Yang mana artinya, Gojo harus sudah berada di luar gedung sebelum lima detik.

Dan Gojo, dia menyadari kekhawatiran kawan-kawannya. Dia pun tertawa kecil. “Come on, don’t you guys trust me? Waktu kita nggak banyak.”

Akhirnya keempat yang lain pun segera beranjak. Kamu menyempatkan diri untuk menepuk pundak tinggi pria rambut putih itu.

“Lu harus janji, jangan mati. Sampe lu mati, gue sumpahin lu disiksa di alam baka,” ucapmu.

Menanggapinya, Gojo tertawa lagi. “Siap, bos!” Balasnya.

Maka dari itu, dirimu bersama Geto, Sukuna, dan Choso bergegas keluar dari gedung Palmera Club, menyusul Ino dan Haibara yang telah menunggu di John’s Bakery. Meninggalkan Gojo seorang diri yang telah bersiap dengan granatnya.


Kalian berlima telah bergabung dengan Ino dan Haibara. Beberapa orang yang bekerja pada Palmera Club juga berada di sana. Sesuai dengan permintaan Gojo, Geto pun memberi sinyal kepada Gojo menggunakan walkie talkie.

1 detik..

2 detik..

3 detik..

Belum terlihat batang hidung pria super jangkung itu.

4 detik..

“That bastard…,” gumam Geto gelisah.

5 detik.

BOOM!

Suara ledakan terdengar dari bawah tanah gedung Palmera Club.

Geto merosot, dia berlutut dengan lemas. Dan kamu pun berinisiatif menghampiri pria itu, ikut berlutut untuk mengelus pundaknya.

“Masih ada harapan,” ucapmu lembut. “Grenade isn’t as powerful as bomb. Besides, Gojo itu ahli senjata ledak. He sure knows what he’s doing. Don’t underestimate him.”

Perlahan, gedung Palmera Club mulai runtuh. Hal ini karena fondasi dan kolom yang menahannya di bawah tanah diledakkan.

Dan Gojo, pria itu belum juga terlihat keluar dari sana.

Geto pun beranjak untuk berdiri. “Kita tunggu dia sepuluh menit. Kalo belum keluar, well…, dengan berat hati, we go home without him.”

“OI! GUYS!”

Seketika enam anggota kru menoleh, lantaran mendengar suara yang begitu familiar. Senyum kalian merekah, bahkan Sukuna sampai bersorak girang, melupakan rasa sakit yang dia rasakan pada lengannya yang terluka.

Dia adalah Gojo, muncul dengan beberapa bagian baju yang sobek dan pipi serta lengan yang lebam. Dengan riang dia berlari menuju John’s Bakery sambil melambai-lambaikan tangannya.

“I didn’t make it in five seconds, but I still managed to escape. Heheh,” dia berkata ketika telah sampai ke tempat rekan-rekannya berada.

“Njing, lu bikin gue mau komplikasi, dah. Udah tensi naik sampe hampir hipertensi, perut mules, kepala pening, badan lemes, susah napas, ginjal gue lemah sampe kebelet kencing, sendi gue letoy, jantung gue rasanya sampe mau kena heart attack,” tak henti-hentinya Geto mengomel sambil memukuli badan Gojo yang sudah babak belur karena tertimpa runtuhan bangunan itu.


Private Combat Division dari XAO berhasil menjalankan misi mereka hari ini. Sebelum matahari terbit, mereka melakukan pesta kecil-kecilan untuk merayakan keberhasilan mereka.

Sekitar pukul 5 pagi hari, dirimu berjalan menyusuri lorong asrama XAO bersama Geto yang merengkuh pinggangmu.

Kalian berdua sedikit mabuk.

Seorang pria dengan rambut pirang berpapasan dengan kalian.

“Great job, guys. Congratulations. Nanti siang kalian diminta untuk ketemu Boss. Beliau mau kasih kalian penghargaan. Tolong sampein ke anggota divisi yang lain, oke? Thanks,” pria itu berlalu setelah melayangkan senyuman tipis.

Dia adalah Nanami Kento, salah satu anggota Civil Safety Division dari XAO.

Geto mendekatkan bibirnya pada telingamu. “What did that blondie say? Gue gak nangkep.”

Kamu terkekeh, lalu menggeleng kecil. “Me too, I didn’t hear him.”

Kemudian tangan Geto terulur untuk meraih resleting jaketmu, dengan perlahan dia tarik turun. Tangannya menyusup masuk ke dalam jaketmu dan meremas gundukan di dalam sana.

“Ahh, lu ngapain?” Kamu mendesah lirih.

“Yang gue pengen bilang waktu itu,” Geto bersuara dengan parau. “My wish before I die, it is to have sex with you.”

Mendengarnya kamu tertawa. Tanpa menanggapi ucapannya, kamu tarik lengan pria itu menuju kamarmu. Sesampainya di sana, kamu dorong badan kekar Geto hingga pria itu setengah berbaring pada ranjangmu.

Kamu pun mendekat.

“Do whatever you want. You never know when you’ll die,” bisikmu dengan nada nakal.

.

.

.

End.

Sebelum mulai ceritanya, di sini Asa adalah anak dari Gibran (Geto), Ginta adalah anak dari Oki (Naoya), Arin adalah anak dari Gilang (Gojo), dan Lily adalah anak dari [hayo siapa?]


“Happy birthday, Lily!”

Lily (nama samaran), seorang gadis cantik yang merupakan anak seorang konglomerat. Hari ini pesta ulang tahunnya digelar dengan begitu megah. Dan Asaki, yang lebih sering dipanggil Asa itu menjadi salah satu tamu yang diundang.

Lily menerima sebuah kotak kado dari tangan Asa yang mengulur kepadanya. Senyuman terpatri dari bibir cantik gadis itu. “Ini apa?”

“It’s a secret. Kalo aku kasih tau sekarang bukan surprise dong namanya? Hahaha, you have to figure it out by yourself,” Asa menjawab.

Lily memutar-putar kotak kado dari Asa, “It looks expensive.. I wonder what’s inside.., aku buka sekarang boleh?”

“Sekarang? Like, right now? Bahkan kamu belom tiup lilin, loh.”

“Aku penasaran banget, Sa..,” Lily sedikit merengek, membuat Asa mau tak mau akhirnya luluh.

“Well, kalo emang kamu pengen buka sekarang, buka aja, hehe. It’s yours anyway,” jawab lelaki yang baru saja menginjak usia 19 tahun belum lama itu.

Lily pun memekik riang. Saat itu juga, di hadapan Asa, Lily membuka kotak kado itu. Tak begitu besar, namun bobotnya cukup berat.

Setelah kotak itu terbuka, entah kenapa Asa merasakan senyuman Lily sedikit memudar. Dia lihat gadis itu mengamati sebuah parfum dari brand Dior, sebuah jam tangan dari brand Chopard, dan sebuah kartu ucapan yang tertata begitu rapi di dalam kotak kado itu.

Sejujurnya Asa sedikit gugup, takut-takut kalau Lily kurang menyukai hadiah darinya.

“Bagus.., Asa, thank you, yaaa! But actually papaku bisa beliin yang lebih bagus dari ini sih, hehehe. Aku juga udah punya parfum Dior sebenernya, tapi gak papa lah nanti ini aku pake kalo parfumku udah habis. Semoga aku suka baunya, ya,” akhirnya Lily berujar.

Mendengar itu, Asa tertawa sedikit canggung. “E-ehehe, iya, Ly. Makasih kembali, semoga kamu suka, ya.”

Lily membalas ucapan Asa dengan anggukan pelan sembari tersenyum tipis. Setelahnya, kotak kado dari Asa yang telah terbuka itu diletakkan begitu saja di atas sofa seakan tak ada harganya. Lily pun berlalu, menghampiri teman-teman perempuannya.

Asa menghela napas. Dia tatap nanar kotak kado yang teronggok tanpa daya itu, sebelum akhirnya juga beranjak meninggalkan ruangan dan memilih untuk keluar.


Sebentar lagi inti acara dari perayaan ulang tahun Lily akan dimulai. Namun Ginta, sahabat karib Asa, melihat lelaki dengan rambut nyaris sebahu yang diikat half ponytail itu sedang duduk seorang diri di kursi taman di rumah besar keluarga Lily sembari mengunyah permen karet.

Lelaki yang berusia hampir dua tahun lebih tua dari Asa itu menghampiri yang lebih muda.

“Bro? Pestanya udah mau mulai anjir, ngapain lu bengong di sini?”

“Males,” jawab Asa singkat.

“Bro?!” Ginta menatap Asa tidak percaya. “Are you serious? Ini si Lily coy, your biggest crush! Yang udah hampir lima bulan lu taksir itu! Ya bro, right now you’re attending her birthday party. Lu gak pengen liat dia di tengah altar, kah?”

Asa menggeleng pelan. “Kalo lu naksir Lily ambil aja Gin.”

Ginta mengerutkan dahinya, bingung dengan maksud dari ucapan Asa barusan. “The fuck are you saying? I’m tryna be nice.”

Akhirnya Asa melirik Ginta. “Sorry, bukan maksud gua gimana-gimana. It’s just, nih ya, kalo misalnya di dalem lu liat ada kotak yang bungkusannya kebuka, isinya parfum Dior sama jam Chopard, itu hadiah dari gua. Tadi dibuka sama Lily, katanya keburu penasaran. Eh pas udah tau isinya ditolak dong, hahahahaha, katanya Papinya bisa beliin yang lebih bagus.”

Ginta terdiam sejenak. Kemudian lelaki itu mengambil tempat duduk di sebelah Asa. “Bentar, jadi ini kayak, kado dari lu diterlantarin gitu? Setelah dibuka, bukannya disimpen malah diletakin gitu aja di sembarang tempat? Sambil ngomong gitu tadi?”

“Please Ginta, jangan emosi dulu. Mungkin Lily orangnya emang gitu. Bisa jadi abis ini kado dari gua bakal dia simpen. Hehe, gua juga sih, harusnya gak langsung ambil hati,” sanggah Asa.

“Lu yakin? Maksudnya, lu ngomong gini tuh are you completely sadar dan aware dengan apa yang lu ucapin?”

Asa pun menghela napas. “I don’t know, man. Jujur iya gua kecewa, but at the same time I really want to see her, liat dia looking like a princess di hari spesial dia. Tapi gak tau deh, rasanya kayak gua gak layak aja gitu ada di sini.”

“Kok lu mikir gitu?”

Asa menoleh ke arah Ginta, alisnya menukik. “Lu kok tolol? Maksudnya bayangin dah kalo lu jadi gua, lu susah-susah beli itu parfum sama jam tangan, mana mahal banget, dari luar negeri lagi. Parfum sama jam tangan gua aja harganya gak ada setengah dari itu, tapi dengan kaga ada beban dia ngomong Papinya bisa beliin yang lebih bagus dari itu. Lu kalo jadi gua apa gak ngerasa kalo, gimana ya, gak pantes aja gitu? Kayak, man, kasta gua udah beda sama dia. She’s far above me.”

Ginta terdiam, memperhatikan curahan hati sohibnya itu. Terdengar menyakitkan memang.

“Gitu ya si Lily ternyata. Beda deh yang dari lahir emang udah golden spoon,” ucapnya.

“Lu juga anak konglo tapi lu down-to-earth sih, bro. Maksudnya lu gua ajak makan di warteg yang es jeruknya lima rebuan juga masih sudi.”

Ginta tak bisa untuk tak tertawa—tersentuh—mendengar ucapan Asa. Dia pun memukul dengan canda pundak Asa.

“Jadi gimana, nih? Mau ke dalem apa di sini aja? Kalo pengen di sini sih gapapa gua temenin. Kalo mau masuk ya ayo,” tawar Ginta kemudian.

“Masuk aja, lah! Gak enak kalo di sini tar dikira sombong lagi, udah diundang eh kagak ikut rayain pestanya. Tar makin-makin didamprat dah gua sama keluarga Lily.”

Akhirnya kedua pemuda itu kembali ke dalam rumah keluarga Lily, tempat dimana perayaan ulang tahun gadis itu digelar.


Akhirnya sederet rangkaian acara perayaan ulang tahun itu telah terlaksana. Kegiatan yang terakhir adalah dinner party, dimana para tamu undangan dipersilahkan untuk menyantap hidangan sembari menyaksikan live performance di sana. Tak sedikit juga orang-orang dalam pesta itu berdansa dengan pasangan masing-masing.

Selama perayaan ulang tahun Lily, Asa hanya menyaksikan jauh dari belakang kerumunan tamu undangan. Hatinya tak lagi tergerak untuk melihat paras menawan dari gadis itu.

Saat ini pun ketika orang-orang sedang berdansa, jika biasanya tentu saja Asa akan bergabung, kali ini dia memilih untuk duduk seorang diri sembari memainkan ponselnya.

Sesekali dia mendongak dan melihat keadaan sekitar. Semakin banyak orang yang berdansa. Seorang Asaki, sebenarnya paling tidak tahan dengan kesendirian. Namun saat ini dirinya sedang perang dengan batinnya.

Antara harus mengajak orang lain untuk berdansa dengannya, atau harus mengajak Lily? Jujur saja dia sangat ingin mengajak Lily. Namun teringat dengan kejadian satu jam yang lalu, niatnya harus dia kubur dalam-dalam. Bukannya dia takut, hanya saja dirinya belum siap untuk ditolak lagi.

Asa itu, dia adalah lelaki dengan ego yang tinggi. He hates it when people hurt his pride.

Ingin mengalihkan pikirannya, Asa pun beranjak dan memilih untuk menghampiri meja wine. Lelaki itu memang suka dengan alkohol. Mungkin minum sedikit akan membuatnya merasa lebih baik.

Kebetulan Lily ada di dekat sana. Tentu saja tidak sadar bahwa Asa ada di sekitarnya, lantaran gadis itu sedang sibuk bersenda gurau dengan teman-temannya.

One sip. Asa menyandarkan pinggulnya pada meja itu. Matanya tak bisa untuk tak terpaku pada Lily. Tak bisa mengelak, jujur saja Lily terlihat begitu menawan malam itu. Sangat kuat dorongan di dalam dirinya untuk mengajak gadis itu berdansa. Namun dia sendiri tak tahu, hanya karena perkara kadonya yang tidak cukup diapresiasi oleh gadis itu, dia merasa tak pantas berada di dekat gadis itu.

Two sips. Mama, Asa ingin pulang.

“Bro, sendirian mulu, dah. Kenapa gak ngajak siapa gitu buat dansa? Or like, sekedar ngobrol apa gimana kek. Ini tuh kayak bukan lu banget, serius.”

Asa menoleh ketika seseorang menghampirinya. Ternyata itu Ginta lagi.

“Siapa juga yang mau gua ajak?” Jawab Asa, seakan sudah sangat pasrah dengan kehidupan.

“Sama gua aja.”

Seketika Asa menoyor kepala Ginta. Tak peduli dengan fakta bahwa Ginta lebih tua darinya.

“Edan lu bajingan, kagak mau anying dansa sama elu! Dih!”

“Asu maksud gua ngobrol, cuk, bukan gua ngajak lu dansa sama gua!”

“Oooh, bilang dong! Lu ngomong kagak jelas, sih!”

“Kok lu emosi?!”

“Lu juga napa emosi?!”

“Ah udah lah bego masa berantem gara-gara ngajak dansa, sih. Udah tua juga. Eh btw,” tak ingin ribut lebih jauh, Ginta pun segera mengalihkan pembicaraan. Lelaki yang sebentar lagi akan menginjak usia 21 itu pun memegang satu botol wine tanpa mengangkatnya.

“Ini misal gua tenggak langsung dari botolnya boleh gak ya, ahahahahaha.”

Dan ucapan Ginta itu berhasil membuat Asa tertawa kecil.

“Goblok, ya masa nenggak wine kek nenggak bir? Lu mah ada-ada aja kata gua,” ujarnya menanggapi ucapan Ginta.

“Gak cuy, serius gua kagak telaten minum wine dikit.. dikit.. di gelas gitu. Kek, apa sih, kelamaan,” sahut Ginta.

Asa pun menyilangkan kedua lengannya di depan dada. “Lu coba dah. Kalo gak diketawain nanti gua juga minum langsung dari botol.”

“Anjing lu mah gitu cuk, numbalin temen!”

“Kan elu yang ngide, gimana sih?”

Ginta pun mengedarkan pandangannya. “Gak ah, rame banget. Nanti diliatin orang disangka kagak pernah minum wine lagi.”

“Emang udah pernah?” Asa menyahut, tentu saja maksudnya adalah gurauan belaka.

“Wah anjing, lu sendiri tau tot di rumah gua ada wine cellar yakali kagak pernah gua minum?”

Mendengarnya Asa tertawa. Jujur saja, dirinya bersyukur mempunyai sahabat seperti Ginta. Walaupun kadang pemarah, namun kawannya itu selalu ada bersamanya dalam keadaan apa pun.

“Iya, iya, canda ah! Lu jangan mulai sombong gitu, yang down-to-earth, dong. Lama-lama kayak si Princess mau lu?”

Ginta tertawa kencang. “Heh lu bisa nyatir gitu cok! Hahahaha!”

Masih asyik bergurau,

“Emang kenapa kamu gak mau sama Asa sih, Ly?”

Kedua lelaki itu mendengar seseorang menyebut nama Asa. Tentu saja otomatis mereka berdua memasang telinga untuk mendengarkan obrolan yang ternyata datang dari Lily dan teman-temannya.

“Bukannya gak mauuuu, cuma gimana ya, Asa tuh- like, kalian tau kan dia kerjaannya clubbing?” Ini adalah Lily yang berbicara.

“It’s his job gak, sih? Setau aku dia DJ kan ya?”

“Iya, dia DJ.”

“Iya siihh, cuma I think it’s kinda weird aja dia baru lulus SMA udah jadi DJ, kerjanya di club, ih aku bayangin gimanaaaa gitu,”

“Tapi menurutmu dia oke gak, Ly? Like, is he your type?”

“Sebenernya jujur iya sih, dia ganteng, keren juga, baik, cuma ya sayang aja gitu sehari-hari dia ada di club. I mean, dia kan bisa kuliah dulu yaaaa, baru abis itu cari kerja laiiiin. Kalo udah gitu pasti aku bakal mau sama Asa, tanpa pikir panjang.”

Mendengar ucapan Lily, Ginta menyenggol lengan Asa dengan sikunya. Dia tatap yang lebih muda dengan sorot mata yang sarat akan kata-kata, ‘Bro, you good?’

Namun Asa hanya mendengus, “Huh.”

“Papa kamu gak bolehin apa gimana, Ly?”

“Gak tau sih, Papa belom tau kalo aku deket sama Asa. Aku juga gak berani bilang. Tapi Papa biasanya gak strict juga siiihh, cuma gimana ya, Asa kan gak kuliah yaaa, aku gak bisa bayangin aja nanti gimana keluarga besar mandang aku kalo aku pacaran sama cowok yang cuma lulusan SMA. Bukan maksud gimana-gimana ya, cuma you guys must understand my position…”

Brak!

Asa meletakkan gelas wine-nya dengan keras pada meja. Tanpa mengatakan apa-apa, dia beranjak pergi, keluar dari ruangan itu.

“Sa! Asa!” Ginta memanggil-manggil Asa, namun yang lebih muda tidak menggubris. Tak punya pilihan lain, Ginta pun berlari mengejar Asa.

Yang mana lelaki itu ternyata menuju tempat dirinya memarkir mobilnya.

“Sa!”

“Anjing..,” gumam Asa ketika Ginta sudah dekat dengannya, sehingga Ginta bisa mendengar umpatannya.

“Serendah itu anjing gua di mata dia. Jadi selama ini buat apa dah gua kasih semuanya buat dia kalo pada akhirnya itu semua gak ada artinya? Yang keliatan di mata dia cuma gelar dan kedudukan?”

Ginta terdiam. Kalau dia salah bicara, bisa-bisa Asa akan semakin emosi. Dan dia tak mau hal itu terjadi. Sehingga saat ini Ginta hanya menepuk pelan pundak Asa, sesekali mengelusnya.

“Gua emang gak kuliah, tapi dengan gua gak kuliah itu bukan artinya gua pengangguran ya anjing, gua kerja! Emang dia dikasih duit berapa sih, sama papi dia?! Yakin lebih banyak dari gaji gua?! Cok, kalo gua tega ni gua udah bilang dah bacot amat yang masih jadi beban orang tua.”

“I know bro, gua paham banget. Misalnya gua jadi elu juga bakal emosi banget, sih. Mungkin bakal lebih emosi dari elu sekarang. Udah mah kata gua cari yang lain aja,” kali ini Ginta mencoba menenangkan.

“Ini mah asli Gin, fix banget gua musti cari yang lain. There’s no way gua bakal lanjut perjuangin modelan orang yang bahkan sekedar ngehargain orang lain aja gak bisa.”

Ginta mengangguk setuju. Sementara Asa berkacak pinggang, menunduk, sembari menghela napas panjang.

“Gila, gila. Gak habis pikir gua. Bisa gitu ya sombongnya. Iya tau dah, dia Princess. Anak keluarga konglo. Tapi masa segitunya ngerendahin orang, sih? Sok sok an remehin my job. Well, I can buy a Lambo if I want. Cuma masalahnya garasi di rumah gak cukup, man. Ini juga kenapa gua ke sini pake mobil Papa,” gerutunya kemudian.

Ginta pun merangkul pundak Asa. Ketika ucapan yang lebih muda sudah mulai melantur kemana-mana, itu artinya dia sedang benar-benar tidak baik-baik saja.

“Iya bro, iya, iya. I totally understand. You’re damn rich bro, job lu kaga bisa diremehin, I know it very well. And you’re amazing di usia yang belom juga nyentuh kepala dua udah jago cari duit. So, kata gua mah si Lily aja yang emang aneh. Dah ya, sekarang tenangin diri dulu aja.”

Lagi-lagi Asa menghela napas. “I don’t know, man. Sebenernya gua juga sih yang tolol. I mean udah beberapa kali gua dikode bahwa gua ini ditolak, tapi guanya aja yang kurang peka. Plus tetep keukeuh dan denial juga. Nah sekarang gua sendiri kan yang sakit hati when I finally realized about the truth.”

“It’s okay, man. It happens. Gak papa, jadiin pengalaman aja. Yah, gimana ya, namanya juga apes. Eh iya gak, sih? Apes gak sih jatohnya?”

Kemudian Ginta menoleh ke arah Asa. “Pulang aja? Atau mau kemana gitu? Gua temenin.”

Asa pun mengambil kunci Audi A5 Sportback milik papanya itu dari dalam saku celananya. “Pulang aja deh.”

“Gua anterin?”

“Gak usah, Gin. Repot-repot lu ntar.”

“Kaga ah, kek sama siapa aja. Takutnya lu bukannya pulang malah mampir ke mana gitu lagi.”

Asa terkekeh. “No, man. Langsung pulang ini.”

“Janji lu,”

Asa menepuk pundak Ginta sebelum membuka kunci mobilnya dan kemudian masuk ke dalamnya. “Janji coy.”

Ginta tertawa kecil. “Ya udah, ati-ati. Awas lu aneh-aneh di jalan. Jangan bikin onar. Kasian pengemudi yang gak ngerti apa-apa.”

“Enggaakk, sumpah. You have to trust me, man, come on.”

Lagi-lagi Ginta tertawa. “Iye, you know, just to make sure.”

Akhirnya setelah sekali lagi berpamitan kepada Ginta dan meminta tolong untuk dipamitkan kepada teman-temannya yang lain, Asa pun meninggalkan area rumah Lily.

Di tengah jalan pikirannya melayang. Tak terlalu larut, tak sampai membuatnya hilang fokus ketika berkendara.

Sungguh, tak pernah Asa sangka sebelumnya bahwa wanita semanis Lily akan mengatakan hal semenyakitkan itu di belakang punggungnya. Mungkin memang, to let go of the Princess is the best decision he has to make.

‘Ly, jujur aku gak bakal gimana-gimana kalo misalnya kamu nolak aku. It’s okay, I don’t wanna give you pressure anyway. Aku pun gak bisa maksa orang buat cinta sama aku. But to hear you said that, to stab my back like that, aku sama sekali gak bisa tolerir itu. I cannot directly be mad at you, curse and cuss at you, so, I shall just leave and never see your face again. You hurt me so damn bad.’


Hari ini adalah hari minggu. Hari libur bagi sebagian besar orang, namun bagi Asa hari minggu sama saja dengan hari-hari yang lain. Karena jam kerjanya yang fleksibel, tentu saja.

Masih pagi, ketika dirinya selesai mencuci piring, dia mendengar alunan nyanyian merdu yang diikuti dengan petikan gitar. Apakah itu kakaknya? Tentu saja bukan, karena kedua kakaknya itu sedang melakukan studi di Australia.

Lalu apakah itu papanya? Tentu saja bukan, karena suara orang bernyanyi ini adalah suara seorang perempuan. Lalu apakah itu mamanya? Ini adalah satu-satunya kemungkinan yang paling mungkin terjadi.

Merasa tertarik, Asa pun membawa langkah kakinya menghampiri suara itu yang berasal dari halaman belakang rumahnya.

“Arin?!” Asa menyunggingkan senyum lebar, melihat seorang gadis dengan rambut sebahu yang dikuncir dua itu.

Gadis itu, Karina, yang lebih sering dipanggil Arin balas tersenyum melihat kedatangan Asa. “Haaiiii, Bli Asa, baru bangun?”

Asa pun duduk di sebelah Arin. “Aduh, ketauan dong suka bangun siang.”

Arin tertawa, gitar dalam pangkuannya dia letakkan di sebelahnya. “Gak papa kali, karena mungkin aja Bli Asa tadi malem banyak kegiatan. So, it’s okay, gak masalah kalo bangun siang mah.”

Asa tersenyum. Tadi malam, ya…, salah satu malam paling menyakitkan dalam kehidupannya.

“Eh sorry Bli, ini gitar Papa kamu ehehe tadi aku pinjem. Papa sih ke sini gak bawa gitar,” alunan suara Arin membuyarkan hal buruk yang kembali memenuhi otaknya.

“Gak papa weh, pake aja. Eh emang kamu ke sini sama Om Gilang?”

“Huum,” Arin mengangguk. “Papa bilang mau main ke pantai terus mampir dulu ke rumah Om Gibran, kangen katanya. Terus aku ikut.”

Arin, gadis ini adalah putri semata wayang dari Gilang, sahabat karib Gibran, papa Asa. Arin terpaut satu tahun lebih muda dari Asa, dan gadis itu sangat menyukai musik. Bernyanyi, memainkan alat musik, adalah hobi Arin. Dan orang-orang termasuk Asa pun mengakui bahwa Arin memang piawai dalam bidang itu.

“Oh gitu,” Asa ikut mengangguk. “Terus sekarang Om Gilang sama Papa kemana?”

“Tadi sih pamitnya ke minimarket, katanya mau beli bahan makanan. Tadi aku ditemenin sama Mamanya Bli Asa, tapi beliau tadi pamit mau mandi dulu,” ujar Arin menjelaskan semuanya.

Ada satu hal yang Asa suka dari Arin. Gadis ini ramah dan suka bercerita. Asa suka itu. Orang yang terlihat antusias ketika menceritakan sesuatu, di mata Asa terlihat begitu menarik.

“Tadi lagi nyanyi, Rin? Lanjutin lah,” ujar Asa, mengeluarkan topik baru.

Arin tersenyum malu-malu. “Aduh kenceng banget kah aku nyanyinya? Sampe kedengeran sama Bli Asa.”

Asa tak bisa untuk tidak terkekeh. “Ya gak papa kali, nyanyi mah emang kudu kenceng. Kalo pelan mah bisik-bisik namanya.”

Dan Arin balas tertawa mendengarnya. “Enggak, maksudnya takut ganggu Bli Asa kan tadi lagi tidur..”

“Gak ah, kalo dari kamarku mah nggak kedengeran. Tadi aku abis cuci piring di dapur, makanya kedengeran. Dah yo, ayo nyanyi lagi. Let me be your first audience di pagi hari ini,” ujar Asa.

“Aduh sedikit merasa pressured nih, ditonton sama musisi handal,” gurau Arin sambil mengibas-kibaskan tangannya.

“Musisi apaan, orang kang DJ doang ih hahahahahahaha,” Asa tertawa.

“Tetep aja kali, kan mainnya di musik. Mana Bli udah sering manggung, jam terbangnya banyak banget, udah pengalaman tiga tahun lebih lagi.”

“No no,” Asa menyergah. “I still want to hear you sing, tho. Buru dah, gak usah insecure atau malu atau apa lah, suara kamu tuh bagus. Kamu juga oke main musiknya. Kalo kamu mainnya jelek mah dari tadi juga udah aku lemparin tomat.”

Arin tertawa lagi. Dan Asa suka dengan cara Arin tertawa. Terlihat tulus, ikhlas, totalitas, dan, entah, Asa suka saja.

Setelahnya, Arin pun mulai memetik senar gitarnya.

“Engkau yang sedang patah hati.. menangislah dan jangan ragu ungkapkan, betapa pedih hati yang tersakiti, racun yang membunuhmu secara perlahan..”

Asa menatap Arin, matanya terpaku pada gadis itu. Terlebih dengan lagu yang dipilih oleh gadis itu.

“Hanya… diri sendiri, yang tak mungkin orang lain akan mengerti..”

“Di sini ku temani kau dalam tangismu, bila air mata dapat cairkan hati… kan ku cabut duri pedih dalam hatimu, agar ku lihat senyum di tidurmu malam nanti..”

“Anggaplah semua ini, satu langkah dewasakan diri, yang tak terpungkiri juga bagimu..”

[Pedih by Last Child.]

Arin pun menyelesaikan nyanyiannya. Dengan senyum manis dan mata sayu dia lirik Asa. Asa sendiri masih terpaku menatap Arin.

“Bli?”

“Eh, iya?”

Arin terkekeh. “Kok malah ngelamun, sih?”

Asa ikut terkekeh. “Sorry, sorry, terlalu fokus tadi. Damn girl, you sang very well. Tapi kalo boleh tanya nih, kenapa milih lagu itu? I mean itu lagu udah lawas banget tau, jaman Papa kita masih muda.”

Arin menunduk, masih tersenyum. Sekilas terlihat semburat merah muda pada pipi putih bersih gadis itu.

“Emmm, itu dulu lagu kesukaan Papa. Papa suka nyanyiin lagu itu ke Mama kalo Mama lagi sedih. So, I sang it to you,” Arin mendongak, dia tatap Asa. Tersenyum manis hingga matanya membentuk lengkungan layaknya bulan sabit.

Lagi-lagi Asa terpaku, gara-gara mendengar ucapan Arin. “Emang tau aku lagi sedih?” Ucapnya kemudian.

“Tadi malem Kak Ginta cerita, hehehe. Katanya Bli Asa lagi patah hati gitu. Even tho I don’t know what happened, dan Bli Asa patah hatinya karena apa, but I think it’d be the best for me to sang that song to you, Bli. Hoping that it’d make you feel better, hehe. Hope you like it, tho,” Arin masih tersenyum manis.

“Aduh Ginta si ember, ya udah lah. Well, thank you so much, Rin. You have no idea how much you made me feel better. And I like it so much!” Tanggapan Asa.

Mendengar itu Arin memekik girang. Dia beranjak dari kursi untuk melompat-lompat kecil. Melihatnya Asa terkikik gemas. Gadis itu memang tidak pernah tidak terlihat lucu.

“Oh my gosh, Bli, I’m so happy kamu puji aku. Oh my God, thank you so much, Bli Asa!” Tanpa gadis itu sendiri sadari, dia memeluk leher Asa.

Dan Asa? Muncul semburat merah muda pada pipinya.


Dari kejauhan, dua pria dewasa sedang mengamati anak masing-masing. Satu pria berambut gondrong yang diikat cepol, satu lagi berambut putih seputih tembok.

“Gibraaaaan~” Yang berambut putih menatap yang gondrong dengan alis dinaik turunkan.

“Hahhhhh,” yang gondrong menghela napas, lalu memijit alis. “Sebenernya mah gue udah males banget, Gil. Elu lagi, elu lagi. Masa besanan juga harus sama elu. Tapi kalo anak gue maunya sama anak elu, dan anak elu juga mau sama anak gue, gue bisa apa?”

Yang berambut putih pun menari-nari tidak jelas. “Asiiik~ besanan sama Bli Gib~ besanan sama Bli Gib~”

“Berisik anjir.”


END.

After The Show Ends

Geto Suguru x Fem!Reader (you) x Gojo Satoru x Ryomen Sukuna x Zenin Naoya slight Nanami Kento & Choso.

Tags: gangbang, group sex, public sex, blowjob, anal sex, jujutsu kaisen dilfs x you, jujutsu kaisen dilfs as anak band, you as suguru's girlfriend, voyeurism (kinda), suguru loves to see his girlfriend being fucked by his friends, written in bahasa, dialog non baku with some english

Disclaimer: kalo kamu gak nyaman sama chara JJK yang dipakein nama lokal, kindly skip this fic ^^

Words: 2,5K+


Geto Suguru as Gede Gibran Sagara Gathan (Gibran), lead guitarist.

Gojo Satoru as Gilang Satariya (Gilang), vocalist.

Zenin Naoya as Zen Naoki Hasibuan (Oki), rhythm guitarist.

Choso as Chordy Suastra Eka Maulana (Koko), bass guitarist.

Nanami Kento as Ken Narendra Nasution (Ken), keyboardist.

Ryomen Sukuna as Rio Sakaruna Manurung (Rio/Una), drummer.


Gibran masih di atas panggung. Beraksi menunjukkan kebolehan bersama kawan-kawannya yang tergabung dalam band musik yang bernama Elang itu. Dengan lihai, jemarinya menari-nari pada senar gitar elektrik yang dipegangnya. Tak jarang senyum menawan yang mematikan ia tebarkan, sebagai salah satu bentuk fan service.

Di antara kerumunan audiens, kamu berdiri menyaksikan band itu menampilkan lagu-lagu mereka. Sebagai pacar Gibran, lelaki berdarah Bali itu memberimu tiket VIP yang membuatmu bisa berdiri di barisan terdepan audiens.

Saat ini Gibran sedang melakukan solo. Matamu terfokus, terpaku pada jemari lelaki itu. Bagaimana batang-batang panjang itu memainkan senar. Bagaimana urat menonjol pada tangan besar itu terlihat.

Tanpa kamu sadari, pikiran kotor mulai muncul di otakmu. Bagaimana seandainya, alih-alih memainkan senar, jari-jari itu bermain pada ‘aset’ milikmu? Refleks, lidahmu tergerak untuk menjilat bibirmu, lalu menggigit pelan benda kenyal itu.

Ah, yang tadi itu terlalu sensual. Kamu harus ingat, saat ini kamu sedang berada di antara kerumunan ribuan orang. Kemudian kamu menggelengkan kepala pelan, mengalihkan pandangan untuk mengusir pikiran-pikiran jorok itu.

Namun ketika matamu sedang tak tertuju padanya, Gibran melirikmu. Seringai tipis muncul pada bibirnya. Menangkap apa yang terlintas di dalam otakmu.

Just wait after the show ends.

“Mbak,” pundakmu ditepuk oleh seseorang. Ketika kamu menoleh, ternyata itu adalah salah satu staff. “Nanti ke backstage bentar, ya? Yang minta Bli Gibran.”

Kamu mengangguk, sedikit gugup karena pikiran kotor yang tadi masih saja bertengger pada otakmu. “Oh, iya, Mas. Makasih, ya,” jawabmu.

Lalu setelah Elang membawakan tiga lagu lagi, konser malam itu pun selesai. Seperti yang disampaikan oleh staff tadi, sebelum pulang kamu menyempatkan untuk pergi ke backstage Elang.


‘Mana sih?’ Matamu mencari-cari keberadaan pacarmu. Tak lama kemudian enam lelaki muncul, berjalan dengan sedikit gontai dengan keringat mengucur pada badan mereka.

Kamu pun merutuki otakmu. Melihat pemandangan seperti itu saja, badanmu sudah merinding gara-gara pikiran jorok yang lagi-lagi muncul.

“Hai,” Sapa lelaki berambut pirang ombre yang berjalan paling depan, Oki. Yang lain ikut tersenyum sekilas untuk menyapamu.

Kamu pun membalas sapaan mereka, hingga lelaki yang kamu cari—yang berjalan paling belakang—pun menghampirimu. Lengannya merengkuh pinggangmu, membawamu ke tempat yang mana tak banyak orang berlalu-lalang.

“Did you have fun?” Tanya Gibran.

Kamu mengangguk. “I did!”

Tangan Gibran nakal. Ia terulur menuju bongkahan pantatmu dan meremasnya pelan.

“Heh! Tangannya,” kamu menepis lengan Gibran, tapi percuma. Tenagamu tak seberapa dibanding kekuatan lengan lelaki itu.

“Uhum? Tadi siapa yang gigit bibir, jilat bibir, waktu aku solo?” Gibran berbisik di telingamu.

Mendengar suara yang sedikit serak itu kamu pun merinding. Napas dari lelaki itu dapat kamu rasakan pada daun telingamu, membuatmu semakin menggelinjang.

“Ihh Mas Gib..,” gumammu pelan.

Kemudian lelaki itu menarikmu menuju sebuah ruangan yang berada tak jauh dari tempat kalian berdiri. Terdapat tulisan ‘Elang Rest Room’, menandakan ruangan itu adalah ruangan khusus member Elang untuk beristirahat.

Gibran menutup pintu ruangan itu rapat-rapat. Lalu dia duduk di sofa, merentangkan tangannya agar kamu menghampirinya. And so you did, kamu menerjang badan Gibran, duduk di atas pangkuannya.

Gibran terkikik. Karena kaosnya dipenuhi keringat, ia pun melepasnya. Ia lempar ke sembarang arah, membuat tubuh berototnya yang sedikit mengkilap karena keringat itu terekspos. Pipimu merona. Gibran yang melihatnya tergerak untuk mencubit pipimu.

“Sayang,” ucap Gibran. “You know what?” Tangannya pun menelusup ke dalam atasan yang kamu kenakan. Punggung dan pinggangmu dielus dengan lembut.

“Mas Gibran.., no, jangan sekarang,” desismu. Tapi raut mukamu tak bisa berbohong. Kamu menikmati sentuhan itu.

“Why? Don’t you want it? It’s not like anyone will come.”

Kamu menoleh ke arah pintu. “Tapi ini kan tempat istirahat member Elang?”

Gibran menangkat alisnya. “Tapi aku juga member Elang?”

“No no, maksudnya kan ini bukan ruangan kamu doang. Ya, kan? Gimana kalo yang lain dateng?”

Gibran meraup bibirmu, bermaksud untuk membungkammu yang terus-terusan khawatir. Karena Gibran tak peduli. Ia ingin menikmati pacarnya saat ini juga.

Dan kamu terbuai. Semua hal yang dilakukan Gibran, segala hal tentang Gibran, tak pernah gagal membuatmu terbuai. Maka mau tak mau, atas dorongan birahimu sendiri, kamu pun mengikuti permainan Gibran.

Gibran pun membuka menyibak pakaianmu hingga seatas dada. Kedua payudaramu ia keluarkan dari dalam bra yang kamu pakai.

“M-mas Gibran!”

“Apa?” Lelaki itu menahan kedua lenganmu.

“B-beneran di sini?” Seluruh wajahmu memerah karena malu.

Gibran menangkup payudaramu, meremasnya. Desahan pelan keluar dari mulutmu, namun cepat-cepat kamu tutup mulutmu rapat-rapat, mengingat di luar masih banyak orang.

“It’s okay, yang lain gak bakal ke sini,” kemudian lelaki itu menjilat putingmu, mengisapnya.

“Ahh..,” tanganmu meremas rambut panjang Gibran yang basah oleh keringat. Kamu benar-benar menikmati bagaimana lelaki itu memainkan payudaramu.

Setelah puas dengan payudaramu, tangan lelaki itu terulur untuk meremas pantatmu dari balik rok yang kamu kenakan. Saat ini kamu sudah terbuai, nafsu dan birahi mengambil alih akal sehatmu. Maka dari itu, kamu hanya bisa pasrah dan membiarkan Gibran melakukan apa pun sesuka hatinya.

Pinggulmu diangkat, ia turunkan celana dalammu hingga terlepas sepenuhnya. Kamu sudah basah. Maka tak susah bagi Gibran untuk menelusupkan jarinya ke dalam vaginamu.

Pahamu bergetar. “Umhh… Mas Gibran,” napasmu memberat. Gibran menggerakkan jarinya keluar masuk. Pelan-pelan, namun makin lama makin cepat.

Nikmat. Rasanya begitu nikmat. Kamu sangat suka ini. Matamu terpejam, mulutmu terbuka, lidahmu sedikit terjulur. Merasa puas karena akhirnya lubang vaginamu terisi oleh jari-jari Gibran. Kamu mendapatkan apa yang kamu inginkan.

Hingga kamu merasa semakin dekat dengan klimaks, Gibran menarik jari-jarinya keluar. Kamu pun mendesah kecewa.

“Now it’s my turn,” lelaki itu menarik ke bawah resleting celananya. Kamu yang sudah tidak sabaran itu segera mengeluarkan batang keras dari dalam celana lelaki itu.

Gibran tersenyum miring. Tangannya membelai tengkukmu, membiarkan tanganmu memompa kejantanannya.

Kamu pun merosot, berlutut di antara kedua kaki Gibran. Penis Gibran masih kering. Kamu pun berinisiatif untuk melumasinya dengan salivamu. Maka kamu pun membelai penis Gibran dengan lidahmu. Sesekali ujungnya kamu masukkan ke dalam mulutmu.

Gibran terkekeh. “Kok cuma ujungnya yang dimasukin?”

Bibirmu mengerucut. “Mas Gibran.., it’s too big.”

Walaupun bukan pertama kali kamu melakukan oral dengan Gibran, tetap saja kejantanan lelaki itu terlalu besar untuk mulut kecilmu. Dengan panjang nyaris 20 cm dan diameter nyaris 3,5 cm, tak sampai setelah dari batang itu yang dapat kamu masukkan ke dalam mulutmu.

Gibran mengangkat rahangmu lembut, kemudian mengecup bibirmu sekilas. “Try again. You can do it. At least try until the half of it fits inside your mouth.”

Dan kamu menurutinya.

Cklek

“Woy, Gib lu- anjing…”

Sontak kamu menghentikan kegiatanmu. Badanmu menegang, panik mendengar ada suara lelaki lain bergabung masuk ke dalam ruangan tempat kalian berdua berada.

“Ung mas?!”

Namun kontras dengan respon Gibran, lelaki itu kelewat santai. “Gak papa. It’s just Gilang.”

“Woy anjing, lo berdua ngapain?! 'It’s just Gilang', kata lo? Mata gue cok!” Terdengar suara melengking Gilang karena memergoki dirimu dengan Gibran.

“Apa sih, Gil? Berisik lo,” Gibran kembali beralih kepadamu. “Lanjutin aja, sayang.”

Kamu bimbang. Bagaimana bisa kamu melanjutkan kegiatan tak senonoh seperti itu ketika jelas-jelas di situ adalah member Elang yang lain sedang berdiri di sekitar kalian? Namun di sisi lain, nafsu mendorongmu kuat untuk melanjutkannya.

Dan ya, nafsumu menang melawan akal sehatmu.

Mulutmu kembali bergerilya pada kejantanan Gibran. Justru semakin bersemangat, entah kenapa, ketika kamu mengetahui ada Gilang di situ.

“Look at her, Gil. Her mouth is too small but she’s trying her best. Pengen gak lo?” Ujar Gibran, membuatmu merasakan sengatan-sengatan aneh pada tulang belakangmu.

“Diem anjing…”

Tiba-tiba Gibran tertawa. Matanya mengarah pada selangkangan Gilang. “Ngaceng, bang?”

“Gibran lo kek tai,” tak henti-hentinya Gilang mengumpat, dibalas tawa lagi oleh Gibran.

Kemudian Gibran mengangkat wajahmu. Saliva mengalir dari ujung bibirmu, dan Gibran suka melihat itu. Lelaki itu lalu mengarahkan wajahmu untuk menengok kepada Gilang.

“Gil, kontol gue kebesaran di mulut dia. Kasian, pipinya pegel. Mungkin kontol lo pas di mulut dia, mau coba?” Ucap Gibran.

“Ini maksudnya lu bilang kontol gua lebih kecil dari punya lu?” Sahut Gilang tidak terima.

“Kan kenyataannya gitu.”

Gilang mendesis gelisah. “Haish! Fuck it,” ia pun menurunkan celananya. Lelaki itu mendekatimu, mendekatkan pinggulnya di depan wajahmu.

“Go ahead, sayang. Take his cock,” titah Gibran kepadamu yang entah kenapa tak pernah bisa kamu tolak.

Kini mulutmu pun memanjakan kejantanan Gilang. Memang benar, ukurannya sedikit lebih kecil dibandingkan dengan milik Gibran. Namun tetap saja, penis Gilang tidak bisa dikatakan kecil. Mulutmu masih kewalahan dengan ukuran milik Gilang.

Pada waktu yang sama, Gibran menggesek-gesekkan penisnya pada bibir vaginamu. Perlahan, lelaki itu memasukkan penisnya ke dalam vaginamu.

Sungguh, terasa penuh dan sesak. Kedua lubangmu kini dipenuhi oleh batang besar dan keras. Luar biasa rasanya. Tak pernah terbayang olehmu sebelumnya, jika kamu akan merasakan ‘digarap’ oleh dua laki-laki sekaligus.

“Gibran sama Gilang di dalem?”

“Iya, gue liat mereka masuk situ tadi. Masuk aja dah.”

“Oke, makasih bro.”

Cklek

“Woy wak waktunya—” Rio berdiri terpaku di ambang pintu.

“Oi, setan minggir lah kau, ngapa pintu kau halangin?” Di belakangnya, Oki mendorong-dorong punggung Rio.

“—ngewe… PUKIMAK!”

Mendengar umpatan nyaring dari Rio, Oki pun penasaran. Dengan paksa ia dorong badan Rio untuk menyingkir dari pintu. Dan akhirnya ia melihat sendiri pemandangan dirimu yang sedang disetubuhi oleh Gibran dan Gilang.

“Demi Tuhan… ngewe pun tak tau tempat ini setan-setan..., woy gabung! Na ayo na! Rame-rame!” Oki pun melepas kaosnya, celananya ia turunkan.

“Gil! Gantian!”

“Asu gua belom puas!”

Sedangkan Rio masih terpaku. Tapi tak dapat dipungkiri, ada tonjolan di balik celananya.

Gibran menengok kearah Rio. “Gak sekalian?”

“Gib. Beneran?”

“Kalo gak beneran, dari awal gue gak bakal kasih ijin Gilang sama Oki buat nyentuh cewe gue, Na.”

“Asli? Itu cewe lo…”

Gibran terkekeh lagi. “Dia gak nolak, tuh?”

Dan benar, sangat benar. Kamu tidak menolak. Kapan lagi kamu akan mendapat kesempatan disetubuhi oleh empat member Elang sekaligus?

Rio menelan ludahnya susah payah. Tapi karena telah diberi izin oleh Gibran, Rio pun akhirnya mendekat. Lelaki itu berlutut di belakang punggungmu. Tangannya menangkup kedua payudaramu, meremas-remasnya sambil sesekali mengecup pundak dan lehermu.

“Gib, gue pengen nete ke cewe lu. Boleh?” Kali ini Oki yang bersuara.

“Jujur gue juga, Gib,” Gilang menimpali.

“Well,” Gibran pun mengisyaratkan Rio untuk menjauh dulu, karena dirinya akan berubah posisi. Lelaki itu sedikit merebahkan badannya, kemudian menyuruhmu untuk memutar badan dan berbaring di atas badannya. Ia membawa tanganmu untuk telentang, dibantu Rio yang membuka lebar kedua kakimu.

“Mantap,” segera saja Oki disusul Gilang mengambil posisi masing-masing di samping kanan dan kirimu dan bergerilya pada payudaramu.

Bersamaan dengan itu, “Na minta tolong kasih lubang pantat cewe gue pelumas, dong. Botolnya gue taroh di tas gue. Tar gue bagian anal, lo yang eksekusi memek,” ucap Gibran.

Badanmu merinding, menggelinjang tak karuan. Merasakan semua permainan yang kamu terima, your mind absolutely goes blank.

Dan jadilah saat ini Rio mengoles pelumas pada lubang analmu, sesekali dua jarinya ia masukkan untuk melebarkan lubang sempit itu.

“Aaahhh~”

Sedangkan saat itu juga, puting kananmu digigit kecil dan dihisap oleh Gilang.

“She’s ready,” ucap Rio. Gibran mengangguk, lelaki itu memasukkan penisnya perlahan ke dalam lubang analmu.

“Aaahh! Mas Gibran pelan pelan… sakit…,” desahmu.

“Gib, gila. Desahan cewe lo enak banget,” celetuk Oki, ditanggapi tawa kecil oleh Gibran.

Gibran membiarkanmu terbiasa dengan penis besarnya di dalam lubangmu. Ketika rasa perihnya mulai mereda, ia mulai bergerak secara perlahan. Kemudian Rio bergabung, pria itu memasukkan penisnya ke dalam vaginamu.

Sementara itu, setelah puas dengan payudaramu, Gilang dan Oki mengocok penisnya tepat di depan wajahmu. Gibran menyuruhmu untuk membantu kedua laki-laki itu, sehingga kini kedua tanganmu mengocok penis Gilang dan Oki masing-masing pada tangan kanan dan kirimu.

Namun gerakan tanganmu berantakan, karena kedua lubangmu digempur tanpa ampun di bawah sana. Dirimu tak lagi bisa fokus.

Gilang mengambil alih penisnya sendiri, ia kocok dengan cepat. “Aghh..,” lelaki itu pun menyemburkan maninya pada wajahmu.

Begitu pula dengan Oki, penisnya ia kocok sembari sebelah tangannya meremas-remas payudaramu.

“So pretty,” gumamnya, sebelum akhirnya ia mengeluarkan ejakulasinya pada payudaramu.

“Ahh! M-mas wait- aahh! Kak Una bentar nghh aku mau- aaahhh!” Rio menarik keluar penisnya ketika merasakan dorongan benda cair yang kuat. Itu adalah orgasme pertamamu hari ini.

“That’s it, baby,” bisik Gibran, meningkatkan tempo pergerakannya. Rio pun juga belum puas, ia kembali memasukkan penisnya ke dalam vaginamu, menyetubuhimu dengan gerakan lebih cepat, lebih dalam.

Hanya butuh beberapa tumbukan, kamu sudah mendekati klimaks untuk yang kedua kalinya.

“Wait! Ahh! Wait- pull it out nghh! Aah aaahhh!”

Kali ini Rio mengabaikan dorongan cairan orgasmemu. Ia tetap bergerak di dalammu ketika dirimu berada pada puncak kenikmatanmu. Ditambah dengan tumbukan yang begitu nikmat dari Gibran, membuat cairan bening bercampur krim putih keluar dari sela-sela lubang vaginamu yang tersumbat oleh penis Rio.

“Gib, she’s cumming again,” Rio berkata dengan napas berat.

Gibran tersenyum miring, sembari membuat tanda pada pundakmu. “Cantik, kan?”


Di luar ruangan itu, Ken dan Koko berdiri dengan raut muka yang sulit dijelaskan.

“Gibran bawa cewenya masuk. Di dalem juga ada Gilang, Una, sama Oki. Lo tebak mereka ngapain?” Ujar Ken.

Koko mengusap dahinya. “Kalo lu kaga budeg, pasti lu bakal denger orang desah. Ngapain lagi kalo kaga ngewe rame-rame?”

Ken terkekeh. “Gimana ya, Ko,”

“Paham gua, Ken. Pengen, kan? Tapi di sisi lain akal sehat masih bilang ‘Woy jangan, tahan, tahan,’ gitu. Ya, gak?” Koko menanggapi. “Mana udah ngaceng, lagi.”

“Menurut lo mending ke kamar mandi aja atau gas gabung mereka?”

Tiba-tiba pintu terbuka, menampilkan Oki dan Rio yang keluar dengan bertelanjang dada dan celana yang dipakai asal-asalan.

“Wong edan,” gumam Koko, bergurau. Dibalas juluran lidah mengejek dari Rio.

“Gabung ke dalam bang, ada pesta,” ucap Oki, ditujukan kepada Ken dan Koko.

“Pesta pala kau pesta,” Rio menjitak kepala Oki. Sembari bercanda, Oki dan Rio berlalu. Tinggal Ken dan Koko yang masih setia berdiri dengan keadaan hati yang bimbang.

“Ken.”

“Hm?”

“Taruhan. Malaikat atau setan yang menang?”

Ken terdiam untuk beberapa saat. Begitu pula Koko yang ikut terdiam. Namun kemudian, “Just fuck it all,” Ken langsung melepas satu persatu kancing kemejanya dan bergegas masuk ke dalam ruangan.

“Oke, setan yang menang,” Koko menyusul Ken masuk, kemudian menatap pintunya rapat-rapat dari dalam.

Kamu, Gibran, dan Gilang yang masih berada di dalam menoleh ketika dua laki-laki lagi masuk untuk bergabung.

“Weheheheheyyy! Cowo alimnye Elang kegoda setan juga, nih?” Goda Gilang.

“Bacot. Minggir lo. Giliran gue,” sahut Ken.

Saat ini keadaanmu sudah lemas. Badanmu basah karena keringat, dengan wajah, dada, dan daerah sekitar selangkanganmu dipenuhi sperma.

Gibran, kekasihmu, pun mendekatkan mulutnya pada telingamu. “Sayang, just one more round. Masih kuat, kan?”

Kamu melirik Ken dan Koko. Ya, kamu tak bisa menolak. Maka anggukan pelan dan lenguhan lirih kamu keluarkan.

“Ehhh…, I mean, kenapa gak sekalian, kan?” Ucapmu.


.

.

.

FIN.

Sakura Jalan-jalan Bareng Om Gilang dan Om Una!

Jadi ceritanya Sakura diajak Papa buat jalan-jalan, disitu Papa bilang jalan-jalannya bareng sama Om Gilang dan Om Una. Sakura kan anaknya emang suka banget diajak jalan-jalan, jadi Sakura langsung mau! ^^ (karena dijanjiin beli es krim warna-warni sama Om Gilang).

Langsung aja jadi setelah main di pantai, Sakura sama Papa dan Om-om tsb tu makan. Biasalah, habis main kan harus makan apalagi ini bawa anak kecil. Jadi mereka makan tu semacam di resto seafood trus di restonya tu ada mini playground buat anak-anak main.

Jadi sambil nunggu snack dateng (abis makan Sakura minta snack), Sakura main di playground ditemenin Om Gilang. Sedangkan Papa ngobrol sama Om Una di meja.

Nah enih langsung aja kita ke scene di playground.

Sakura lagi asik main perosotan mandi bola sama anak-anak seumuran dia. Terus liat itu Om Gilang kepikiran tentang hal jahil. Makanya Om Gilang pun manggil Sakura.

Om Gilang: “Sakura! Sini dek! Om kasih liat sesuatu!”

Sakura: [lari samperin Om Gilang dengan excited] “Apaaaaaaaaaa??”

Om Gilang: [nyodorin HP nya ke Sakura buat kasih lihat gambar anak anjing] “Sakura tau ini hewan apa?”

Sakura: “Tau! Anjing!”

Om Gilang: [terkejut dikit] “Wett ngomong anjingnya gak usah sambil ngegas gitu dong, santai aja. Anjing. Gitu. Santaaii..”

Sakura: “Anjing!”

Om Gilang: [panik dikit] “Loh loh, santaiiii..”

Sakura: [cekikikan sambil gelendotan di lengan Om Gilang] “Anjing! Hihihi anjing!”

Om Gilang: “Buset dah anaknye Gibran. Iya deh iya, ini anjing. Bahasa inggrisnya anjing? Sakura tau?”

Sakura: “Tau! Dog!”

Om Gilang: “Piiinter! Nah, kalo dog kan anjing besar. Ini anjing kecil.” [Masih kasih liat layar HP nya ke Sakura] “Kalo anjing kecil? Sakura tau bahasa inggrisnya anjing kecil?”

Sakura: “Mmmmmmmmm...” [mikir] “Little dog!”

Om Gilang: “Yaa, gak salah dek. Tapi anjing kecil itu ada namanya sendiri loh, Sakura mau tau?”

Sakura: [lompat-lompat] “Mau! Mau!”

Om Gilang: [agak berbisik] “Anjing kecil itu, namanya doggy.”

Sakura: “Doggy?”

Om Gilang: [nahan ngakak dalam hati] “Iya dek. Kalo anjing besar kan dog, kalo anjing kecil doggy. Sakura get it?”

Sakura: [ngangguk] “Oooooo... yes! Got it!” [ngacungin jempol]

Om Gilang: “Terus terus, Sakura kan punya tuh baju yang dibeliin Papa kemaren, yang ada telinga sama ekor anjingnya itu?”

Sakura: “Uhum.”

Om Gilang: “Baju yang kayak gitu itu, namanya baju doggy style. Baju bergaya anjing kecil.”

Sakura: [mikir] “Ummm.... really?”

Om Gilang: [masih nahan ngakak dalam hati] “Yes! Namanya baju doggy style.”

Sakura ngangguk-ngangguk setelah denger penjelasan Om Gilang walaupun dia masih agak bingung sama maksud Om Gilang.

Om Gilang: “Sakura wanna have fun?”

Sakura: [riang] “Yey! Mau!”

Om Gilang: “Nah, sekarang Sakura pergi ke Papa sambil bawa HP Om Gilang. Nanti gambar anjing kecilnya Sakura kasih liat ke Papa terus bilang ke Papa, 'Papa ini namanya doggy' gitu. Okay? Sakura get it?”

Sakura: [ambil HP Om Gilang] “Okay! Got it!”

Habis itu Sakura langsung lari ke tempat Papa sama Om Una ngobrol.

Sakura: “Papa! Papa!”

Papa Gibran: “Iya sayang? Kenapa?”

Sakura: “Ini Papa, look.” [kasih liat gambar anjing kecil di HP Om Gilang] “Doggy! Namanya doggy!”

Papa Gibran: [panik] “E-eh? Kok doggy? Ini puppy sayang.”

Om Una: [ngakak gak karuan]

Sakura: “No, Papa! No puppy. Anjing kecil itu doggy!”

Papa Gibran: “No, Sakura. Anjing kecil itu puppy. Not doggy. Yang bilang anjing kecil doggy siapa hayo? Mama sama Papa nggak pernah tuh bilang anjing kecil itu doggy?”

Sakura: “Iiiihh kata Om Gilang anjing kecil itu doggy! Ini doggy!”

Papa Gibran: “No, Sakura. That's puppy. Okay? Anjing kecil itu puppy. Bukan doggy.”

Sakura: “Tapi kata Om Gilang ini doggy?” [bingung]

Papa Gibran: “No sayang, itu bukan doggy. Om Gilang bercanda aja itu. Anjing kecil itu puppy. Okay? Sakura lebih percaya sama Papa atau sama Om Gilang?”

Sakura: “Papa...”

Papa Gibran: [senyum manis] “That's it! That's Papa's little princess!” [ngelus kepala Sakura]

Om Una: [masih ketawa brutal]

Sakura: “Oh iya, Papa!”

Papa Gibran: “Iya?”

Sakura: “Baju yang kemarin Papa belikan yang ada telinga anjingnya, ituuuuu kata Om Gilang namanya baju doggy tal. Iya kah?”

Om Una: [ketawa makin brutal] “EDAN GILANG BWHWHAHWHAHAHAHAHAHAHAHAWHAHAHAH ADOOOHH”

Papa Gibran: [keringat dingin] “D-doggy.. doggy apa?”

Sakura: “Doggy tal!”

Om Una: [gaplok pundak Papa Gibran] “DOGGY STYLE NYING HAHAHSHAJAJSAHSHAJKAKAHSASAHWHA”

Papa Gibran: [panik setengah mati bercampur naik pitam kerana Om Gilang] “Okay, okay. Enough ya Sakura, don't listen to Om Gilang. Dia sukanya iseng. And no, that's not baju do- ehm, doggy st- doggy style, itu namanya baju puppy. Okay? Baju puppy. Sakura must listen to Papa. Got it?”

Sakura: [agak takut karena merasakan hawa-hawa tensi papanya naik] “Okay Papa... puppy.. baju puppy..”

Papa Gibran: [menghela napas, ngelus rambut Sakura lagi] “That's it. Sakura anak Papa, good girl. Nah, sekarang Sakura mau bantu Papa?”

Sakura: “What is it, Papa?”

Papa Gibran: “Sakura anterin Papa ke tempat Om Gilang, oke? Sakura jadi petunjuk jalan Papa. Kita cari Om Gilang, yuk? Let's go?”

Sakura: [excited lagi] “Let's go!”

Setelah itu kabarnya Om Gilang pulang dalam keadaan pipinya bonyok.

Gilang.

Nama lengkapnya Gilang Jonathan Satariya. Lahir di Jakarta Selatan, dan menghabiskan sebagian besar hidup di Bandung (sejak SD hingga kuliah). Ayahnya adalah Chindo yang lahir di Jakarta, sedangkan ibunya adalah orang Sunda asli.

Gilang lahir tahun 1989, posisinya di Elang sebagai vokalis.


Gibran.

Nama lengkapnya I Gede Gibran Segara Gathan. Lahir di Denpasar, lalu pindah ke Bandung bersama keluarganya sejak SMP. Ayahnya orang Bandung (bukan asli Sunda, masih ada keturunan Tionghoa), ibunya orang Bali.

Gibran lahir tahun 1990 awal (kuliahnya satu angkatan dengan Gilang), posisinya di Elang sebagai gitaris utama.


Ryo, atau dipanggil Una juga boleh.

Nama lengkapnya Ryo Kunawara Manurung. Lahir di Yogyakarta, lalu pindah ke Bukittinggi ketika SD, balik lagi ke Yogyakarta ketika SMP hingga SMA, dan akhirnya merantau ke Bandung untuk kuliah. Ibunya orang Yogyakarta, ayahnya orang Batak.

Ryo lahir tahun 1989, posisinya di Elang sebagai drumer.


Oki.

Nama lengkapnya Oki Naufal Zahin. Lahir di Jakarta Pusat, pindah ke Bandung dan menetap di kota itu bersama keluarga sejak dia SMP. Ayahnya adalah orang Jakarta yang berdarah Jepang-Arab, sedangkan ibunya orang Betawi.

Oki lahir tahun 1990, posisinya di Elang sebagai gitaris ritmis.


Ken.

Nama lengkapnya Ken Narendra Marauleng. Lahir di Bandung, ayahnya orang Bugis yang sudah lama menetap di Bandung. Ibunya orang Bandung yang berdarah campuran Denmark.

Ken lahir tahun 1990, posisinya di Elang sebagai keyboardis.


Koko.

Nama lengkapnya Chordy Suastra Eka Maulana. Lahir di Bandung Kabupaten, ayahnya orang Betawi, ibunya orang Sunda yang masih merupakan keturunan Jepang.

Koko lahir tahun 1989, posisinya di Elang sebagai bassis.

Dengan langkah sedikit gontai, Chan berjalan menuruni tangga dari rooftop. Bahkan sempat lelaki itu hampir tersandung jika saja refleknya tidak bagus—segera menyeimbangkan diri dan berpegangan pada railing agar tidak jatuh menggelinding di tangga.

Dia lihat Hyunjin yang duduk sendirian di sofa ruang TV lantai 2, sedang memeluk bantal dengan badan terbalut selimut.

Tak berpikir panjang, Chan hampiri Hyunjin dan duduk di sebelahnya.

“Dor!”

Hyunjin menoleh. “Gak kaget, wlee!”

Chan tertawa kecil. Lalu tiba-tiba Hyunjin menjewer telinganya.

“Akh! Kenapa? Kok aku dijewer?”

“Salah siapa minum minum. Tadi hampir jatuh kan, di tangga? Kalo nggelinding kayak trenggiling gimana?”

Chan hanya bisa tersenyum kikuk. “Sorry, pengen banget tadi. Hehe. Mumpung ada.”

“Mumpung ada mumpung ada,” omel Hyunjin. “Untung gak sampe mabok parah.”

“Maaf yaaaa,” lalu dengan lancangnya Chan memeluk badan Hyunjin seperti memeluk boneka, kepalanya ia sandarkan pada bahu yang lebih muda.

Hyunjin biarkan saja Chan begitu. Mungkin pengaruh dari alkohol, membuat lelaki itu menjadi sedikit lebih manja. Entah ada korelasinya atau tidak, tapi itu yang terpikirkan oleh Hyunjin.

“Terus Kak Changbin sama Jeje kemana?” Hyunjin pun membuka suara lagi.

“Gak tau. Tiba-tiba pada ngilang,” jawab Chan, matanya tertutup karena merasa kantuk menyerang. “Kamu sendiri? Kok sendirian?”

“Felix tidur. Tadi kecapekan nata barang-barang dia. Kalo Seungmin masih ke luar, katanya mau cari makan,” gantian Hyunjin menjawab.

Chan menanggapinya dengan anggukan dan gumaman 'hm' lirih. Setelah itu, keduanya hening. Hanya ada suara TV yang menghidupkan suasana ruangan itu.

Beberapa menit kemudian, Hyunjin dengar dengkuran halus dari lelaki yang menyandarkan kepala pada pundaknya itu. Chan jatuh tertidur. Masih dengan posisi kedua tangan memeluknya, walau tak seerat tadi.

“Hhhh,” Hyunjin menghela napas pelan.

Berat sih, meski belum sampai mati rasa, tapi pundaknya pegal. Entah kenapa kepala Chan terasa berat.

'Apa Kak Chan banyak pikiran, ya? Kepalanya berat,' batin Hyunjin, lagi-lagi berteori ngawur.

Tak tega membangunkan, perlahan Hyunjin sedikit bergeser dan ia tidurkan kepala Chan pada pahanya. Mau mengambil bantal, tetapi letaknya terlalu jauh. Hyunjin tak bisa menjangkaunya. Jadi tak apalah, ia pinjamkan pahanya sebentar untuk Chan.

Hyunjin kecilkan volume TV agar tidak mengganggu tidur Chan. Sembari menonton tayangan pada layar 14 inch itu, pikiran Hyunjin berkelana.

'Aku nyaman sama Kak Chan. Tapi aku gak ngerasa lebih dari temen. Ah, no, lebih ke aku ngerasa he's like my big brother.'

'Beberapa kali Kak Chan keliatan a bit suspicious. Aku bukan orang yang terlalu gak peka, walaupun aku akui kadang tanpa sadar aku juga kurang peka. Aku bisa nangkep 'kode-kode' yang diberi Kak Chan. Seems kinda like he has feeling? More than what friends usually do to other friends? I don't know.'

'But what if I'm wrong?'

'Hahah, mikir apa, sih? Dari awal kamu fantasiin Kak Chan waktu heat aja udah salah, Hyunjin.'

Lagi, Hyunjin menghela napas. Kemudian ia menunduk untuk melihat wajah Chan yang sedang tertidur. Dahi lelaki itu terlihat sedikit mengerut.

“Kak Chan bobo,” Hyunjin elus kerutan di antara kedua alis Chan. “Yang nyenyak. Jangan mikir apa-apa waktu tidur.”

Lalu Hyunjin pun tersenyum ketika dahi Chan tak lagi mengerut, kini lelaki itu terlihat tidur dengan lebih tenang.

Pukul 10 di Sabtu pagi itu, terlihat Changbin yang sedang memanasi mobilnya di carport kost. Setelahnya datang Jeongin sambil menyeret koper berukuran kecil dengan Seungmin yang berjalan di belakangnya.

“Mas Bin! Titip ini ye,” Jeongin letakkan kopernya di dekat bagasi mobil Changbin.

Changbin pun membuka bagasi mobilnya. “Noh masukin sendiri.”

“Ye, katanya tadi lu yang mau angkatin,” cebik Jeongin, walaupun tetap saja ia angkat kopernya untuk ia masukkan ke dalam bagasi. “Kak Mo mau dibantu gak?”

“Gak usah deh,” tolak Seungmin, ia angkat sendiri tas besarnya untuk ia taruh di dalam bagasi mobil Changbin.

“Jiah, tertolaq,” bisik Changbin dengan nada meledek, dihadiahi tendangan lutut oleh Jeongin.

“Guys!”

Changbin dan Jeongin menoleh, itu Chan yang datang. Lelaki itu menyeret dua buah koper, mungkin miliknya dan satu lagi milik Hyunjin.

“Masukin cepet mumpung bagasinya masih gue buka,” ucap Changbin.

Chan telah sampai di dekat mobil Changbin. “Cuk, mana katanya mau angkatin? Omdo lu,” dan akhirnya Chan memasukkan dua koper yang dia bawa ke dalam bagasi.

“Ya kan sekalian masih gue buka ini,” Changbin membela diri. “Betewe ini mana deh Felix sama Hyunjin?”

“Hyunjin tadi katanya mules, dia boker bentar. Tapi udah dari tadi sih, harusnya sekarang hampir beres. Kalo Felix gak tau,” Chan menjawab.

“Tar gue ke dalam dulu ye,” pamit Changbin, lalu berjalan masuk menuju rumah kost dengan tujuan mengecek keberadaan Felix. Sebelum Changbin melangkahkan kaki melewati pintu utama,

“Lick lick lick lick, I want to eat yo dick,”

“But I can't fuck up my nails, so I'ma pick it up with chopsticks, hahahahaha!”

Felix berjalan keluar rumah kost berdua, sambil bergurau, bernyanyi-nyanyi dan tertawa berduaan.

“Dua raja tiktok dateng,” celetuk Jeongin.

“Mouth wide open,”

“Aahh~”

“Mouth wide open,”

“Aaahh!”

“Hyunjin! Hahahahaha goblok,” Felix menepuk pelan belakang kepala Hyunjin.

“Uh..,” di sisi lain, Chan, Changbin, dan Jeongin berdiri menegang ketika menyaksikan Hyunjin mendesah tepat di hadapan mereka.

“Hadeh,” sedangkan Seungmin hanya bisa menghela napas sambil memijit batang hidungnya.

Akhirnya setelah beres dengan barang bawaan masing-masing, keenam pemuda itu berangkat. Changbin bersama Felix menaiki mobil Changbin—bersama dengan koper dan tas besar milik yang lain, Chan naik motor berboncengan dengan Hyunjin, dan Jeongin yang juga naik motor, berboncengan dengan Seungmin.

Tak jauh jarak guest house tujuan mereka, hanya memerlukan perjalanan kurang lebih 30 menit dari kost.

Sementara itu di kost, Lino baru saja bangun. Ia mendapat pesan dari Chan, dikabari bahwa lelaki itu bersama lima pemuda yang lain sudah meninggalkan kost. Jadi Lino berpikir tak apa ia keluar kamar, berhubung dirinya memasuki rut pagi ini.

Setelah mengambil air putih dari dapur, Lino berinisiatif untuk mengecek lantai 2. Tempat kamar Jisung dan 3 omega penghuni kost berada. Ia lirik kamar Jisung, terlihat belum ada tanda-tanda kehidupan. Mungkin masih tidur.

Ya sudah, Lino pun turun lagi ke lantai 1 untuk memasak sarapan.


“Aduh..., laper..”

Lino menoleh ketika mendengar suara dari arah tangga. Oh, itu Jisung. Sudah bangun ternyata.

Lino sedikit mengernyitkan dahinya ketika feromon Jisung melesak masuk ke hidungnya tanpa permisi.

“Oi, kos kok sepi? Orang-orang pada kemana?” Tanya Jisung ke satu-satunya orang di sana, yaitu Lino.

“Lu gak dipamitin emang? Pada mau camping ceunah.”

“Berapa lama?”

“Semingguan katanya.”

“Anjir gue gak diajak?”

“Ya gue juga gak diajak. Tapi wajar gak ngajak gue, gue lagi rut. Kalo lu beta, harusnya oke aja ngajak elu. Gak tau dah ngapain elu gak diajak.”

Jisung mengerjapkan matanya beberapa kali, sedetik kemudian ia merengek seperti anak-anak yang tidak dibelikan balon berbentuk sapi. Beberapa kali ia sumpah serapahi teman-temannya yang pergi tidak mengajaknya itu.

“Gak usah lebay, kan masih ada gue,” Lino menyodorkan sepiring nasi goreng dengan telur ceplok setengah matang di atasnya ke hadapan Jisung yang duduk murung di meja makan.

“Makasih,” ucap Jisung, lalu matanya secara refleks melihat ke arah bawah. “Itu, lu ngaceng?”

Lino mendengus. Buru-buru ia duduk di meja makan agar ereksinya tertutup oleh meja.

“Kenapa ngaceng?” Tanya Jisung polos.

“Ngaceng kok kenapa, terangsang atau kebelet kencing. Lu cowok apa bukan, sih? Gituan gak paham,” Lino menjawab.

“Iya tau, maksudnya kenapa kok ngaceng? Penyebabnya? Perasaan tadi masih tidur deh.”

Lino diam sejenak untuk menyuapkan satu sendok pertama nasi goreng telurnya. Setelah ia kunyah dan telan, “Feromon lu.”

Seketika Jisung mencoba menghirup bau badan-nya sendiri. “Gue beta loh Om, masa iya feromon gue bikin lu ngaceng?”

“Emang kenapa kalo beta? Feromon beta emang gak setajem omega, tapi tetep kebau.”

“Jadi ini lu ngaceng gara-gara gue?”

Lino mendengus lagi. Belum juga ia habiskan makannya, alpha itu berdiri dan menarik pergelangan tangan Jisung. Jisung yang dari beberapa hari yang lalu memang sudah membantu Lino beberapa kali pun pasrah saja diseret oleh sang alpha menuju ruang tamu.

“Gue jadi gak pengen sarapan nasi goreng,” Lino tutup pintu dan korden jendela rapat-rapat.

“Wow,” celetuk Jisung. “Tapi gue laper loh.”

Tak menjawab, Lino mendekati Jisung. Langsung saja alpha itu tarik tengkuk sang beta, ia sambar bibir milik sang beta. Niatnya adalah untuk memberi makan sang beta dengan kecupan dan salivanya.

Dan Jisung terima saja. Memang sudah lama ia seperti ini dengan Lino.

Cinnamon dan Coffee. Lino perdalam ciumannya ketika lagi-lagi feromon Jisung masuk ke hidungnya tanpa ampun. Bahkan ia dorong tubuh yang lebih kecil hingga terbaring di sofa, ia tindih tubuh sang beta dengan tubuh besarnya tanpa sedikit pun ada niatan melepas tautan bibir keduanya.

Tangan Lino menyusup masuk ke dalam kaos yang Jisung kenakan, perlahan ia angkat kaos itu hingga mengekspos perut polos sang beta. Ia elus kulit halus itu dengan lapar, menyebabkan sang beta melenguh dalam ciuman mereka.

Kalau kata Hyunjin dan Seungmin, feromon Jisung kadang akan berbau seperti warkop. Karena hint aroma kopi yang mendominasi feromonnya, mungkin itu yang menyebabkannya berbau seperti warkop—menurut Hyunjin dan Seungmin.

Tapi lain lagi bagi Lino, ia begitu terbuai dengan bau milik Jisung. Tautan bibir keduanya terlepas, kini Lino turun untuk mengeksploitasi leher sang beta.

“Om.., jangan digigit ya, Om?”

Seketika Lino berhenti. Ia jauhkan wajahnya dari leher Jisung, dengan tatapan datar ia tatap Jisung.

“Lu misalnya jangan panggil gue 'Om' pas lagi gini bisa, gak? Kesannya kayak gue Om Om yang mau perkosa anak perawan dah,” sang alpha berkata.

“Lah, kan emang gue biasa panggil elu 'Om'?”

Lino pun turun dari sofa. “Dah lah, dah dah. Turn off gue, lu panggil gue 'Om' gitu. Daddy kek, atau paling enggak Kak gitu lah biar arghh tau ah! Makan nasgor aja gue,” dengan begitu Lino melenggang pergi ke dapur.

Jisung pun bangun. Dengan linglung ia lihat punggung Lino. “Lah? Hadeh, alpha kalo lagi rut emang susah ye,” ia pun bangkit dan pergi ke kamar mandi, pasalnya di bawah sana ia juga sudah menegang.

“Gimana? Udah mendingan?”

Hyunjin mengangguk. Badannya sudah jauh lebih dingin sekarang. Tadi, ketika ia diserang mini heat, dengan sigap Chan membopongnya ke kamar dan membantunya menenangkan diri.

Ia juga telah berganti baju, dibantu oleh Chan.

“Kak Chan.”

“Iya?”

Hyunjin diam sejenak. Ia tatap pria yang duduk bersila di karpet, berada di seberangnya. “Aku ini nyusahin gak, sih?”

Chan balas menatap Hyunjin. “Kenapa mikir gitu?”

Kali ini pandangan Hyunjin turun ke lengan bawah Chan yang terekspos—karena pria itu mengenakan kaos lengan pendek. Ada beberapa bekas luka gigitan di sana. Beberapa sudah mengering, beberapa lagi masih baru dan basah.

“Itu, tangan Kak Chan. Tadi, Kak Chan gigit tangan sendiri lagi?”

“Oh, hihi,” Chan langsung sembunyikan lengannya di balik punggungnya. “Gak papa ini mah, diobatin juga sembuh udah.”

Hyunjin masih ingat jelas bagaimana ketika Chan membantunya menenangkan diri. Jelas-jelas alpha itu sekuat tenaga menahan diri demi dirinya. Sekuat mungkin menahan sisi buasnya agar tidak keluar, demi menjaga kehormatannya. Bahkan sang alpha rela terluka demi melampiaskan dorongan untuk melakukan biting mark, alih-alih alpha itu menggigit lengannya sendiri.

Jika Hyunjin tersiksa karena panas, Chan lebih tersiksa karena menahan sakitnya dorongan dari dalam sisi buasnya.

“Selalu gitu,” ucap Hyunjin, cemberut.

“Well, kamu minta tolong aku. Aku bisa apa selain nolong kamu?” Chan menanggapi. “It's not like I can resist you.”

“Kenapa gitu?”

Chan menyadari perkataannya barusan, ia keceplosan. “Um, gak ada. Hehe. Aku asbun aja tadi. Well, mau makan? Aku bawain makan mau?”

“Kak Chan tuh kebiasaan.”

Baru saja Chan akan berdiri, gerakannya tertahan lagi karena ucapan Hyunjin.

“Masih di tengah-tengah obrolan serius, selalu ngalihin topik.”

Kemudian Chan duduk lagi. Namun ia memilih untuk diam, ia biarkan Hyunjin mengatakan apa yang ingin omega cantik itu katakan.

“Kak Chan kenapa mau tolongin aku terus? Padahal kalo emang Kak Chan keberatan, Kak Chan bisa nolak,” Hyunjin kembali berujar.

“Um,” Chan mengusap tengkuknya. “Aku sendiri juga gak tau pasti alasannya. Yang jelas, aku gak bisa nolak aja. Aku juga gak tau kenapa.”

Benarkah seperti itu?

Nyatanya tidak.

Suatu malam, Chan pernah melihat Hyunjin menangis di balkon kamarnya. Waktu itu Chan memang pulang malam karena harus menyelesaikan urusan organisasi di kampusnya. Ketika sampai di kost, ia lihat Hyunjin yang terduduk sendirian. Mata alphanya yang tajam dapat melihat mata sang omega yang basah, juga bau manis sang omega yang berubah menjadi keruh.

Chan tahu saat itu pasti ada yang sedang mengganggu perasaan Hyunjin.

Dan instingnya mengatakan untuk menghampiri sang omega.

Maka ia hampiri kamar Hyunjin, ia ketuk kamarnya. Lama ia menunggu untuk dibuka, hingga akhirnya Hyunjin luluh dan memilih untuk membukakan pintu. Mungkin saat itu juga ia sudah lelah menangis seorang diri, ia butuh seseorang untuk bersandar.

“Hyunjin kenapa nangis?” Ucapnya sembari memeluk sang omega.

Tak ada jawaban. Hingga singkatnya, ketika akhirnya tangisan Hyunjin sudah mereda, omega itu bercerita.

Sedari kecil Hyunjin mendapat perlakuan buruk di lingkungan sekolahnya. Alasannya tak lain adalah karena dirinya terlahir sebagai seorang omega, dimana pada saat itu omega laki-laki seperti dirinya dianggap sebagai makhluk rendahan. Dengan kata lain, laki-laki yang gagal.

Hyunjin tidak pernah mendapat teman baik. Sering mendapatkan cemoohan dan tindakan bullying. Tak jarang ia harus kabur dari sekolah dan sembunyi, mengonsumsi suppressant untuk menekan feromonnya hingga overdosis demi menghindari alpha-alpha tidak bermoral yang sedang rut. Beberapa kali ia harus dilarikan ke rumah sakit karena mengalami overdosis.

Lalu semua membaik ketika dirinya lulus dari sekolah menengah atas dan masuk ke dunia perkuliahan. Dunia perkuliahan lebih terbuka menerima dirinya. Ditambah ia bertemu dengan Chan dan yang lain, teman-teman kostnya yang baik dan menyenangkan.

Tapi suatu saat, ketakutannya terjadi lagi. Di suatu tempat, ia bertemu dengan beberapa alpha berkeliaran di tengah jalan. Satu di antaranya sedang rut, sisanya terlihat sedang mabuk. Mereka mengejar Hyunjin, walau akhirnya Hyunjin bisa kabur dan bebas. Ia sampai di kost dengan selamat walau keadaan mentalnya sangat hancur.

“Kak Chan jangan jahat kayak mereka..”

Tentu saja, mana mungkin Chan tega berperilaku brengsek terhadapmu, Hyunjin?

Sungguh hati Chan tersayat ketika mendengar cerita hidup Hyunjin. Dari situ ia berjanji, setidaknya dirinya akan menjadi tempat Hyunjin untuk mengadu, berkeluh kesah, tempat untuk pulang.

Karena itu pula, Chan tidak pernah bisa menolak jika Hyunjin meminta bantuannya, entah apa pun itu. Chan ingin Hyunjin tahu bagaimana rasanya disayangi dan dianggap berharga.

“Kak? Malah ngelamun,” Hyunjin terkekeh kecil.

Chan balas terkekeh. “Oh, enggak. Itu, inget sesuatu dikit.”

“Oh ya? Apa itu? Aku boleh tau?” Hyunjin menggeser duduknya hingga kini dirinya berdekatan dengan Chan.

Chan memberanikan dirinya untuk mengulurkan tangan, ia usak lembut rambut panjang Hyunjin. “It's just something in the past. Yang pasti gara-gara itu, aku cuma pengen kamu rasain bahagia terus. Aku gak mau liat kamu susah, sedih lagi. You had enough with those. Jadi kalo aku bantu kamu, udah, kamu diem. Jangan komplain, oke? Aku lakuin itu karena emang aku mau.”

Mendengar itu Hyunjin menunduk. Wajahnya memerah, senyum manis mengembang di bibirnya. “Padahal dengan dikelilingi temen-temen baik di sini aja udah lebih dari cukup.”

“Tapi aku pengen kamu dapet lebih.”

Hyunjin mendongak, ia tatap Chan. “E-eh?”

Chan tersenyum. “Udah lah, apa-apa yang aku kasih ke kamu, terima aja. Aku pengen kamu tau gimana rasanya dimanja. Dulu kamu gak pernah dapetin itu, kan? Makanya aku mau kamu rasain itu. Aku mau kamu tau gimana rasanya ada orang yang selalu ada buat kamu. Ngerti?”