tulisan mamat

I wrote this special for Suguru Geto's birthday, a character made by Gege Akutami who has special place in my heart.

Suguru Geto (03/02/1990 – 24/12/2017).


Blood. Blood is everywhere. Bagi Geto, darah adalah sahabatnya.

Satu persatu kantong plastik hitam diletakkan di hadapan pria bersurai panjang nan legam itu. Tak ada bau busuk, jasad-jasad di dalam kantong itu semua masih baru.

Geto tak suka bangkai.

Satu karung goni Geto lempar kepada beberapa manusia di hadapannya, anak buahnya. Karung goni itu penuh terisi dengan lembaran-lembaran uang.

Sepeninggal anak buahnya, Geto membuka satu persatu kantong berisi mayat yang belum ia buka.

Manusia-manusia ini, Geto membunuhnya karena mereka adalah hama. Hama untuk Geto dan kelompoknya. Mereka yang suka menghalang-halangi visi, misi, dan tujuan kelompok yang dipimpin olehnya.

Jasad pria layaknya manusia albino, dengan semua rambut di tubuhnya berwarna putih Geto tatap untuk beberapa saat. Ia buka kelopak matanya, iris sebiru langit itu kini mengabur.

“Geto.”

Seseorang memanggilnya, maka ia menoleh dan mendapati seorang berambut biru keperakan. Sama panjangnya dengan surai miliknya.

“Mahito.”

“Yang itu,” si surai perak bernama Mahito menunjuk jasad pria albino. “Bukannya kamu deket sama dia?”

Geto terkekeh. Sarat akan sesuatu yang Mahito dan siapa pun tak bisa tahu. “Lalu kenapa?”

“Kenapa dibunuh?” Mahito menyandarkan tubuhnya pada dinding.

Geto menatap sejenak jasad pria itu. Tanpa ekspresi, namun entah apa yang ia rasa di dalam hati.

“Sejak kapan aku kasih izin orang lain buat tahu urusanku? Termasuk kamu. Mahito,” Geto menutup rapat-rapat kantong berisi jasad pria albino itu.

Mahito mencebik. Ia angkat bahunya, tak ingin terlalu jauh terlibat cekcok dengan atasannya, Suguru Geto. Ia pun berlalu, membiarkan Geto sendirian di ruangan gelap itu.

Geto pun menghela napas. Pria albino itu, Satoru Gojo.

Satoru Gojo.

Sahabat baiknya, orang terdekatnya. Orang yang paling dia percaya, bahkan lebih dari bagaimana ia percaya dengan keluarganya sendiri.

Geto berjongkok di hadapan jasad Gojo yang telah tertutup rapat. Kemarin malam, ia sendiri yang merenggut nyawa sang sahabat. Setelah bertahun-tahun tak jumpa, secara tiba-tiba ia munculkan dirinya di depan sang sahabat.

Gojo terkejut, tentu saja. Tak pernah mengira ia akan melihat Geto lagi. Juga tak pernah menyangka bahwa hari itu adalah hari terakhirnya. Nyawanya dihabisi oleh sahabatnya sendiri.

'Satoru..'

'Suguru..'

Untuk beberapa saat Geto terdiam, terbungkam. Memori tentang dirinya bersama Gojo selama beberapa waktu terakhir melintas deras dalam pikiran. Tentang bagaimana mereka memanggil nama satu sama lain, penuh kehangatan.

Dan kasih sayang.

Sebagai sepasang sahabat dekat.

Begitulah kata orang. Namun nyatanya, tak ada yang benar-benar tahu seberapa jauh hubungan Geto dan Gojo. Yang semua orang tahu, kedua pria itu hanya terlampau dekat. Sedikit terlalu dekat jika dibilang hanya sebatas sahabat lekat.

Inilah juga alasan Mahito tak percaya bahwa Geto membunuh Gojo. Bahkan orang tak pedulian semacam Mahito sampai heran.

“Satoru. Aku penuh dosa. Dan sebaik-baik dirimu pasti kau juga penuh dosa. Sesungguhnya seluruh isi dunia ini adalah dosa.”

'Bunuhlah aku kalau aku pernah mengecewakanmu. Suguru, kita janji buat jaga kepercayaan masing-masing. Aku lebih baik mati daripada hidup dihantui kekecewaan dari kamu.'

Gojo pernah berucap. Dan ucapan itu, dalam otak dan hati Geto tertancap.

“Kalau aja kamu nggak kecewain, aku, Satoru. Sekarang ini aku nggak bakal liat darahmu mengalir keluar dari tubuhmu. Napasmu lepas dari paru-parumu. Detak jantungmu hilang dari balik dadamu.”

Tak peduli berapa kali Geto mengajak Gojo bicara, Gojo tak akan pernah bisa menjawabnya lagi. Tentu saja. Tak akan ada lagi suara jenaka milik Satoru Gojo dalam hidup Suguru Geto. Tak akan pernah ada lagi.


“Satoru Gojo, dia bukan bagian dari kelompok yang dianggap hama sama Geto, kan?”

Toji Fushiguro, salah satu pria anggota aliansi yang dibentuk oleh Geto. Pria itu berbadan kekar, dengan bekas luka gores permanen di bibirnya. Ia membuka obrolan.

“Tiga tahun gue gabung sama Geto, gue masih belum paham kelompok yang dianggap hama sama Geto itu yang kayak gimana.”

Sukuna Ryomen, pria dengan badan tak kalah kekar dan tato khas hampir di sekujur tubuhnya. Ia menjawab ucapan Fushiguro.

“Geto gak suka orang banyak aturan. Contohnya polisi, pemerintah. Semua yang berhubungan sama aparat.”

Zen'in Naoya. Dengan kimono mewah dan telinga dipenuhi tindikan. Ia menanggapi ucapan Ryomen.

“Udah dibilang, jangan urusi apa-apa tentang Satoru.”

Geto, sang pemimpin kelompok tiba-tiba muncul. Ia sahut ucapan Zen'in.

Seketika semua pria dewasa di sana hening. Membiarkan Geto mengambil tempat duduk tepat di sebelah Fushiguro, di hadapan Ryomen.

“Bunuh aja mereka-mereka yang berseragam. Berpangkat. Kalo coba-coba halangin kita, habisi aja. Masalah Satoru, biar gue yang urus. Jangan coba-coba kalian ikut campur. Juga masalah Nanami, biar Mahito yang urus.”

Ketiga pria bawahan Geto hanya diam, sebagai tanda mengiyakan. Hanya Ryomen yang mengangguk pelan sebagai tanggapan dari ucapan Geto.

Geto pun beranjak dan berlalu.

“Yang pasti ada sesuatu di antara Geto dan Gojo. Yang mana siapa pun nggak mereka ijinkan buat tau,” Zen'in berbisik.


Papan catur hitam dan putih.

Geto dan Gojo itu sangat berbanding terbalik. Jika Geto adalah papan catur hitam, maka Gojo adalah papan catur putih. Jika Geto adalah yin, maka Gojo adalah yang. Geto itu hitam, Gojo itu putih.

Hitam rambut Geto, putih rambut Gojo. Panjang surai Geto, pendek surai Gojo. Tenang pembawaan Geto, enerjik pembawaan Gojo. Geto itu nakal. Tindik dan tato adalah sahabatnya. Rokok dan alkohol adalah kawannya. Sedangkan Gojo itu anak baik-baik. Bersih dari tindik dan tato, juga tak punya toleransi terhadap rokok dan alkohol.

Namun ada kalanya Geto adalah yang, dan Gojo adalah yin. Ketika mereka menghabiskan waktu berdua, melakukan hal privasi yang hanya mereka berdua tahu dan nikmati. Itulah saat ketika Geto berada di atas Gojo, dan Gojo berada di bawah Geto.

Berbicara tentang Geto dan Gojo, keduanya pernah membuat janji untuk tak saling mengecewakan. Keduanya setuju untuk lebih baik mati daripada dikecewakan.

Mungkinkah itu alasan Geto membunuh Gojo?

“Geto.”

Menolehlah Geto, ternyata Mahito memanggilnya. Terkadang Geto heran, kenapa Mahito suka tiba-tiba muncul di dekatnya. Tiba-tiba memanggilnya.

Geto menatap tangan Mahito. Sebuah dasi dengan corak macan tutul melilit tangannya.

Itu adalah dasi milik Kento Nanami, salah satu juniornya yang juga merupakan junior Gojo di sekolah menengah atas.

“Kalau diberi satu kesempatan untuk mengembalikan sesuatu yang pernah kita sesali, kamu mau balikin apa?” Mahito bersuara.

“Walaupun aku jawab apa pun selain Satoru, pasti jawaban hatiku adalah Satoru,” Geto menjawab.

“Lalu kenapa Satoru kamu bunuh?”

Geto masih melirik tangan Mahito. “Lalu kenapa Kento kamu bunuh?”

Mahito terhenyak. Sedikit tertegun, ia menunduk.

“Tahu, kan, Mahito? Rasanya urusan pribadi kita diungkit-ungkit, ditanya-tanya sama orang lain. It's annoying.

Mahito menghela napas. Benar, Geto pasti punya alasannya sendiri. Sama hal dengan dirinya, bagaimana dia memiliki alasannya sendiri untuk membunuh Nanami.

“Tentang Satoru dan aku, biar jadi urusan kami. Biarlah orang-orang tebak tentang kami. Cuma kami yang tahu semua tentang kami.”


Freezing cold.

Biasanya Geto akan menyimpan jasad orang-orang yang dia bunuh di dalam ruangan pendingin. Geto itu tidak ceroboh. Membuang jasad ke sembarang tempat sama artinya dengan memberi umpan kepada aparat.

Lagi pula Geto tak ingin merugi. Jasad-jasad beku itu nantinya bisa ia jadikan objek jual beli. Limpahan uang akan ia terima dalam jumlah berarti.

Namun berbeda dengan jasad Gojo, Geto memutuskan untuk memumikan sahabatnya itu. Pakaian terbaik ia pakaikan pada tubuh Gojo, wewangian terbaik ia balurkan pada tubuh Gojo.

Gojo masih tampak menawan, meskipun tak ada lagi pancaran aura cerah seputih awan. Gojo sudah layu. Badannya telah membiru. Kulitnya dingin membeku.

Malam ini, pukul dua belas dini hari, masuklah hari ketiga pada bulan Februari. Hari di mana Geto bertambah usia, yang mana kini dirinya bukan tunas lagi.

Ingin ia habiskan malam hari ulang tahunnya bersama Gojo. Maka malam itu, lima belas menit sebelum jam menunjukkan dini hari, Geto telah duduk di sebelah jasad Gojo yang ia letakkan di dalam peti kaca.

Geto memakaikan setelan jas putih untuk Gojo, agar senada dengan rambut putih pria itu. Sedangkan dirinya sendiri mengenakan setelan jas hitam. Agar senada dengan rambutnya yang tak kalah legam.

Sekali lagi, Geto dan Gojo itu adalah hitam dan putih.

Lima belas menit berlalu, hari telah berganti. Usia Geto pun resmi bertambah.

“Satoru, kamu nggak bisa minum alkohol. Tapi karena saat ini kamu tidur, biar aku yang minum alkohol,” Geto mendentingkan gelasnya pada peti Satoru.

“Cheers, Satoru. Wish me a happy birth day.”

Tags: aboverse, alpha!chan, omega!hyunjin, alpha!changbin, beta!seungmin (only mentioned), slight changjin, nsfw, dialog nonbaku, sexual harassement, alphas fight, scenting, nesting, mating, knotting, softcore sex, romantic sex, male omega has a womb

Words: 3,3K+


Aboverse adalah sebuah semesta fantasi yang mana penghuni di dalamnya memiliki secondary gender. Terdapat alpha, beta, dan omega. Baik alpha pria maupun wanita dapat menghasilkan sperma, begitu juga dengan baik omega pria maupun wanita yang dapat menghasilkan sel telur. Sedangkan beta pria dapat menghasilkan sperma, dan beta wanita dapat menghasilkan sel telur.

Rut: musim kawin yang terjadi pada alpha. Feromon yang dihasilkan oleh alpha pada saat rut dapat mempengaruhi musim kawin omega. Biasanya bisa mempercepat datangnya heat.

Heat: musim kawin yang terjadi pada omega. Sama halnya dengan alpha, feromon omega yang dihasilkan pada saat heat dapat mempengaruhi musim kawin alpha.

Scenting: alpha 'meliputi' tubuh omega dengan feromon alpha sebagai pre-claim.

Marking: alpha menggigit bagian tubuh omega (biasanya leher) untuk menandai omega secara mutlak. Jika sudah diberi mark, maka omega tersebut sudah menjadi milik alpha yang memberi tanda, tidak bisa diganggu gugat.

Knotting: membuat sebuah bond pada saat hubungan seks antara alpha yang sedang rut dan omega yang sedang heat, di mana alpha akan menanam 'benih'-nya di dalam rahim omega.

Mating: berhubungan seks untuk membentuk sebuah bond sehidup semati.

Bond: ikatan, hubungan.

Nesting: omega membuat sebuah tempat nyaman dan aman dengan mengumpulkan sesuatu yang memiliki feromon mate mereka, biasanya baju-baju, selimut, bantal, dll milik mate mereka. Ini dilakukan ketika omega sedang heat atau suasana hati mereka sedang buruk.

Suppressant: obat khusus untuk menekan hormon dan feromon baik untuk alpha dan omega, biasanya untuk menunda heat/rut sementara.


'CLOSE'

Pukul 22.00, Hyunjin membalik tanda pada pintu kafe tempatnya bekerja. Seungmin, rekan kerjanya pada shift hari ini telah pulang lima belas yang lalu. Seungmin pamit lebih awal karena harus segera menemui seseorang, maka saat ini tinggal Hyunjin seorang diri.

Butuh sekitar setengah jam bagi Hyunjin untuk membereskan kafe seorang diri. Lalu ketika semuanya beres, Hyunjin menutup kafe itu dan segera beranjak pulang lantaran malam sudah larut.

Hyunjin adalah seorang omega. Agak berbahaya baginya untuk berjalan seorang diri larut malam begini, ditambah akhir-akhir ini siklus heat-nya yang tidak teratur. Dan bodohnya dia, suppressant yang seharusnya wajib dibawa, hari ini dia tinggalkan di rumah dengan alasan lupa dan buru-buru. Dalam hati Hyunjin terus berdoa agar heat-nya tidak datang tiba-tiba, ataupun ada alpha yang sedang rut muncul di sekitarnya.

Biasanya Hyunjin akan pulang naik bus. Tapi karena dia harus membereskan kafe seorang diri, bus terakhir yang lewat di jalan terdekat sudah berlalu. Maka Hyunjin harus berjalan sedikit lebih jauh, melewati jalan sekitar kedai yang malam hari ini sudah gelap dan sepi menuju jalan raya untuk mendapat tumpangan bus.

Hyunjin menyusuri jalanan sepi itu sembari bersenandung ringan untuk mengusir rasa waswasnya. Satu hal lain yang membuatnya semakin waswas, beberapa jam lalu, Hyunjin merasa badannya memanas. Bagian bawahnya terasa lebih lembap dari biasanya, juga sedikit berkedut.

Tak heran, tadinya beberapa pengunjung kafe dengan gender alpha terlihat tidak nyaman. Oleh karena itu, Seungmin menyuruh Hyunjin untuk tetap di dapur.

Tak diragukan lagi, heat-nya akan segera datang.

Hyunjin melangkahkan kakinya sedikit lebih kencang. Dia merutuki dirinya sendiri, bagaimana bisa benda wajib yang harus dibawa malah tertinggal di rumah. Bagaimana jika di tengah jalan dia bertemu dengan alpha beringas yang tidak bisa menahan diri? Bagaimana jika di dalam bus nanti feromon yang dia keluarkan akan membuat sopir dan penumpang lain merasa tak nyaman? Kecuali mereka adalah beta, karena beta tak bisa mencium feromon omega.

'Kayaknya harus mampir buat beli suppressant, deh,' gumam Hyunjin dalam hati. Namun masalah lainnya, apakah ada minimarket atau apotek yang masih buka?

Tak mau pesimis, Hyunjin terus melangkahkan kakinya menuju jalan raya, siapa tahu masih ada minimarket yang buka. Hingga kemudian dirinya mencium bebauan yang membuat badannya merinding seketika. Memanas. Kepalanya pening. Bagian bawahnya semakin berkedut dan basah.

Kayu cedar dan argan.

Feromon alpha.

Hyunjin terjatuh karena kakinya yang mendadak lemas. Jika saja insting manusiawinya tak mengambil alih insting hewaninya, Hyunjin hampir saja melepas bajunya saat itu juga karena tak tahan dengan rasa panas di tubuhnya.

'Jangan, jangan dulu.'

Napasnya memberat. Feromon alpha itu tercium semakin kuat. Maka dengan tenaganya yang tersisa, Hyunjin segera berlari menjauhi tempat itu.

Penciuman omega yang sedang heat akan berkali-kali lipat lebih sensitif terhadap feromon alpha. Terlebih feromon kayu cedar dan argan yang tadi, 100% Hyunjin yakin berasal dari alpha yang sedang rut.

Hyunjin pun mencari tempat yang gelap dan tersembunyi. Dia tak kuat. Feromon alpha itu meningkatkan hormonnya secara drastis. Maka tubuhnya merosot, duduklah dia di jalan gang sepi dan menyandarkan punggungnya pada dinding gang itu.

Hyunjin tak yakin dia bisa sampai rumah dalam keadaan seperti ini. Sungguh, dia tak tahu apa yang harus dia lakukan. Menyentuh dirinya sendiri? Sangat tidak mungkin. Dia tak segila itu untuk melepaskan hasratnya di tempat umum dan terbuka seperti ini, meskipun tak ada orang berlalu-lalang saat ini.

Pasrah.

Hyunjin hanya bisa pasrah. Berharap ada seseorang yang datang menolongnya, adalah satu-satunya hal yang bisa dia lakukan saat ini.

Jaketnya dia lepas, dia sumpalkan pada mulutnya untuk menahan lenguhan. Selain itu dia butuh sesuatu untuk dia gigit.

Ah, sial. Feromon kayu cedar dan argan itu kembali tercium kuat. Hyunjin memejamkan matanya. Sekuat hati dia tahan agar insting hewaninya tidak mengambil alih kesadarannya.

Kemudian iris merah menyala muncul dari kegelapan. “Kayak apa sih, wajah omega gila yang berkeliaran waktu heat kayak gini?”

Hyunjin tersentak. Orang ini, orang ini adalah asal dari feromon kayu cedar dan argan itu. Perlahan sosoknya terlihat jelas ketika mendekat.

Hyunjin tak menjawab. Dia tatap sosok alpha yang matanya menunjukkan kilatan merah penuh rasa 'lapar' itu, takut-takut.

“Jangan,” lirihnya.

Alpha itu berjongkok. Di bawah cahaya remang-remang, Hyunjin dapat melihat gundukan pada selangkangan pria itu. Kening dan pelipis pria itu sama berkeringatnya dengan dirinya.

“Lo, Hyunjin yang itu, bukan?”

“Lo, siapa lo? Jangan macem-macem, gue mau pulang,” Hyunjin membalas ucapan pria asing itu.

“Yakin bisa pulang dalam keadaan kayak gini?”

Hyunjin terdiam. Benar juga, bagaimana caranya dia pulang jika keadaannya sudah seperti ini. Setengah mati menahan agar insting hewaninya untuk berkembang biak tidak mengambil alih sisi kemanusiaannya.

“Gue bisa bantu,” ucap pria itu.

Tidak, Hyunjin tidak mengenal pria ini. Jangan mudah percaya dengan orang asing, begitu prinsip yang selalu dia tanamkan.

Maka dengan sekuat tenaga Hyunjin bangkit, hanya untuk tubuhnya yang limbung lagi. Terjatuh, karena kakinya yang lemas dan bagian bawahnya yang berkedut hebat.

Lenguhan lirih mengalun dari bibirnya. Sontak saja dia tutup mulutnya rapat-rapat. Sedangkan alpha lapar itu menatapnya sembari menjilat bibirnya.

“Sial.”

Alpha itu melepas pakaiannya satu persatu. Takut, Hyunjin ketakutan melihat aksi alpha asing di dekatnya itu. Kali ini dia berhasil bangkit, segera saja dia berlari menjauh.

Bodoh, bodoh, bodoh. Berkali-kali Hyunjin merutuki dirinya. Haruskah dia pergi ke motel untuk menginap semalam saja? Rasanya tak mungkin jika dia harus pulang.

Kekuatan fisik alpha yang sedang rut akan meningkat. Terutama jika mereka sedang mengejar omega incarannya, seperti halnya yang dilakukan oleh alpha pemilik feromon kayu cedar dan argan itu.

Hyunjin menangis. Antara takut dan sudah berada di ambang maksimal kemampuannya menahan diri. Tak kuat, Hyunjin sudah tak kuat. Pusing dengan feromon alpha itu yang sialnya begitu memikat. Hyunjin ingin lari, menjauh, tapi dalam waktu yang sama, daya tarik feromon sang alpha menuntun insting hewaninya untuk bergerak mendekat. Meminta untuk disetubuhi.

BUGH!

“Changbin, lo gak usah aneh-aneh!”

Ada suara pria lain. Hyunjin pun menghentikan larinya, dia menoleh.

Kayu cendana dan moringa.

Feromon alpha. Namun yang ini tercium tak begitu pekat, tandanya alpha yang baru datang tidak sedang dalam masa rut.

Alpha yang baru datang, dia menoleh ke arah Hyunjin. Begitu pula dengan Hyunjin yang menatapnya. Mata keduanya bertemu, terpaku dalam beberapa waktu.

'Chan?'

Bang Chan, atau Chan, adalah alpha yang baru saja datang. Hyunjin mengenal pria itu. Mereka dulunya adalah teman satu kelas pada saat SMA, hingga kini mereka masih berteman baik.

Sedangkan alpha yang lain adalah Seo Changbin, atau Changbin. Hyunjin tidak mengenal siapa itu Changbin. Tapi yang pasti Chan mengenal Changbin, mungkin mereka berdua berteman.

Chan masih terpaku, badannya sedikit menegang. Namun ketika Changbin bangkit dan terlihat akan mengejar Hyunjin, Chan tersadar dan segera menahan badan Changbin.

“Hyunjin, lari! Cari penginapan terdekat, bilang kalo lo lagi heat dan butuh bantuan!”

Hyunjin mendengarkan instruksi dari Chan. Dia segera berlari menjauh dari situ.


Buttermilk dan bubblegum.

Feromon manis dari Hyunjin masih mengitari kepala Chan, membuatnya terasa pening. Beberapa kali dirinya menawarkan bantuan kepada Hyunjin pada masa heat-nya. Cukup dengan meminjamkan baju-bajunya, atau sekedar memeluknya agar sang omega merasa lebih nyaman.

Kali ini Changbin ada di hadapannya. Teman alphanya itu sedang rut, hingga sekarang menjadi lebih agresif. Changbin mendorong tubuh Chan dengan tenaga yang super besar hingga Chan oleng dan terjatuh di aspal.

Changbin menubruk tubuh Chan, dia tarik kerah kaos pria itu. Matanya menyala penuh amarah, taring di antara deretan giginya muncul. Pria itu menggeram rendah.

“Brengsek. Brengsek!”

Namun sebagai seorang alpha, tenaga Chan tentunya tak kalah kuat dengan Changbin. Dia balik posisi mereka hingga kini Changbin-lah yang telentang di atas aspal.

Kedua alpha itu saling menarik kerah pakaian masing-masing.

“Changbin, sadar!”

BUGH!

Changbin meninju pipi Chan. Cukup kuat hingga cengkeramannya pada kerah Changbin lepas.

“Gak usah ganggu gue!”

Changbin bangkit, dia kejar Hyunjin yang ternyata sudah cukup jauh. Tapi hidungnya masih bisa melacak bau buttermilk dan permen karet milik omega itu. Tak masalah, alpha yang sedang rut dapat berlari cepat.

Tapi sekali lagi Chan tahan tubuhnya. Amarahnya terpancing, dia tendang kuat-kuat perut Chan.

“Bin! Please! Jangan, itu temen gue. Kalo lo butuh pelampiasan, gue bisa anter lo tempat terapi. Tapi jangan Hyunjin, dia temen gue. Please, Bin.”

Changbin masih enggan mendengar perkataan Chan. Lagi-lagi dia layangkan pukulan pada tubuh temannya itu, juga beberapa kali mencoba menggigit dan mengoyak pakaian Chan.

Merasa Changbin semakin meliar, Chan pun mengeluarkan tenaga terkuatnya untuk menahan pergerakan Changbin dan menundukkan pria itu.

“Seo Changbin, denger gue.”

Napas Changbin masih terengah-engah. Dia dapat melihat kilatan dominasi yang begitu kental pada iris mata Chan.

“Hyunjin itu, dia temen gue. Jangan berani lo apa-apain. Sadar.”

Suara Chan rendah, penuh penekanan dan dominasi, dan mutlak.

Perlahan kilat amarah pada iris Changbin memudar. Cengkeramannya pada pakaian Chan pun melonggar.

“Chan..”

Chan tersenyum. Dia lepaskan cengkeramannya pada tubuh Changbin, lalu dia tepuk pundak temannya itu.

“Sadar. Latih lagi biar sisi kemanusiaan lo lebih dominan dari sisi hewani lo.”

Peluh membanjiri seluruh tubuhnya. Chan melihatnya, dia paham betul tentang seberapa menyiksa masa rut dan tak adanya pelampiasan.

“Mau gue anter ke tempat terapi?” Tawar Chan. “Bahaya kalo lo pergi sendirian. Suka lepas kendali.”

Benar juga, Changbin tak bisa mengelak. Dirinya masih kesusahan mengendalikan diri. Maka dari itu dia menerima tawaran Chan.


Setelah mengantar Changbin ke tempat terapi, Chan pun menghubungi Hyunjin. Omega itu sedang berada di sebuah motel. Di seberang panggilan, Chan dapat mendengar suara Hyunjin yang dipenuhi dengan rintihan dan napas yang berat.

Sialnya itu terdengar indah.

“B-boleh... tolong ke sini? Bawain suppressant..”

Sebenarnya Hyunjin bisa saja minta tolong kepada pelayan motel untuk membantunya membawakan suppressant. Namun entah kenapa, omega itu meminta dirinya yang datang.

Dan Chan tahu dia tidak akan pernah bisa menolak Hyunjin. Sudah lama dia menyimpan perasaan pada omega cantik itu.

“Oke. Tunggu lima belas menit, bisa? Masih bisa nahan, kan?”

“Uhh... bisa-uhh.. bisa.. Chan, nanti pinjem baju boleh? Mau nesting..”

Tentu, tentu saja. Tentu saja Chan akan mengiyakan.


Room 203.

Chan mengetuk pintu ruangan dengan nomor 203 itu, kamar tempat Hyunjin berada.

“Hyunjin, ini Chan.”

Pintu terbuka. Hyunjin muncul dengan keadaan yang, berantakan. Berantakan yang cantik, menarik. Matanya sayu, pipi dan ujung hidungnya memerah, bibirnya merah membengkak, rambutnya acak-acakan, badan yang basah karena keringat, dengan pakaian yang sudah tak karuan bentuknya.

Chan terpikat.

“Ng, Chan?”

“Ah,” Chan sadar dari lamunannya. Dahinya sedikit mengerut, menahan betapa memabukkannya feromon dari sang omega.

“Ini,” Chan memberikan tablet suppressant kepada Hyunjin. “Gue bawain minum sama makanan juga. Biasanya setelah lo lebih tenang, lo bakal laper.”

Hyunjin menerima tablet itu. Kemudian Chan dibuat tersentak, pasalnya Hyunjin menarik tangannya cukup kuat, lalu menutup pintu ruangan itu rapat-rapat. Bahkan menguncinya.

“Hyunjin?”

“Kayaknya nesting aja gak cukup. Chan di sini aja, mau? Hyunjin perlu feromon Chan biar bisa tenang,” sang omega berujar dengan suara sedikit serak.

Dengan susah payah Chan menelan ludah. Menemani Hyunjin hingga omega itu lebih tenang, menemaninya semalaman, Chan tidak yakin dirinya akan kuat. Sebelumnya, dia hanya akan memeluk Hyunjin sekilas untuk scenting ketika omega itu sedang heat. Tak sampai menemani semalaman seperti ini.

Tapi sekali lagi, Chan tidak akan pernah bisa menolak Hyunjin.

“Uh, o-oke. M-mau pelukan?” Dia terbata-bata.

Hyunjin mengangguk.

Chan menarik napas dalam-dalam. Dia pun melepas jaket dan kaosnya untuk dia berikan kepada Hyunjin. Dia juga memberikan beberapa kaos yang dia tinggalkan di mobil untuk Hyunjin, agar omega itu bisa gunakan untuk nesting.

Hyunjin meletakkan baju-baju milik Chan di sekitar bantalnya, lalu dia kembali berbaring. Chan yang kini bertelanjang dada pun ikut berbaring di samping Hyunjin. Lantas Hyunjin segera mendekat kepada Chan, dia tenggelamkan kepalanya pada dada Chan.

Feromon manis Hyunjin menguar begitu kuat. Saat ini Chan tidak sedang rut, namun rut-nya bisa saja datang lebih cepat jika terus dipancing oleh feromon manis sang omega yang tercium berkali-kali lipat lebih memabukkan ketika sedang heat seperti sekarang ini.

Namun Chan harus kuat. Dia harus menjaga kehormatan Hyunjin.

Hyunjin memejamkan matanya. Tubuhnya menggeliat, rintihan lirih beberapa kali keluar dari mulutnya. Tangannya mencengkeram tubuh Chan, kepalanya tenggelam lebih jauh pada ceruk leher sang alpha.

Tak dapat dipungkiri, celana Chan sesak. Tubuhnya kian memanas. Namun dia harus menahannya. Lantas tangannya terulur untuk membelai rambut Hyunjin, menyisir lembut helai-helai yang basah karena keringat itu. Kadang dia kecup puncak kepala sang omega, berusaha sebisanya untuk membuat sang omega agar lebih tenang.

Lenguhan lembut terdengar dari Hyunjin. Tak ada lagi rintihan, menandakan omega itu sudah jauh lebih tenang dan nyaman.

Hyunjin boleh tenang, namun kini Chan yang tidak tenang. Seperti dugaannya, feromon Hyunjin terlalu berlebihan untuk dirinya bisa menahan diri. Terlalu memikat, terlalu mengundang.

Dapat dia pastikan rut-nya akan datang lebih awal.

Sekuat tenaga dia katupkan rahangnya agar tak menggigit Hyunjin, memberi 'tanda' pada sang omega. Dia tak bisa melakukan itu. Bagaimanapun juga, dia dan Hyunjin tak ada hubungan apa-apa. Menandai Hyunjin, sama artinya dengan melamar omega itu. Diperlukan niat dan komitmen yang kuat, karena jika sudah bertanda, maka artinya mereka akan bersama selamanya.

“Akh,”

“U-uh?”

Tak sengaja lutut Hyunjin mengenai gundukan di selangkangkan Chan.

“It's okay, it's nothing,” Chan berbisik lembut.

Hyunjin mengangguk, dia memejamkan matanya lagi.

“Chan..,” kemudian dia bersuara.

“Ya?” Jawab sang alpha.

“Aku, aku pengen ditandain,” lirih sang omega.

“E-eh?” Chan terbelalak. Apa itu tadi yang Hyunjin katakan? Dia tidak salah dengar, kan?

“Aku, uhh,” Hyunjin menaikkan satu kakinya untuk dia lilitkan pada pinggang Chan. Dia menarik tubuh sang alpha untuk mendekat. Selangkangannya dia gesekkan pada selangkangan milik sang alpha.

“Hyunjin, no,” bisik Chan.

Hyunjin menggeleng. “Mau Chan..”

“Hyunjin.”

Rintihan sang omega terdengar lagi. Padahal tadinya sudah lebih tenang. Entah apa yang membuat sang omega kembali terangsang, kemungkinan adalah feromon Chan yang menguar lebih kuat.

Alias sang alpha kini memasuki rut-nya.

Chan ikut terengah-engah. Selangkangannya sesak dan menyakitkan. Namun dia berpikir, apakah ini tak akan menjadi masalah? Melihat bagaimana keduanya tak menjalin hubungan apa pun.

“Channie rut?” Hyunjin menatap Chan dengan mata sayunya.

Sial, sialan. Terlalu berat bagi Chan untuk menahan diri.

“Feromon Channie, uhh..,” tangan Hyunjin merambat naik, lalu dia remas rambut Chan sembari terus menggesekkan selangkangannya pada milik sang alpha.

“Hyunjin, kalo misalnya aku tandain kamu, will it be okay?

Hyunjin mengangguk dengan ribut. “Channie, Hyunjin udah lama suka sama Channie. Channie tau kenapa Hyunjin selalu minta Channie buat bantu Hyunjin waktu heat, padahal Hyunjin bisa minta ke yang lain?”

Chan terdiam. Sedangkan Hyunjin, tangannya kini menangkup pipi Chan.

“Karena Hyunjin cuma pengen Channie. Mark me, go ahead. I would say thank you.”

Chan tertegun. Lalu beberapa saat kemudian, dia sambar bibir sang omega.

Manis. Manis. Manis. Candu. Memabukkan.

Dalam ciuman panas itu, Chan merobek pakaian Hyunjin. Dia angkat tubuh kecil sang omega hingga kini berada tengkurap di atas dadanya. Chan turunkan celana Hyunjin, dia sentuh bagian bawah sang omega yang sangat basah dan hangat.

Desahan keluar dari mulut sang omega bersamaan dengan lepasnya tautan bibir keduanya.

“Hyunjin, yakin?” Chan tatap sang omega, taringnya kini telah muncul.

Namun Hyunjin balas tersenyum, sekali lagi dia kecup bibir Chan.

“Aku udah nunggu ini dari lama. Selama ini aku terlalu malu buat bilang. Channie, tandain Hyunjin.”

Seperti mimpi rasanya. Tak pernah Chan sangka, hari ini benar-benar tiba. Memiliki Hyunjin seutuhnya adalah salah satu impian terbesar Chan. Dan pada malam ini, impian itu telah berada di depan matanya. Dengan mudahnya dia akan raih impian itu.

“Hyunjin, I love you.”

Maka saat itu juga, sang alpha menggigit leher sang omega, memberikan tanda jalinan sehidup semati. Hyunjin mendesah hebat, rasa sakit sekaligus puas dia rasakan. Mengetahui sang alpha telah menandainya, hatinya terasa penuh.

“Channie, I love you too.”


Kini posisi mereka berbalik. Chan mengukung Hyunjin di bawahnya. Tubuh keduanya polos, dengan Chan yang mencumbu sekujur tubuh Hyunjin.

Desahan Hyunjin mengalun indah melewati gendang telinga Chan. Seperti memanggil-manggil dirinya agar mencumbu sang omega lebih, lagi dan lagi.

Bibir Chan bergerak semakin ke bawah, hingga ketika wajahnya berada tepat di depan selangkangan Hyunjin, berhenti sejenak. Indah. Pemandangan yang sangat indah.

Kemudian Chan jilat cairan dari lubang senggama Hyunjin yang bercucuran itu.

“Ahh!” Sang omega memekik.

Lalu satu jari masuk. Licin, masih sempit. Satu jari lagi pun masuk. Chan gerakkan jarinya, membuka lubang Hyunjin agar lebih longgar. Gerakannya perlahan namun pasti. Dengan jari-jarinya, dia eksplor bagian dalam Hyunjin, mencari letak titik kenikmatan milik sang omega.

“Ahh! Chan!”

Tak butuh waktu lama, Chan sudah menemukannya. Dia harus mengingat letak titik itu, jika mau sang omega klimaks untuk dirinya.

“Hyunjin, aku masukin sekarang, ya?”

Hyunjin mengangguk. Sungguh tak sabaran, hingga tangannya ikut membuka kedua bongkahan pantatnya.

Perlahan Chan masukkan penisnya ke dalam lubang Hyunjin. Perlahan, tak ingin menyakiti sang omega karena ini adalah pertama kalinya. Chan tak bergerak, membiarkan agar sang omega terbiasa dulu. Sembari dia kecup leher dan dada sang omega dengan lembut.

Tangan Hyunjin bertengger pada pundak Chan. “Channie, gerak.”

Chan menerimanya. Secara perlahan dia gerakkan pinggulnya. Tak sulit karena lubang Hyunjin yang memang sudah sangat basah dan licin.

Hyunjin mendesah hebat, merasakan sensasi surga dunia yang baru. Bersamaan dengan itu, Chan meningkatkan tempo gerakannya. Hyunjin menggelinjang, sensasinya sangat memabukkan.

Chan menggeram rendah ketika lubang Hyunjin meremas-remas penisnya. Mulutnya yang menganggur dia gunakan untuk menghisap puting kemerahan sang omega.

Sang omega menjerit. Begitu nikmat.

Sedari tadi Chan bermain-main, sengaja mengulur waktu. Sengaja dia tidak menumbuk titik Hyunjin karena ingin sesi bercinta mereka berlangsung lebih lama. Namun ketika melihat sang omega menangis, merintih untuk meminta lebih, Chan tidak tega.

“AAHH!”

Chan tumbuk titik surgawi Hyunjin di dalam sana. Berkali-kali, hingga kini rintihan Hyunjin berganti dengan erangan-erangan penuh kenikmatan.

Kaki Hyunjin bergetar. Tangannya mencengkeram punggung Chan erat, hingga mungkin punggung milik sang alpha sudah dipenuhi dengan goresan-goresan kukunya. Tak apa, itu adalah cara omega menandai alphanya.

Chan kini menatap Hyunjin lekat-lekat. “Hyunjin, kalo nanti terjadi apa-apa, aku janji aku bakal tanggung jawab. I'm all ready for you.

Hyunjin mengangguk. “Knot me.”

Dengan begitu, sekali lagi tumbukan, Chan mengeluarkan spermanya di dalam rahim Hyunjin. Tak butuh waktu lama, Hyunjin menyusul. Desahan keduanya terdengar saling beriringan.

Mereka biarkan posisi mereka seperti itu dalam beberapa saat, untuk membentuk sebuah bond. Hingga setelah keduanya menyelesaikan orgasme, Chan pun menarik keluar penisnya.

Hyunjin tersenyum dengan mata sayunya. Tangannya terulur untuk mengelus rahang Chan. “Let's get married.

Chan terkekeh. “Secepet itu?”

Hyunjin ikut terkekeh. “Gak lah, maksudnya, kita siapin segalanya dulu. Waktu udah siap, baru kita nikah. Lagi pula kita udah lakuin semuanya. Marking, mating, knotting, bonding.”

Chan mengangguk, senyuman bahagia terpatri pada bibirnya. Dia pun merebahkan tubuhnya di sebelah Hyunjin.

“And all in one night.”

Pagi akan datang tak lama lagi. Cukup lama keduanya melakukan sesi bercinta hingga dini hari sudah datang menyambut. Tak ada rasa kantuk sama sekali. Hati keduanya terlalu membuncah, dipenuhi bunga-bunga asmara yang bermekaran.

Sembari menunggu datangnya fajar, mungkin mereka akan melakukan ronde kedua?

.

  • The End.

Tags: top!chan, bottom!hyunjin, beach club, pool sex, outdoor sex, public sex, public sexual activity, teasing, cockwarming

Words: 2K+


Lebih dari sebulan Hyunjin mengenal Chris, seorang pria berprofesi tattoo artist yang beberapa minggu lalu mengukir maha karya pada tubuh bagian bawahnya. Sejak saat itu, mereka sering bertukar pesan, berbincang lewat telepon hingga berjam-jam, jalan-jalan, dan beberapa kali tidur bersama.

Hyunjin ingat ketika pertama kali mereka akan berhubungan seks, ketika dia menunjukkan tubuh bagian bawahnya yang polos tak tertutupi sehelai benang pun kepada Chris, pria itu mengatakan, “I drew this. This is my mark. So, you're mine.”

Dan Hyunjin sangat menyukai keposesifan dan dominasi pria itu.

Lamunan Hyunjin terpecah ketika ponselnya berdering. Dia letakkan kuas lukisnya untuk memungut benda kotak pipih itu, untuk mengangkat panggilan dari tattoo artist spesialnya.

“Ya, Chris?”

“Lo sibuk gak malem ini?”

“Gak sih, gue banyak free nya kalo malem. Kenapa?”

“Jalan-jalan mau? Ke beach club. Mumpung malem Sabtu, biasanya rame dan ada ngundang guest star. Ada banyak promo menu juga biasanya.”

Hyunjin pikir itu bukan ide yang buruk. Kebetulan sekali, dirinya suntuk terus mendekam di dalam ruangan penuh papan kanvas sedari tadi pagi.

“Oke, jemput aja nanti. Jam 8? Kemaleman? Kurang malem?”

“Pas, sih. Gue jemput jam 8 ya,”

“Oke.”

Chris mematikan sambungan telepon terlebih dahulu. Hyunjin pun memeriksa jam, saat ini pukul 5 sore. Seharusnya studio seninya tutup jam 6 sore, tetapi dia berpikir untuk menutupnya lebih awal. Dia perlu waktu cukup banyak untuk bersiap-siap dan memilih outfit terbaiknya.


“Bikini? Hm, keliatan norak dan terlalu mencolok gak ya? Takut dipandang aneh kalo pake bikini,” Hyunjin menggumam, tangannya sibuk menyibak koleksi pakaian di dalam lemarinya.

Hyunjin pun mengambil beberapa potong pakaian, lalu dia letakkan di atas ranjang. Ada sebuah crop top, hot pants longgar, dan outer chiffon panjang bercorak tropis.

“Kayaknya gini bagus, deh,” gumamnya, akhirnya merasa puas.

Beberapa menit kemudian, setelah selesai mandi, menata rambut, mengenakan riasan wajah tipis, dan mengenakan pakaiannya, Hyunjin mengenakan aksesoris tambahan untuk mempercantik dirinya. Seperti kalung, gelang, dan cincin. Ia biarkan rambutnya tergerai tanpa aksesoris apa pun untuk menciptakan kesan bebas dan liar.

Tak lama kemudian, Chris datang, menunggunya di depan pintu. Hyunjin segera bersiap dan keluar dari apartemennya untuk menemui Chris.

“Hei,” sapa pria itu, tersenyum lembut.

Hyunjin terkikik. Dia lihat lawan bicaranya mengenakan celana selutut berwarna hitam dengan atasan kemeja pantai lengan pendek berwarna hitam pula, dengan corak tropis.

Tampan. Chris memang selalu terlihat tampan. Dengan tindik yang jumlahnya lebih dari satu di masing-masing telinga, juga tato di sekitar leher dan lengan kekarnya. Hyunjin sangat tergila-gila akan hal itu.

“Cantik banget, sih? Nanti kalo Hyunjin-ku dilirik orang gimana?” Gurau Chris sembari merengkuh pinggang Hyunjin.

“Gak papa, dong. Tandanya mereka mengakui kalo aku cantik.”

Chris tertawa kecil. Dia cubit hidung Hyunjin, “Bener, emang kamu selalu cantik.”

Kali ini Hyunjin ikut tertawa. Dia lilitkan lengannya pada lengan Chris, mengayunkan lengan yang lebih tua. “Ayo berangkat sekarang.”

“Sure.”


Sampailah mereka pada tempat yang dituju. Sebuah beach club terkenal di kota, malam weekend seperti ini pasti akan ramai pengunjung.

Lampu-lampu berwarna-warni, air kolam biru dan hijau yang menyala, serta dentuman musik dari DJ menyambut kedatangan mereka.

“Lo pernah ke beach club?” Chris bertanya, sedikit dia keraskan suaranya karena suara musik cukup keras di sana.

“Kalo beach club belom, kalo ke club aja atau ke beach aja udah sering,” jawab Hyunjin, juga menggunakan suara yang sedikit dikencangkan.

Chris tertawa mendengar tanggapan Hyunjin. Entah kenapa, jawaban itu terdengar menggemaskan di telinganya. “Ya udah, jangan kemana-mana, oke? Stick with me, biar gak ilang.”

Hyunjin menampar pelan lengan Chris. “Lebay.”


Kini Chris dan Hyunjin sedang duduk di sebuah lounge menikmati cocktail dan seafood sebagai santapan, sambil berbincang dan sesekali menikmati penampilan dari guest star yang mengisi acara pada malam hari itu.

“Hyunjin, lo pernah bayangin hal liar gitu gak?” Chris bersuara, kali ini tak perlu meninggikan suara karena tempat mereka saat ini cukup jauh dari panggung hiburan.

Hyunjin menelan udang di dalam mulutnya. “Kayak gimana?”

“Well, I'm talking about sex stuff. Misalnya kayak imajinasi liar, ya, contohnya kayak kamu minta ditato di selangkangan, deket lubang pantat.”

Hyunjin sedikit tersedak. Salahnya sendiri, dia sedang menyesap cocktail ketika Chris bertanya.

“Hahaha, maaf maaf. Hati-hati dong kalo minum, cantikku keselek, kan,” Chris menyodorkan air putih dan tisu kepada Hyunjin yang langsung disambar oleh si cantik itu.

“Lo sih! Topik pertanyaannya ngagetin,” gerutu si cantik, ditanggapi dengan tawa renyah dari Chris.

“Hm, kalo itu sih..., jujur aja sering. Gue suka hal-hal yang out of vanilla,” Hyunjin melanjutkan.

Chris menaikkan alisnya. “Don't like vanilla?”

“Uhum, well, I'm okay tho with vanilla. Cuma lebih suka yang gak biasa, tapi gak terlalu ekstrem juga sampe yang aneh-aneh banget dan bahayain tubuh.”

Chris mengangguk. Ketika dia menoleh ke arah kolam, dia melihat beberapa petak private pool kecil yang muat untuk dua orang. Mungkin memang didesain khusus untuk para pasangan untuk berduaan.

Sebuah ide terlintas di kepala pria itu.

“Hyunjin.”

“Ya?”

“Sini deketan.”

Hyunjin menurut. Dia condongkan badannya ke depan. Chris ikut mencondongkan badannya ke depan, mulutnya berada tepat di sebelah telinga Hyunjin. Dia pun membisikkan sesuatu kepada Hyunjin, membuat pipi si cantik merona kemerahan.


Di sinilah mereka, duduk berduaan di dalam satu petak private pool, dengan Chris yang duduk di belakang Hyunjin. Punggung si cantik menempel pada dada telanjangnya, lengannya melingkar pada pinggang ramping si cantik, sesekali dengan nakal menari-nari di atas kulit mulus milik si cantik.

Outer milik Hyunjin dan kemeja milik Chris telah mereka tanggalkan. Setengah tubuh mereka berada di dalam air kolam yang suhunya diatur hangat.

Ada beberapa pasangan lain yang juga menggunakan private pool itu.

Chris pun mendekatkan wajahnya ke ceruk leher Hyunjin, lalu dia kecup ringan.

“Apa, Chris? Mau apa?” Tangan Hyunjin terulur untuk membelai rahang pria yang memeluknya dari belakang itu.

“Do that.

Ah, benar. Hyunjin ingat tentang kalimat yang dibisikkan Chris beberapa menit yang lalu. Mengajaknya melakukan itu di tempat mereka berada saat ini, sekarang juga. Diam-diam, di tengah keramaian.

“Beneran di sini?”

“Hm? Kenapa? Bukannya menantang? Katanya Hyunjin suka hal yang menantang?” Chris menyusupkan tangannya ke dalam celana Hyunjin, dia raba sesuatu di dalam sana.

Desahan lirih lolos dari mulut Hyunjin. Dia terdiam, membiarkan Chris melakukan apa pun sesuka pria itu. Karena Hyunjin suka, sangat suka, ketika Chris melakukan apa pun yang dia mau tanpa memedulikan sekitarnya.

Selanjutnya Chris turunkan sebelah strap pada crop top tanpa lengan yang Hyunjin kenakan. Perlahan dia kecup pundak Hyunjin, tanpa berniat memberi tanda. Setidaknya belum.

Sebelah tangan pria itu merambat ke atas, meraih tonjolan di dada yang masih tertutupi oleh crop top itu. Pemilik tonjolan mengeluarkan desahan, sedikit dia tahan agar tidak terlalu mengundang perhatian. Namun sang pelaku bertindak semakin gencar, dia pilin tonjolan itu.

Hyunjin menunduk. Pipinya sangat merona, napasnya memburu.

“Banyak orang banget, ya? Gak salah gue milih malem weekend.”

Hyunjin masih terdiam. Kakinya bergerak-gerak gelisah, menendang-nendang dengan pelan genangan air di dalam kolam itu.

“Hyunjin, kalo pengen desah, desah aja. Let it out, baby. Paling orang-orang cuma bakal liatin aja,” bisik Chris.

“Mmhh.. ahh,” seperti kelinci penurut, Hyunjin mengeluarkan desahannya saat itu juga.

Sedangkan Chris tersenyum puas. Keinginannya untuk mengerjai Hyunjin semakin menggebu. Kini tangannya menurunkan celana Hyunjin, menyisakan sebuah pantie berbahan renda yang semi transparan. Chris pijat perlahan selangkangan Hyunjin, tangannya yang bebas menari-nari di sekitar pinggang dan perut bawah si cantik.

“Chris..,” Hyunjin menoleh ke belakang. Raut mukanya terlihat sungguh menggoda di mata Chris.

“Iya sayang?” Jawabnya.

Hyunjin mendesah lagi. Tangannya memegang lengan Chris, namun tak ada sama sekali keinginan untuk menghentikan aksi pria itu.

“G-good... feels so good..”

Lagi-lagi Chris tersenyum puas. “Look, many people are around us. Do you think they're aware of what we're doing right now?”

Hyunjin menggigit bibirnya, bulu kuduknya meremang. Dengan cepat dia gelengkan kepalanya. “I don't know and I don't care.. ahh..”

Chris terkekeh. Hyunjin ini menggemaskan. Ingin beraksi lebih jauh, kini Chris susupkan tangannya ke dalam pantie Hyunjin.

“Ahh!” Hyunjin memekik, yang mana selanjutnya dia langsung menutup mulutnya dengan kedua tangannya.

“Hyunjin, gue rasa ada yang lihat kita. What do you think about it? Fun, isn't it?”

Hyunjin tidak menjawab. Terlalu fokus terhadap rasa nikmat yang diberikan oleh tangan lihai Chris. Kuat-kuat dia tahan desahan kencangnya agar tak keluar ketika dia rasakan tangan Chris menurunkan pantie-nya, mengelus penisnya dan mengocoknya perlahan.

Dan Hyunjin pun tak ingin kalah. Tangannya meraih selangkangan Chris, dia pegang gundukan di dalam celana itu, lalu dia remas-remas dengan gerakan berantakan.

“Kamu gak sabaran.”

Suara Chris terdengar begitu memabukkan. Berat, sedikit serak dan basah, membuat Hyunjin merinding dan kegelian.

“Nghh... gimana aku bisa sabar, kamu godain aku terus,” balas Hyunjin.

Chris tersenyum miring. “Jadi udah terangsang, nih? Terangsang aja apa terangsang banget?”

Bodohnya Chris, seharusnya dari sekali lihat saja dia dapat menyimpulkan bahwa Hyunjin sudah sangat terangsang. Bahkan bisa dibilang, sedikit lagi si cantik itu akan mencapai puncaknya.

Banyak orang di sekitar mereka. Tak jarang pula beberapa dari mereka yang lewat akan menyapa mereka atau sekedar melempar senyum. Yang entah mereka tahu atau tidak kegiatan apa yang Chris dan Hyunjin lakukan di bawah air.

Chris berpikir untuk melakukan hal yang lebih mengasyikkan.

Pria itu menurunkan celananya, membuat batang kerasnya bersentuhan dengan pantat Hyunjin.

“Chris?” Hyunjin menoleh, dia tatap Chris dengan mata membulat. “Kamu bilang tadi cuma hand job?”

“Kalo Hyunjin udah terangsang banget dan Chris juga udah keras banget, kenapa gak seks sekalian?” Chris menjawab dengan enteng.

Bukan, Hyunjin tentu tidak menolak berhubungan seks dengan Chris. Itu adalah salah satu candunya. Tapi di tempat seperti ini, apa pria itu sudah gila?

Tidak, nyatanya mereka berdua sama-sama gila. Pasalnya kini Hyunjin malah membuka lebar-lebar kedua kakinya, memudahkan Chris untuk mengakses pantatnya.

Hyunjin mendesah tertahan. Chris masukkan penisnya ke dalam lubang Hyunjin perlahan. Tak perlu pelumas, karena mereka berdua sedang berada di dalam air.

Penis Chris sudah berada di dalam Hyunjin sepenuhnya. Tanpa berniat untuk bergerak, Chris melambaikan tangannya pada pelayan yang kebetulan berada tak jauh dari sana.

“Mas! Singapore Sling dua!”

“Ish, malah pesen minuman-ahh!” Hyunjin memekik lagi, pasalnya secara tiba-tiba Chris menghentakkan pinggulnya sekali.

“Chris..,” rengeknya.

“Hm? Kenapa, sayang?”

Hyunjin menghela napas. Chris tak kunjung bergerak. Maka dari itu, perlahan dia gerakkan pinggulnya di atas pangkuan Chris. Tak terlalu kencang agar tidak mengundang kecurigaan dari keramaian di sekitar mereka.

Melihatnya, Chris menyeringai. Ternyata Hyunjin memang sudah sangat terangsang dan tidak sabar untuk digempur. Si cantik ini, ternyata liar juga.

Tak lama kemudian, pelayan menghampiri mereka untuk mengantar dua gelas Singapore Sling. Sontak Hyunjin membeku, secara mendadak dia hentikan gerakan pinggulnya.

“Makasih, Mas,” ucap Chris sebelum pelayan itu pergi. Dia pun beralih ke Hyunjin, terkikik.

“Kenapa berhenti? Takut diliatin Mas Mas-nya? Padahal dari tadi kemungkinan juga udah diliat orang-orang,” ujarnya.

Rona merah kembali muncul di pipi Hyunjin. Masa bodoh, kini dia mulai bergerak lagi. Lubangnya sudah tak sabar ingin dikoyak, titiknya di dalam sana sudah menanti untuk ditumbuk.

Chris puas. Sangat puas. Hyunjin yang seperti ini adalah Hyunjin yang paling erotis. Kini tangannya bertengger pada pinggang Hyunjin, dia bantu si cantik untuk bergerak naik turun.

Desahan-desahan tertahan Hyunjin lontarkan. Pun Chris, kini pria itu diam. Fokusnya kini berada di bawah sana, merasakan bagaimana lubang hangat si cantik meremas-remas penisnya dengan brutal.

Ah, Chris suka ini.

“Eh, maaf ya Mas, hampir ketendang minumannya,” seseorang lewat, meminta maaf karena hampir menendang gelas minuman milik Hyunjin yang diletakkan di pinggiran kolam.

Lagi-lagi Hyunjin mematung. Tapi Chris gila, pria itu tak berniat untuk berhenti bergerak. Malah dengan santainya meladeni orang itu dengan kedua tangan yang masih fokus menggerakkan pinggul si cantik naik turun.

Orang itu telah berlalu. Chris terkekeh, dia kecup pundak Hyunjin. “Very fun. I love this stuff.”

“Oh my..”

Hyunjin hanya bisa pasrah. Chris mendorong pinggulnya semakin dalam, kepala penisnya menubruk titik kenikmatan di dalam sana. Hyunjin memejamkan matanya. Mulutnya sedikit terbuka, napasnya tidak teratur.

Chris membuka lubang pantat Hyunjin untuk melebarkan akses keluar masuk penisnya. Ketika keadaan di sekitar mereka cukup sepi, Chris mempercepat tempo gerakannya. Dia tumbuk titik Hyunjin tanpa ampun.

Musik dari DJ di panggung hiburan diputar cukup keras, sebuah kesempatan bagi Hyunjin untuk meloloskan desahan yang telah susah payah dia tahan.

“Fuck.. I'm close-shit.. ahh!” Hyunjin tak bisa menahan lagi. Dia semburkan cairan putih kental dari kepala penisnya.

Sedangkan Chris, pria itu masih bergerak dalam tempo yang sama. Kemudian tak lama dia menyusul. Air mani dalam jumlah cukup banyak dia semburkan ke dalam lubang Hyunjin.

“Ahh... Chris..,” Hyunjin merebahkan punggungnya pada dada Chris. Lantas Chris lingkarkan kedua lengannya pada pinggang Hyunjin.

“Gimana?”

Napas Hyunjin masih berantakan. “Takut. Tapi asyik. No lies, it's fun. Tapi takut. Ah, gak tau, lah!”

Chris tertawa. Dia berikan satu gelas Singapore Sling untuk Hyunjin. “Minum dulu, nahan desahan selama itu pasti bikin haus.”

Hyunjin menyambar gelas itu. “Lo, sih!”

Chris tertawa lagi. Tak pernah bosan Chris berkata, Hyunjin ini menggemaskan.

Kemudian keduanya menghabiskan malam dengan perbincangan ringan, tanpa berniat untuk mengeluarkan penis yang lebih tua dari dalam lubang yang lebih muda.

Bekerja sebagai jurnalis, Bang Chan tak pernah menyangka akan mendapat job mewawancarai teman lamanya yang saat ini bekerja sebagai model majalah dewasa, Hwang Hyunjin.

Yang mana pria yang kerap disapa Chan itu ternyata adalah kolektor majalah yang menampilkan potret-potret 'nakal' Hyunjin di sana.


“Sip, good job, Hyunjin. Mantap banget! Thanks for today, yeah?” Oliver, fotografer berdarah Amerika Serikat itu mengacungkan jempolnya sebelum merapikan seperangkat kamera yang ia gunakan untuk memotret Hyunjin hari ini.

Thanks juga, Oliv!” Hyunjin tersenyum ramah, kemudian dia pungut dan kenakan sebuah jubah satin untuk menutup tubuh polosnya.

Sesuai jadwal hari ini, Hyunjin akan langsung melakukan sesi wawancara dengan media setelah dia menyelesaikan pemotretannya.

“Perlu pake proper clothes atau gini aja?” Hyunjin bertanya kepada manajernya.

“Gini aja, wawancaranya di sini. Langsung aja temui jurnalisnya, dia nunggu di lobi,” manajernya menjawab. Hyunjin mengangguk, lantas segera ia temui jurnalis yang akan mewawancarainya hari ini.


Mata yang dipakaikan softlens biru langit itu sedikit terbelalak, tak menyangka ketika akhirnya ia bertemu sosok jurnalis itu. Seorang teman lama, sebenarnya lebih dari sekedar teman, yang telah bersama-sama selama lebih dari 3 tahun.

“Chan?”

Yang dipanggil memasang senyum hangat.

“Yes, it's me. Ketemu lagi, ya? Haha,” ucapnya.

Hyunjin pun duduk pada sofa di hadapan Chan. Sebuah set kamera, set lighting, set mikrofon, sebuah buku catatan dan bolpoin telah siap. Ternyata sembari menunggu sesi pemotretannya selesai, Chan bersama krunya telah menyelesaikan segala persiapan yang diperlukan. Untung menyingkat waktu, katanya.

“Iya, udah lama banget. Gimana kabar?” Hyunjin berbasa-basi.

“Baik. Banget. Currently I'm living my best life,” jawab lawan bicaranya.

Hyunjin mengangguk.

“Kalo kamu, udah pasti baik juga lah ya,” sambung Chan, disertai kekehan kecil setelah pria itu menyelesaikan kalimatnya.

“Hahaha, baik udah pasti. Cuma ya, masih ada aja orang yang nyinyir tentang pekerjaanku. Tapi aku bodo amat aja lah, yang lakuin aku, yang dapet uang aku. Not them,” Hyunjin menjawab.

Chan mengangguk, masih terkekeh. Sebagai bentuk setuju atas ucapan Hyunjin.

“Well, mau langsung dimulai aja?” Ucapnya kemudian.

“Boleh.”

Dengan begitu, mereka melakukan sedikit briefing dan persiapan lain sebelum memulai recording.


Tentang hal yang Hyunjin suka tentang Chan, pria itu sangat tenang dan terbuka. Dia selalu terbuka menerima orang-orang di sekitarnya, tak peduli dengan what and how kind of people they are. Menurut Chan, semua hal layak di apresiasi. Entah sekecil apa pun.

Hyunjin mengencangkan tali jubahnya sebelum menyamankan diri pada tempat duduknya. Sebuah mikrofon telah terpasang pada jubahnya.

“Udah siap?” Chan bersuara, diikuti anggukan dari Hyunjin.

“Kamera, cue!”

.

Q: Jadi model majalah dewasa adalah salah satu pekerjaan yang cukup 'risky'. Kenapa kamu milih pekerjaan ini?

“Ada beberapa alasan, sih. Pertama, itu karena I love being photographed. Ada kesenangan tersendiri ketika orang lain bisa nikmatin keindahan dari fotografi yang mana di situ adalah aku yang jadi modelnya. Kedua, for me, nude is art. Jadi, gak perlu dijelasin lebih panjang lagi. Hahaha.”

Chan mencatat inti dari ucapan Hyunjin, diselingi dengan sedikit gurauan untuk menanggapi jawaban Hyunjin, juga agar suasana menjadi santai.

Q: Kalo bisa diungkapin, what kind of feeling or thought you have when you see your nude picture are all over the magazine?

“Hm, rasanya kayak, gak tau ya, seneng aja. Ada rasa bangga juga. Rasanya kayak aku berhasil tunjukin keindahanku ke orang lain and the fact that people like it, they love it, they enjoy it, buat aku mikir kalo aku diterima dan diakui oleh orang-orang.”

Chan memperhatikan Hyunjin dengan seksama. Sesekali tangannya sibuk menuliskan deretan kalimat pada buku catatannya.

“So it's like, you feel accepted? They acknowledged your beauty?”

Hyunjin mengangguk, sebuah senyum menawan yang merupakan salah satu daya tarik utamanya terukir pada bibir seksinya. “Exactly.”

“Bener. Apa yang kamu rasain emang bener, Hyunjin. Penikmat foto-fotomu emang udah pasti mengakui keindahan kamu,” ucap Chan, membuat Hyunjin terkikik malu.

Ucapan Chan baru saja sedikit keluar dari script sebenarnya, tapi para kru Chan membiarkan saja untuk menciptakan suasana yang luwes dan terkesan tidak dibuat-buat.

Q: Sejauh ini, tanggapan orang-orang terdekatmu tentang pekerjaanmu?

Hyunjin diam sejenak. Mata Chan masih setia terpaku pada Hyunjin, memperhatikan kecantikan model yang sedang duduk di sebelahnya itu.

“Keluargaku, awalnya nggak setuju. Tapi aku tetep nekat lanjut, so they have no choice but to accept my job. Saat ini walaupun mereka nggak bisa dibilang suportif, tapi seenggaknya mereka udah nerima aku dan pekerjaanku, so it's all good. Temen-temenku, well, ada yang kaget awalnya, ada yang biasa aja, ada juga yang mandang aku aneh, ada juga yang suportif. Lebih ke beragam sih tanggapan mereka.”

Chan tersenyum. Dia tatap Hyunjin dengan penuh arti. Namun kemudian dia segera membalik lembar buku catatannya untuk melontarkan pertanyaan lain kepada Hyunjin.

Q: Hal yang kamu rasain pas lagi difoto dalam keadaan telanjang?

Hyunjin menatap Chan, dia lihat pria itu memasang senyuman yang..., sedikit nakal?

“Awalnya canggung. Karena itu hal baru buat aku, menantang juga. Tapi lama-lama aku mulai enjoy. I love the feeling, the sensation. Kalo diungkapin, seakan kayak ada kejutan-kejutan listrik di tulang punggung. Dan saat difoto, itu adalah saat aku merasa paling indah. Satisfying. Juga kadang aku terlalu menghayati, jadi selesai sesi pemotretan aku harus ritual biar bisa 'tidur', hahahaha.”

Keduanya tertawa. Tentu saja, sebagai dua orang dewasa, mereka sangat paham tentang kiasan-kiasan seperti yang dilontarkan Hyunjin.

“Sangat Too Much Information, ya, hahahaha,” Chan menanggapi, diikuti tawa renyah dari Hyunjin.

“Oke, next,” Chan membalik lagi lembaran buku catatannya.

Q: Ada nggak cerita behind the scene sewaktu pemotretan telanjang?

Hyunjin menatap Chan lekat-lekat. Memperhatikan ketampanan dan daya pikat pria itu yang sedari dulu tak pernah berubah. Yang tak pernah gagal membuatnya luluh terpesona.

“Semacam cerita tentang kejadian yang lucu, atau mengesankan, atau mendebarkan, apa pun, deh.”

Hyunjin tersenyum simpul. “Well...”

“Pernah waktu itu, aku ada pemotretan yang harus pose lumayan vulgar. Kayak, buka kaki cukup lebar, nungging, selama pemotretan itu aku lihat fotografernya agak 'tegang' gitu, hahahaha,” pipi Hyunjin memerah.

Tapi berbeda dengan Chan, senyum pria itu yang sedari tadi terpasang justru perlahan luntur.

“Terus waktu dia arahin aku harus pose kayak apa itu nggak jarang dia sentuh-sentuh badan aku juga. Tapi aku nggak masalah, I mean, don't blame the photographer karena akunya nggak masalah,” Hyunjin melanjutkan.

Chan menatap Hyunjin begitu lekat. Mendadak terdapat tension yang kental di sana. Bahkan salah satu kru sempat berbisik, “Chan, chill out.”

“So, you like it?”

Hyunjin membalas tatapan Chan. Sedikit meremang karena melihat tatapan itu berubah. Dari yang awalnya lembut, menjadi menusuk.

“It's not that I like it, it's just I don't mind it.”

Chan mengangguk. “Oke, pertanyaan terakhir. Sekaligus sebagai penutup. Kita bisa skip yang ini kalo kamu keberatan buat jawab. Nanti bakal dicut sama tim editor.”

Q: Do you mind it if you get laid by the photographer or anyone works with you after the photo sesion ends?

Kedua manusia dewasa itu bertatap-tatapan. Untuk sejenak, suasana hening. Atmosfer santai dan hangat yang terbangun sejak awal kini menguap begitu saja.

“I don't mind it.”

Chan tersenyum. “Oke, karena pertanyaan terakhir udah dijawab, sesi QnA hari ini selesai. Makasih banyak buat Hyunjin, juga buat para kru, good job everyone!


“Hyunjin.”

Hyunjin menghentikan langkahnya. Di belakangnya, Chan berdiri. Ternyata pria itu belum pergi dari studio pemotretan Hyunjin hari ini itu.

“Ya?”

“How about me?”

Hyunjin berbalik. Dia tatap Chan dengan alis mengerut. “Maksudnya?”

“Kamu bilang tadi, kamu nggak masalah if you get laid by the photographer. Then how about me? Do you mind it or not?

Ujung bibir Hyunjin terangkat untuk membentuk sebuah senyuman. Senyuman nakal, menggoda.

“Hotel XX, kamar 617. I'm free tonight.


“Ahh...”

Chan tidak pernah berubah. Cara pria itu bermain, cara pria itu memperlakukannya, semua masih tetap sama. Dan Hyunjin suka itu.

Jika ada hal yang berubah, itu hanya kini pria itu lebih 'tanpa ampun'.

“Chan, udah ah..”

Chan tidak berhenti. Dengan tempo yang dia ubah sesuka hatinya, jari-jarinya masih bergerilya di permukaan lubang milik Hyunjin. Sang pemilik lubang tengkurap beralaskan paha yang dominan, dengan pinggul sedikit terangkat.

“Kamu tuh cemburu apa gimana? Karena aku bolehin fotografer buat main sama aku-hahh shh..”

Chan tidak menjawab.

“Nghh.. jawab dong..”

Chan berdiri. Dia biarkan Hyunjin tengkurap di ranjang, sedangkan dirinya berjongkok dengan muka menghadap lubang pantat yang submisif.

“Ahh!”

Hyunjin mendongak, memekik. Secara tiba-tiba Chan menjilat permukaan lubangnya. Lalu dengan sesuka hatinya memainkan lidah itu di sana. Tak memedulikan Hyunjin yang bergetar kegelian, desperate.

Dengan jahilnya, Chan masukkan lidahnya ke dalam lubang Hyunjin, lalu dia tarik keluar. Begitu terus hingga yang diperlakukan seperti itu hampir menangis karena terus-terusan dijahili.

Namun Chan memiliki rencana lain. Dia pun berdiri. Celana yang masih dia kenakan pun diturunkan. Batang tegak mengacung dengan ujung basah karena cairan precum.

“Iya, aku cemburu dikit,” ucapnya.

“Tapi kita gak punya hubungan apa-apa sekarang.”

Chan tersenyum miring. Dia basahi penisnya dengan ludahnya sendiri, dia kocok perlahan. Setelah itu, ujung penisnya dia gesek dan tekan pada pintu lubang Hyunjin.

Hyunjin menggigit bibirnya.

“Kalo aku 'masuk' ke kamu, like this,” Chan mendorong pinggulnya pelan, membiarkan penisnya perlahan masuk ke dalam lubang milik Hyunjin.

“Aaahhh..”

Chan dorong pinggulnya agar penisnya masuk semakin dalam. Mendengar desahan Hyunjin, Chan cabut penisnya. Desahan gelisah bercampur kecewa keluar dari mulut Hyunjin.

“Apa kita tetep gak ada hubungan apa-apa? Yakin kamu gak akan minta lebih dari sekedar 'gak ada hubungan apa-apa'?”

Hyunjin tak menjawab. Napasnya terengah-engah, sibuk merengek agar Chan masukkan kembali batang keras itu hingga sesak memenuhi lubangnya.

Hyunjin suka itu. Hyunjin suka sensasi penuh di dalam lubangnya, ketika penis Chan memenuhi seluruh ruang di dalam sana tanpa sisa.

“Aku gak mau masukin lagi kalo kamu gak jawab aku.”

“Nghh.. aku.. make me yours.. Chan, make me all yours..

“Kita perjelas. What kind of relationship are we, then? Just fuck buddies? I don't like that.

Hyunjin pun membalikkan badannya. Dia beranjak, duduk di ranjang. Tangannya menarik tengkuk Chan, bibir pria itu dia raup.

“I love you. Ayo pacaran.”

Mendengar bagaimana Hyunjin mengucapkan itu dengan suara parau, serak basah, Chan tak mampu menahan senyumnya. Lantas dia balas ciuman Hyunjin, dengan lembut dia kulum bibir manis yang selalu jadi candunya itu.

“I love you too. Dari dulu, emang seharusnya kita tetep bersama. Well, mulai malam ini, kita pacaran.”

Hyunjin ikut tersenyum, senang. Kemudian dia baringkan badannya sembari menarik lengan Chan agar menindihnya.

“Tiduri aku.”

Chan menerima perintah itu, tentu saja dengan senang hati. Kedua kaki Hyunjin dia buka lebar. Dia posisikan penisnya pada lubang Hyunjin, lalu dia masukkan secara perlahan dan pasti.

Desahan keluar dari mulut Hyunjin, membuat Chan semakin bersemangat. Kali ini dia gerakkan pinggulnya dengan tempo konstan, tak lagi main-main seperti sebelumnya.

Hyunjin mendekapnya begitu erat, seakan tak mau dirinya berhenti. Kaki yang melingkar indah di sekitar pinggulnya seakan memintanya untuk memberi lagi dan lagi.

Dan Chan sama sekali tak keberatan. Dengan senang hati, dia tingkatkan kecepatannya. Dia cari-cari titik surgawi sang submisif.

“Aaahh! Yes there-ahh..

Tentu saja Chan sudah hafal letak titik itu.

Maka dengan tanpa ampun, dia tumbuk titik itu berkali-kali. Dinding Hyunjin di dalam sana meremasnya brutal, membuatnya semakin dekat dengan puncak.

Begitu pula dengan Hyunjin. Tak tahan dengan titik paling nikmatnya ditumbuk tanpa henti.

“Chan- ahh!”

“Ahh..”

Keduanya mencapai puncak secara bersamaan. Senyum penuh kebahagiaan dan kepuasan, hembusan napas hangat yang beradu, peluh yang telah menyatu, hal itu yang menjadi kesukaan mereka.

“Chan,” tangan Hyunjin meraih dada bidang yang dominan, dia belai dengan sentuhan menggoda. “Belum puas..”

Sepertinya malam ini akan menjadi malam yang panjang bagi Chan dan Hyunjin.

No Pantie! (Part 2)

”...gue tebak...”

“10 cm?”

Chan terlihat menopang dagunya sambil pura-pura berpikir.

“Nope,” seringaian muncul di bibirnya. “So let's play here. Nggak ada penolakan.”

Dalam hati pria itu tertawa. Sudah pasti Hyunjin tahu kalau ukuran 'miliknya' tentu tak sekecil itu. Maka dari itu Chan menyimpulkan, Hyunjin sengaja asal menebak agar jawabannya salah.

“So naughty,” bisiknya sembari membalikkan badan Hyunjin agar memunggunginya.

Hyunjin memekik karena pergerakan tiba-tiba dari Chan. “Aakh! Apa, sih?! Kan gue cuma nebak? Bagian mananya yang nakal, huh?!”

Chan tidak peduli. Kini bibirnya menelusuri kulit halus leher dan pundak Hyunjin, meninggalkan jejak kemerahan yang basah.

Perlakuan Chan membuat seluruh badannya menegang, namun pada saat yang bersamaan, kakinya terasa sangat lemas. Hyunjin tidak pernah menyangka sebelumnya kalau dirinya akan dicumbu oleh teman dekat kakaknya yang hampir setiap hari mampir ke rumahnya itu.

“Nghh, Kak.. ahh, lo- ahh, lo suka sama gue, ya?”

“Hm?”

“Jangan ihhh.. nanti diliat orang- ungh!”

“Jangan, jangan, tapi lo sengaja asal nebak biar jawabannya salah. Biar kita bisa main di sini.”

Suara berat dan basah dari Chan membuat seluruh badan Hyunjin serasa tersengat oleh aliran listrik.

Dan, ya. Memang benar. Hyunjin sengaja asal menebak. Melakukan kegiatan seksual di tempat umum dan terbuka adalah salah satu fantasi terbesar Hyunjin. Ketika kesempatan besar datang, bagaimana mungkin dia sia-siakan?

Kini tangan Chan menelusup masuk ke dalam dress Hyunjin. Dia singkap sedikit dress itu, mengekspos pantat dan selangkangan Hyunjin. Chan mendorong tubuh Hyunjin ke depan dengan tubuhnya sendiri, membuat penis mungil milik Hyunjin bersentuhan dengan pagar besi yang dingin.

“Ahhhh..”

“You playing hard to get when actually you want me so much.”

“Nghh..”

“Padahal juga belom gue sentuh. Udah desah-desah gitu. Apa yang lo pikirin? Hwang Hyunjin? Tell me. What are you fantasizing about me?

“Kakak- ahhh.. you're so hot that- unghh.. gue- gue nggak bisa buat nggak-”

Pada saat itu juga, Chan menyentuh lubang anal Hyunjin dengan ibu jarinya. Dia putar-putar ibu jarinya perlahan dia atas permukaan yang empuk dan hangat itu.

”-aahh!”

“Nggak apa?”

Kini jari tengah dan telunjuk Chan yang bermain-main di permukaan lubang Hyunjin.

“Hahhh.. nggak- umhh.. nggak bisa buat nggak mikirin kakaaaahhh!”

“So loud,” Chan menyeringai. Hyunjin memekik, pasalnya kini kedua jarinya itu dia dorong masuk ke dalam lubang milik Hyunjin.

“Bahkan gini aja, nggak usah pake pelumas, lubang lo udah licin. Kok bisa gini, sih? Jangan-jangan lo udah prepare, lo balurin lube ke dalam lubang lo sebelom berangkat ke sini?”

“Nghh..,” Hyunjin menggigit bibirnya. Dia menggeleng lemah, merasa tak berdaya karena permainan Chan. Hanya permainan sederhana, namun karena itu Chan yang melakukannya, permainan sederhana itu berubah berkali-kali lipat lebih nikmat.

“Jawab gue, Hyunjin.”

“Nooo..,” rintih Hyunjin pelan.

“Jadi?” Chan menggerakkan jarinya perlahan, mendorongnya semakin dalam.

“Nghh! Lubang gue- ahh.. emang selalu basah.. mmhh,” kemudian Hyunjin berbalik badan. Dia raih kerah baju Chan, lalu dia tarik. Dia raup bibir pria itu.

Baiklah, Chan akan mengikuti permainan Hyunjin. Dia ingin tahu sejauh mana, seliar apa seorang Hwang Hyunjin.

Chan membiarkan Hyunjin menjamah bibirnya. Yang lebih muda meremas rambut yang lebih tua, dengan tangan yang lain bermain-main dengan kancing kemeja yang lebih tua.

“You like playing slow?” Bisik Chan dalam ciuman keduanya.

Hyunjin melepas kontak bibir keduanya. Tangannya meraba-raba dada dan perut Chan yang begitu atletis dengan sentuhan sensual.

“Humhh, apa aja. Asal gue enak, gue mau main kayak apa aja.”

“Is that so?”

Hyunjin mengangguk. Dia membuka satu persatu kancing kemeja Chan, lalu menyibak kain berwarna merah itu. Tangannya menyusuri perut berotot Chan, dia bawa turun ke batang keras yang masih terbalut kain itu.

“Hmm, gue agak kurang suka doggy, jadi,”

Hyunjin merosot. Dia duduk di lantai dengan punggung bersandar pada pagar. Dia buka kakinya lebar-lebar.

“Sini, Kakak,” dia tatap Chan dengan tatapan sayu.

Chan berlutut di antara dua kaki Hyunjin yang terbuka lebar. Pria itu mengeluarkan penisnya, dia urut dan kocok sambil sebelah tangannya membaluri lubang Hyunjin dengan salivanya.

“Gede banget aahh..”

Chan tersenyum bangga. “22 cm.”

Hyunjin mengangguk. “Mmhh.. masukin~”

“Uhum?” Chan menggesekkan penisnya pada lubang Hyunjin yang sudah berkedut. “Lo yakin bisa tahan ini?”

“Ahh! Gue suka yang gede~ nghh! Makanya gue kalo beli dildo selalu yang ukurannya gede~”

“Nakal banget.”

Dengan begitu Chan memasukkan perlahan penisnya ke dalam lubang Hyunjin. Dia dorong pinggulnya pelan-pelan, tak ingin membuat yang lebih muda kesakitan.

“Aaaahh! Sialan! Ih! Kak Chaaan~ ahhh~ kok enak banget, sihhh~ aahh~”

Chan tersenyum miring. Kelihatannya Hyunjin sama sekali tidak merasa kesakitan. Dia jadi penasaran, sudah berapa banyak penis yang memasuki lubang anak itu.

“Udah pernah diewe berapa kali, hm?”

“Ahh.. ahh.. emang penting buat Kak Chan tau? Just- hmhhh fuck me 'til you're satisfied, Kakak sayang~”

“Sial. Adeknya Minho sebinal ini ternyata. Nggak ada malu-malunya diewe temen kakaknya sendiri,” Chan mempercepat gerakan pinggulnya.

“Aaahh! Ahh! Ahh! Umhh, biarin ajaaa ahh~” Hyunjin meremas-remas kuat rabut Chan.

Ekspresi, desahan, dan gerakan badan Hyunjin begitu menggairahkan. Chan tahu betul Hyunjin memang seksi, tetapi dia tidak pernah mengira adik temannya akan seseksi ini ketika disetubuhi. Gairahnya terpacu semakin tinggi setiap Hyunjin mendesah dan memekikkan namanya.

“Kak aahh! Kak Chaan~ lagiihh~ ahh! Mau lagihh!”

Tak ada pilihan lain bagi Chan selain bergerak semakin liar. Dia dorong pinggulnya, membiarkan penisnya mengoyak lubang lembap Hyunjin hingga lelaki cantik itu terus-terusan mendesah tak karuan.

Terkadang Chan akan bermain-main. Dia cabut seluruh penisnya keluar, membuat Hyunjin mendesah kecewa. Namun setelah itu dia masukkan lagi seluruh penisnya dengan sekali hentakan. Hal itu membuat Hyunjin benar-benar menggila.

Hyunjin tak lagi peduli dengan sekitarnya. Persetan. Sangat persetan. Dia merasa terlalu nikmat. Tak ada lagi celah bagi hal lain untuk memasuki pikirannya. Hanya Chan, Chan, dan Chan. Serta bagaimana pria itu menggarapnya seakan tak ada hari esok.

Keduanya sungguh tidak peduli lagi dengan sekitar mereka.

“Aahh! Iya- iya aah! Di situ ahh.. di situ, Kakak, jangan berhenti aahh! Unghh!”

Rancauan Hyunjin memberikan sinyal bagi Chan untuk terus menumbuk titik itu. Pinggul yang lebih muda dia cengkeram erat, pundak yang lebih muda dia gigit.

Pria itu menggeram rendah, bersamaan dengan desahan dan pekikan tiada henti dari yang lebih muda.

“Kak Chaan~ ahh! Keluar- ahh! Mau keluar!”

“Nghh.. bareng-bareng, sayang,”

“Ahh! Hiks- aahh! Enak banget hiks- aaaahh~ Kakak keluarin di dalem yaaahh? Mau rasain peju Kakak~”

Dengan begitu Chan mengeluarkan spermanya yang melimpah itu di dalam lubang hangat Hyunjin. Pada waktu bersamaan, Hyunjin juga menumpahkan spermanya, mengotori perut Chan dan perutnya sendiri.

“Ahhh...”

Hyunjin terkulai tak berdaya. Penampilannya berantakan, namun itulah yang membuatnya terlihat semakin menggoda.

Chan mencabut penisnya. Sisa sperma menetes dari lubang Hyunjin, karena lubang itu tak mampu menampung keseluruhan volume sperma yang Chan tembakkan.

“Kakak..”

“Hm?”

“Makasih..”

“Buat apa?”

“Udah buat fantasi gue jadi kenyataan,” Hyunjin tersenyum.

Menderngarnya, Chan ikut tersenyum. Tangannya terulur untuk mengusak rambut adik temannya itu.

“Kalo emang pengen gini, kenapa nggak bilang dari dulu? Kan kita bisa main di kamar lo, atau gue ajak ke rumah gue,” ujarnya kemudian.

Hyunjin menggeleng. “Takut ketauan abang.”

Chan terkekeh. “Gue yakin abang lo nggak akan kaget kalo lo suka main sama cowok. Apalagi sama gue.”

“Kok gitu?”

Chan mengendikan bahunya. “Ya dia orangnya sama aja, soalnya. Suka main. Dia juga sadar kalo lo, well, a bit naughty- no, very very naughty.

Hyunjin tertawa malu-malu. “Kak Chan tau kenapa gue nggak suka pake celana dalem?”

“Kenapa?”

“Hmm, selain ribet, gerah, um, Hyunjin mau godain Kak Chan. Tapi kayaknya lo nggak sadar, jadi ya, lama-lama jadi kebiasaan. Suka aja gitu liat ekspresi orang waktu kaget liat gue. Hihi.”

“Tuh kan, nakal.”

“Emang, wleee,”

“Ya udah. Mau sampe kapan ngangkang gitu? Lo nggak berpikir mau ronde 2 kan?”

Tiba-tiba mata sayu Hyunjin berubah menjadi mata yang berbinar-binar, layaknya kucing yang sedang menunggu diberi makan.

“Mau~”

Chan tertawa tidak percaya. “Kalo di sini lagi nanti masuk angin, Hyunjin. Ke rumah gue aja, gimana?”

“Di mana aja boleh asal sama Kak Chan~”

.

.

.

  • END.

No Pantie!

Hwang Hyunjin suka melakukan cross dressing. Dan di atas itu semua, Hwang Hyunjin tidak suka memakai celana dalam.


“Hyunjin ke kampus nggak pake celana dalem lagi, ya?”

Minho menghela napas. Pertanyaan dari Chan, rekan satu organisasinya itu membuatnya memijit pangkal hidung. Dia sudah lelah akan kebiasaan buruk adik tirinya itu.

“Ya...., gitu. Mau dibilangin sampe benua Asia dan Amerika menyatu pun gak bakal didengerin,” jawab Minho pasrah.

“Emang kenapa, sih? I mean it's not a bad thing. Nggak akan rugiin siapa-siapa juga,” Chan memberi tanggapan.

Minho menoleh ke arah Chan, sedikit meliriknya sinis. “Ya emang nggak akan rugiin siapa-siapa. Tapi bahaya buat dia, Chan. Kalo ada yang cabulin gimana? Mana anaknya juga, ya, gitu lah. Lo tau sendiri.”

“Apa? Nakal?” Chan melirik Minho sekilas.

Minho menghela napas lagi. Sebuah kotak rokok dan pemantik api dia ambil dari dalam saku celananya.

“Bagi.”

Minho menurut, dia beri sebuah batang rokok kepada Chan, kemudian dia letakkan satu batang lagi di antara bibirnya sendiri. Dia menyalakan batang rokok miliknya dan milik Chan.

Kepulan asap menguar dari dalam mulut Minho ketika pria yang kini telah menginjak semester 7 itu menghembuskan napas.

“Ya, gitu. Bukan nakal suka godain orang, sih. I can say he's a bit bitchy.

Chan terkekeh. Dia ingat betul ketika suatu malam dirinya iseng menonton live streaming Hyunjin ketika anak itu bermain video game. Ketika kalah, bukannya berteriak frustrasi, malah memekik dan mendesah seakan sedang digempur oleh penis besar.

“Setuju. Dia bukan suka godain orang terang-terangan. Tapi diem-diem bikin orang tergoda. Itu hal yang beda, kan,” Chan menimpali.

“Gue harus apa lagi dong, Chan? Jujur gue nggak tegaan orangnya. Jadi gue paling nggak bisa marahin Hyunjin, agak keras ke dia, gue beneran nggak bisa.”

Chan diam sejenak. Matanya menelisik koridor gedung Fakultas Seni, gedung tempat biasa Hyunjin menghabiskan waktunya selama kuliah.

Lelaki itu baru berumur 20 tahun, tepatnya menginjak semester 3. Setiap pergi ke kampus, dia akan memakai kemeja kebesaran yang berwarna terang dan berbahan tipis. Setiap waktu istirahat atau ketika menunggu jadwal kelas, dirinya akan membuka 2 hingga 3 kancing kemejanya dengan alasan cuaca panas.

Tak hanya itu, dia akan memakai celana bahan cukup ketat dengan warna terang pula, yang mana akan mencetak belahan pantatnya.

“Biarin aja kalo kata gue. Mungkin emang itu cara dia berpakaian. Dia bukan anak kecil lagi, jadi nggak selayaknya terus-terusan diatur,” Chan berujar.

Benar juga. Setelah dipikir-pikir, perkataan Chan ada benarnya juga.

“Lagi pula kalo Hyunjin berpakaian kayak gitu, bukan salah dia. He just dresses up as he pleases. Kalo misalnya dia dicabuli, gue bisa bilang itu sama sekali bukan salah dia. Dia punya hak buat berpakaian gimana pun sesuka dia. Yang bermasalah adalah orang yang punya niatan buat ngecabulin dia,” Chan menambahkan.

Minho setuju. Pria itu mengangguk pelan.

“Lo nge-aslab sampe kapan?”

“Hmm, nunggu sampe wisuda. Tapi kayaknya habis wisuda gue masih mau nge-aslab terus sampe gue dapet kerjaan mapan. Pengabdian kepada kampus lah ya istilahnya, hahahaha.”

Minho menyesap rokoknya. “Hahh, enak banget skripsi lo udah beres, semua udah beres, tinggal wisuda. Gue, masih stuck di bab 3.”

“Makanya, duit juga harus main, dong. Jaman sekarang kalo nggak pake duit bakal susah, bray!”

Minho tertawa. “Lo tuh, ya.”


“Abaaaaaaaaaaang!”

Teriakan dari Hyunjin membuat Minho yang saat itu sedang membelai adik kecilnya tersentak kaget. Pintu kamarnya lupa dia kunci, yang mana Hyunjin bisa saja masuk ke kamarnya kapan saja anak itu mau.

Minho cepat-cepat memasukkan penisnya yang masih tegang ke dalam celananya, takut-takut kalau kepergok Hyunjin.

“Abaaaaaaang!! Dimana, sih?????!!!!!”

Minho berdecak kesal. Dengan malas dia berjalan ke arah pintu.

“Di kamar, dek!!!!!!!! Kenapa????!!!!!”

“Gue mau keluar dulu, ya!!!!!!! Jangan dicariin!!!!! Jangan ditelfon!!!!!!”

“Mau kemana????!!!!!”

“Clubbing!!!!!!!”

Minho menghela napas. Benar, malam ini adalah malam Sabtu. Saat di mana bar dan club banyak beroperasi.

Dan satu hal yang Minho yakini, adik tirinya itu pasti saat ini tengah mengenakan mini dress dan yang paling penting adalah, tidak memakai celana dalam lagi.

“Ya udah, hati-hati!!!!!!! Jaga diri loh, ya!!!!!” Tak ada pilihan lain selain mengizinkan adik tirinya itu melakukan hal sesukanya.


Dress favorit Hyunjin adalah mini strap dress berwarna dusty. Dia suka dress yang bisa mencetak lekuk tubuhnya dengan apik. Dengan mengenakan pakaian semacam itu, tingkat kepercayaan diri Hyunjin akan naik berkali-kali lipat.


Hyunjin memiliki banyak relasi di dunia clubbing seperti ini. Entah bagaimana caranya. Mungkin karena dirinya sering berkunjung ke club yang sama, ditambah dengan pribadinya yang suka berbaur.

Musik dari DJ menggema ke seluruh ruangan. Tanpa memikirkan hari esok, sebagian besar pengunjung club menari dan minum sepuas hati mereka. Tak sedikit pula yang berduaan, melakukan gerakan-gerakan dan tarian nakal.

Tak lain Hyunjin dan kawan-kawan satu frekuensinya, sambil tertawa lepas mereka menari-nari 'kotor' sembari menyentuh tubuh satu sama lain.

“Haaahh anjing!!!! Gue sange, mau kontol gede!”

Seruan salah satu dari mereka membuat Hyunjin dan kawan-kawannya yang lain tertawa semakin kencang.

“Kalian bayangin deh, kita lagi asik gini tiba-tiba ada kontol gede yang nyodok kita dari belakang. Mumpung kita-kita lagi ga pake celana dalem, nih! Hahahahahahaha!”

Hah, dasar mulut orang mabuk.

Lautan manusia, bau alkohol dan asap rokok yang memenuhi ruangan tertutup itu membuat atmosfer menjadi sesak. Hyunjin yang sudah merasa pengap pun berpamitan untuk pergi ke balkon.

Langkah kaki jenjangnya membawa dirinya menjauh dari hiruk pikuk di dalam ruangan club. Musik yang memekakkan telinga itu kini tak lagi terdengar setelah dirinya berada di balkon.

Sebuah rokok dan pemantik api dia keluarkan. Lelaki muda itu menyalakan sebatang rokok dan menghisapnya sembari menikmati pemandangan kota malam hari dari pagar balkon itu.

“Adeknya Minho bukan main ternyata.”

Ada suara bariton menginterupsinya. Sembari sedikit memicingkan mata, Hyunjin menoleh ke arah sumber suara.

“Hm? Lo siapa?”

Pria itu mendekat. Terdengar tawa kecil mengalun dari bibir pria itu.

“Mabuk?”

“Oooooh! Kak Chan. Kebetulan banget, sih? Bisa ketemu di sini.”

“Ya lo pikir aja, Hyunjin. Ini malam Sabtu. Who doesn't go to club? Terlebih club ini paling terkenal di sini,” Chan, pria itu, kini berdiri tak jauh dari Hyunjin.

“Hm. Iya juga,” Hyunjin bergumam.

Hyunjin berbalik. Lelaki itu menyandarkan lengannya pada pagar balkon, membelakangi Chan yang sedang berdiri di belakangnya. Sedangkan Chan, mata pria itu menyusuri lekukan punggung Hyunjin hingga ke bongkahan pantat yang tercetak di balik mini strap dress satin berwarna beige itu.

'Masih nggak pake celana dalem, ya,'

Kemudian Chan meletakkan kedua lengannya masing-masing di sebelah kanan dan kiri pinggang Hyunjin hingga posisi badan Hyunjin saat ini berada di antara dua lengan kekar Chan.

“Ih, ngapain sih, Kak, tangannya,”

“Kenapa emangnya? Nggak boleh, ya?”

“Bukan gitu,”

“Terus?”

Hyunjin diam saja. Mukanya memerah sekarang. Kakinya sedikit bergerak-gerak gelisah. Jujur saja, sebenarnya Hyunjin telah menaruh ketertarikan kepada teman dekat kakak tirinya itu. Hanya saja Hyunjin tidak mau memberi tahu siapa-siapa.

Dan bohong jika Chan tidak mengerti arti dari gerakan kaki Hyunjin.

Chan sedikit mencondongkan badannya ke depan, membuat wajahnya mendekat ke perpotongan pundak dan leher Hyunjin.

“One puff,”

Hyunjin memberikan batang rokoknya pada Chan, mempersilahkan yang lebih tua menyesap batang itu satu kali. Hembusan napas dari yang lebih tua menyapa lehernya, membuat dirinya bergidik.

“Kuliah gimana?” Chan berbasa-basi.

“Ya gitu. Capek, banyak tugas.”

Chan tertawa kecil. “Kalo aja kita satu jurusan, udah gue bantuin lo ngerjain tugas.”

Hyunjin semakin merinding ketika pantatnya menubruk selangkangan Chan. Dia dapat merasakan kain celana Chan menggesek kulit pantatnya.

“Emh, jangan sentuh-sentuh,” ujar Hyunjin lirih.

“Apa?”

“Munduran dikit ih, itu lo nyentuh pantat gue,” kali ini Hyunjin berujar lebih keras.

Chan tersenyum nakal. “Itu? Itu apa?”

“Hih, ya itu, itu!”

“Hahaha, sejak kapan Hwang Hyunjin jadi malu-malu gini. Biasanya juga kemana-mana nggak pake celana biasa aja. Di depan gue kenapa malu-malu, eh?”

“Nggak malu-malu, tau,” protes yang lebih muda.

“Hyunjin.”

“Hm?”

“Gede nggak rasanya?”

“Apa, sih? Apanya?”

“Punya gue.”

Pipi Hyunjin memanas. Namun dia sama sekali tidak punya niatan untuk menarik pinggulnya agar lepas kontak dari selangkangan Chan. Malah-malah, dia semakin menekan pantatnya agar semakin bisa merasakan batang keras dari balik celana itu.

“Hmm, paling juga kecil. Kalo lagi ngaceng palingan juga cuma 15 cm.”

Chan mengelus pinggang ramping Hyunjin. “Hm? Yakin?”

“Ya kan gue cuma nebak.”

“Gimana kalo kita buktiin langsung?”

Seketika bulu kuduk Hyunjin meremang. Dia tahu, Chan pasti sedang bercanda. Tidak mungkin pria yang hampir setiap hari dia lihat itu tanpa malu akan menunjukkan penisnya di hadapannya.

Atau juga tidak.

Pasalnya Hyunjin mendengar sebuah resleting yang ditarik turun. Sembari menggigit bibir, Hyunjin berbalik untuk menghadap Chan. Yang benar saja, kini resleting celana pria itu telah terbuka.

“Sialan, ah. Lo kenapa nggak pernah pake celana dalem, sih? Bikin ngaceng, tau nggak?”

Ah, sepertinya Hyunjin ingin mengikuti permainan Chan.

Lelaki cantik itu tersenyum nakal. “Hmm, kenapa ya? Hmm, ribet soalnya kalo pake celana dalem. Enakan juga gini, kalo mau colok lubang tinggal ngangkang atau nungging aja.”

Chan memijit pelan tonjolan di selangkangannya.

“Lo doyan anal, emang? Gue kira cowok kayak lo cuma doyan memek,” ujar Hyunjin sambil sedikit menarik ujung dress-nya ke atas.

“Semua lubang mah hajar aja kalo gue.”

“Oh ya? Jadi lo mau sama lubang gue?”

“Asal lo tau, Hyunjin. Gue coli sambil bayangin elo.

Hyunjin tertawa. Namun tak bisa dipungkiri, jantungnya berdetak begitu kencang. Juga bagian bawahnya yang mendadak terasa lebih lembap dari sebelumnya.

“Kalo abang tau gimana ya,”

Chan mendecih. “Lupain aja abang lo, now let's have fun with me, will ya?

Hyunjin menggigit bibirnya. Entah secara refleks atau bukan, tangannya terulur untuk menyentuh selangkangannya sendiri. Dia pijat dan usap perlahan sambil menatap Chan malu-malu.

“Kenapa? Sange, ya?”

Hyunjin mengangguk.

“Tebak ukuran kontol gue dulu. Kalo bener, kita cari kamar. Kalo salah, kita main di sini. Oh iya, nebaknya ukuran pas ngaceng, ya,”

“Ih! Masa main di sini? Diliat orang, dong?”

“Ya itu yang bikin seru. Gue tau lo suka pantat lo diliatin orang-orang, kan? That's why you never wear pantie.

Hyunjin kini menggigit jarinya. Bagian bawahnya sudah meronta-ronta ingin disentuh.

“Hmm, oke, gue tebak nih. Gue tebak....”

There's No Such Thing Called Love

“Is that a lie?”

“Yeah. That’s definitely a lie.”

Hujan turun cukup deras sore hari itu. Lebih dari cukup untuk meredam suara isakan pemuda yang sedang duduk memeluk kedua lututnya di ranjang, dengan wajah menghadap jendela.

Ah, tidak. Pemuda itu tak lagi terisak. Hanya air mata yang dia biarkan mengalir begitu saja dari mata cantiknya. Air mata itu pun sama sekali tak punya niat untuk menghentikan diri agar tidak lagi keluar dari mata pemiliknya.

“If everything ended up like this, why..”

“…why did you tell me all those words? Made me believe that you’ll never leave me.”

“Why did you make me believe that love exists?”

“Bullshit. Everything’s bullshit. Love is bullshit. There’s no such thing called love. You just liked me, put your interest on me, cared for me because you looked up on me. That’s it. No more. And I was the same.”

Mulut pemuda itu kembali bergetar, menandakan isakan pelan keluar darinya. Tangannya terulur untuk mengusap embun pada kaca jendela kamarnya. Tangan kurus itu sedikit bergetar.

Dingin, tak ada lagi kehangatan yang menyelimutinya. Tak ada lagi tangan yang selalu menggenggamnya setiap saat.

Joy, sadness, fear, in every situation, he would hold his hand warmly. To make sure he felt safe and not alone.

Tapi sekarang itu semua tak ada artinya lagi. Hyunjin tak lagi percaya dengan perasaan cinta.


“He never cheated on me. He is a good guy.”

Hyunjin duduk sendiri pada kursi belajar di kamarnya. Sebuah cermin dia hadap, dia menatap dirinya sendiri.

‘Then why you ‘hate’ him?’ Hati Hyunjin berbicara, seolah sedang menanyai dirinya sendiri.

“I told you, he made me believe that love exists. Nyatanya, hal itu tidak benar. He lied to me,” sisi hati Hyunjin yang lain menjawab.

Ada sebuah buku diary dengan lembaran yang kosong terbuka di hadapannya. Tangannya meraih bolpoin pada keranjang alat tulis, mulai menuliskan beberapa kalimat pada kertas kosong itu.

‘About one and a half year ago, we were total strangers. But then we attend in a same club. The club had about 11 guys, including me and him. Even tho he wasn’t the leader of that club, but he was so charming. I could feel his charisma. He was so good towards everyone. That’s why a lot of people like him. Unlike me, I was more quiet and basically didn’t care about my surroundings.’

‘One day, he approached me. I was a bit flustered because he was rather flirty and I was a bit scared of him because I found it a bit creepy. He also did a lot of stupid things that later I found that kinda cute.’

Hyunjin tersenyum tipis. Dia berhenti menulis sejenak, membiarkan dirinya tenggelam dalam memorinya.

‘I was cold towards him but he didn’t stop. He kept trying, until one day he confessed to me. I was so shock- no, it was more like I didn’t believe it that a person like him, a charming guy, a guy who had everything, surrounded by people who adore him, he chose to confessed his feeling towards me.’

‘Out of thousands people around him, he chose me.'

Hyunjin berhenti menulis untuk kedua kalinya. Air mata mengalir lagi dari matanya. Beberapa tetes air mata itu mengenai kertas yang dia hadap.

“Why me?”

“What kind of stupid question is that? I chose you, Jinnie. That’s what my heart wants,” dia menjawab pertanyaanku dengan senyuman nakal khas miliknya.

“But still, why me? What makes you chose me?” Aku bertanya lagi, karena jujur saja aku masih belum percaya dengan fakta bahwa dia sudah menjadi milikku saat itu.

“Mmm, no specific reason. I just, come on, Jinnie. Why don’t you get it? You’re the only one my heart wants. Don’t ask me why again, okay? I just love you. I love everything about you and I felt like I need to make a move before someone else take you.”

Jawaban itu terdengar begitu tulus. Hingga jantungku berdebar kencang. Begitu kencang hingga aku dapat mendengar detak jantungku sendiri.

Kemudian dia memelukku.

“The fact that now you’re mine, I feel like I won the whole world. I feel like I’m one of the luckiest guy in the world now. I love you so much, Jinnie.”

Dengan kalimat-kalimat itu, pertahananku runtuh. Sejak saat itu, aku memutuskan untuk memberikan diriku seutuhnya untuknya.

Both my heart and my body.

‘Channie, I’m all yours. You own all of me,’ that’s what I always told him since then.

Hyunjin menangis lagi. Kini semakin kencang. Namun saat ini tak ada hujan yang meredam suara isakannya. Dengan begitu, isak tangisnya terdengar menggema memenuhi kamarnya yang kosong dan dingin.

Yang itu tadi merupakan memori Hyunjin dengan Chan, mantan kekasihnya. Tidak peduli seberapa kuat dia mencoba untuk melupakannya, membuang pikiran-pikiran itu dari otaknya, Chan tidak bisa.

“Baby, I wonder how are you feeling right now. Do you ever miss me like I miss you? Do you ever think about me again just like how I always think about you? Do you suffer like I do? Or is it just me?” Gumamnya lirih.

“I miss you, crazy bastard. Don’t you know? I miss you like crazy. Do you know that I feel like I want to bang my head real hard on the wall because of how bad I want you to be here with me!”

“I…,” Hyunjin menjatuhkan dirinya di lantai.

“I can’t live without you..,” isaknya lirih.

“Hold me again.. hold my hand.. embrace me.. I’m suffering so much, don’t you know.. but if you come and hold me again, maybe I will be fine..”


Hyunjin tahu dia harus melupakan semuanya. Mengharapkan mantan kekasihnya kembali, dia tahu betul itu hanya akan membuang-buang waktu dan tenaganya.

Tetapi sekali lagi, tidak peduli seberapa kuat Hyunjin mencoba, dia tetap tidak bisa. Dia tak tahu lagi harus berbuat apa selain tenggelam di dalam kenangan-kenangan manis namun pahit itu.

Hari itu, Hyunjin kembali membuka buku diarynya. Dia berniat untuk melanjutkan apa yang dia tulis beberapa hari lalu. Lembaran itu dia buka. Beberapa tinta hitam mengabur, berubah menjadi ungu karena terkena air matanya.

‘He gave me everything. He supported me physically, mentally, and even financially. He bought me best presents. He treated me like I’m a diamond.’

‘We didn’t care about anything else. The world was ours. No, it was more like we built our own world so that we could live and shine the way we wanted.’

‘It was so perfect that I couldn’t see anything else. He was the only one I could see in my eyes.’

‘But as human, both of us aren’t perfect. Time goes by, I got to know that he actually has anger management issue. I never knew that because he was so calm and sweet towards me. Sometimes, even he would do something stupid to make me laugh.’

‘He always wanted honesty. And the problem is, I couldn’t really be honest because I was scared I would hurt his feeling. And I knew he would get mad either if I hurt him or when he found out that I lied. I was confused, to be honest.’

‘But I thought, it was nothing compared to what he suffered. He once told me that he didn’t mean to be rude towards me when he got mad. Yes, I completely understand, it was because of his unstable mental state. So I tried my best to bear it and calm him down.’

‘But time went by, things got more complicated than I thought. He became more unreadable to the point that I started to get tired of the way he acted.’

‘We used to always had a way to fix things we broke. But—’

Hyunjin meletakkan bolpoinnya. Tangannya bergetar. Dia menunduk.

Bagian ini, bagian yang paling menyakitkan. Bagian yang tidak ingin dia ingat, bagian yang ingin dia buang jauh-jauh dari pikirannya. Tapi kemudian dia raih kembali bolpoinnya.

‘—but that day, it just didn’t work. We both exploded. He was tired, and so did I. We both tired of relationship that I refused to believe it started to become toxic.’

‘It was all fine. I didn’t know why it turned to be like that.’

‘We didn’t talk and see each other for more than a week. I was to scared to approach him first, even tough I knew I need to do that because all that time he was the one who always approached me first. But once again, I was too scared of his response. Beside that, I was to tired. I tried my best to understand his situation, but he would often got mad.’

‘When he back to his ‘sanity’, he would blame himself. He broke down, he would hurt himself. He would punch and kick everything he saw. Wall, tree, chair and table,’

‘It’s so fucking hurt to see him like that. I was so scared.’

Tangan Hyunjin terlihat sedikit ragu untuk menuliskan kalimat selanjutnya.

‘Until one day, he said to me we can’t be any longer together. He said he can’t keep hurting me because of his issues. Also he is way older than me so we have pretty different way of thinking. When he said that, it was the end of me. I felt like I fall to the deepest darkest pit.’

‘But I thought about again. How would our relationship turn out if we keep it up. We both were tired. So, an ending is the best, even I clearly didn’t want it.’

‘So I didn’t refuse. I said yes. Without hesitation, just like how I say yes when he asked me to be his boyfriend.’

‘We ended for the sake of our best. I thought that at first. But days passed by, I became a mess. I just..’

Hyunjin menoleh ke arah jendela karena mendengar suara air yang mengenai permukaan benda-benda di luar sana. Ya, hujan turun lagi. Megumi diam menatap hujan untuk beberapa menit.

‘…Channie, I can’t leave without you.’


Hyunjin berjalan menyusuri pantai sendirian. Sebenarnya dia datang bersama orang tuanya, namun dia memilih untuk berjalan-jalan sendirian sementara orang tuanya belanja souvenir.

Hyunjin suka pantai. Berbeda dengan Chan yang lebih menyukai pegunungan.

Ah, Chan lagi. Apa pun yang Hyunjin lihat, hanya akan mengingatkannya pada Chan.

Tapi paling tidak Hyunjin merasa jauh lebih damai sekarang.

‘Brat, I hope you’re doing well. I hope your mental state gets better so you won’t suffer so much,’ Hyunjin berkata dalam hati.

Pemuda itu melihat ke bawah ketika sebuah benda keras membentur kaki telanjangnya dengan pelan. Sebuah cangkang kerang yang cukup besar dengan warna putih dan oranye muda.

Cantik, Hyunjin tersenyum. Dia pun berjongkok dan memungut kerang itu. Dia amati sebentar, kemudian dia letakkan lagi ke gelombang ombak yang membawa kerang itu kembali ke lautan.

‘Aku akan berusaha untuk melepasmu mulai sekarang. Susah, akan sangat susah. Tetapi aku tak mau lagi menjadi egois.’

‘Good bye, brat. Now I'll really set you free. I’ll erase everything about us from my mind.’

'Because there's no such thing called love.'

There's No Such Thing Called Love

“Is that a lie?”

“Yeah. That’s definitely a lie.”

Hujan turun cukup deras sore hari itu. Lebih dari cukup untuk meredam suara isakan pemuda yang sedang duduk memeluk kedua lututnya di ranjang, dengan wajah menghadap jendela.

Ah, tidak. Pemuda itu tak lagi terisak. Hanya air mata yang dia biarkan mengalir begitu saja dari mata cantiknya. Air mata itu pun sama sekali tak punya niat untuk menghentikan diri agar tidak lagi keluar dari mata pemiliknya.

“If everything ended up like this, why..”

“…why did you tell me all those words? Made me believe that you’ll never leave me.”

“Why did you make me believe that love exists?”

“Bullshit. Everything’s bullshit. Love is bullshit. There’s no such thing called love. You just liked me, put your interest on me, cared for me because you looked up on me. That’s it. No more. And I was the same.”

Mulut pemuda itu kembali bergetar, menandakan isakan pelan keluar darinya. Tangannya terulur untuk mengusap embun pada kaca jendela kamarnya. Tangan kurus itu sedikit bergetar.

Dingin, tak ada lagi kehangatan yang menyelimutinya. Tak ada lagi tangan yang selalu menggenggamnya setiap saat.

Joy, sadness, fear, in every situation, he would hold his hand warmly. To make sure he felt safe and not alone.

Tapi sekarang itu semua tak ada artinya lagi. Megumi tak lagi percaya dengan perasaan cinta.


“He never cheated on me. He is a good guy.”

Hyunjin duduk sendiri pada kursi belajar di kamarnya. Sebuah cermin dia hadap, dia menatap dirinya sendiri.

‘Then why you ‘hate’ him?’ Hati Hyunjin berbicara, seolah sedang menanyai dirinya sendiri.

“I told you, he made me believe that love exists. Nyatanya, hal itu tidak benar. He lied to me,” sisi hati Hyunjin yang lain menjawab.

Ada sebuah buku diary dengan lembaran yang kosong terbuka di hadapannya. Tangannya meraih bolpoin pada keranjang alat tulis, mulai menuliskan beberapa kalimat pada kertas kosong itu.

*‘About one and a half year ago, we were total strangers. But then we attend in a same club. The club had about 11 guys, including me and him. Even tho he wasn’t the leader of that club, but he was so charming. I could feel his charisma. He was so good towards everyone. That’s why a lot of people like him. Unlike me, I was more quiet and basically didn’t care about my surroundings.’

‘One day, he approached me. I was a bit flustered because he was rather flirty and I was a bit scared of him because I found it a bit creepy. He also did a lot of stupid things that later I found that kinda cute.’

Hyunjin tersenyum tipis. Dia berhenti menulis sejenak, membiarkan dirinya tenggelam dalam memorinya.

‘I was cold towards him but he didn’t stop. He kept trying, until one day he confessed to me. I was so shock- no, it was more like I didn’t believe it that a person like him, a charming guy, a guy who had everything, surrounded by people who adore him, he chose to confessed his feeling towards me.’

‘Out of thousands people around him, he chose me.'

Hyunjin berhenti menulis untuk kedua kalinya. Air mata mengalir lagi dari matanya. Beberapa tetes air mata itu mengenai kertas yang dia hadap.

“Why me?”

“What kind of stupid question is that? I chose you, Jinnie. That’s what my heart wants,” dia menjawab pertanyaanku dengan senyuman nakal khas miliknya.

“But still, why me? What makes you chose me?” Aku bertanya lagi, karena jujur saja aku masih belum percaya dengan fakta bahwa dia sudah menjadi milikku saat itu.

“Mmm, no specific reason. I just, come on, Jinnie. Why don’t you get it? You’re the only one my heart wants. Don’t ask me why again, okay? I just love you. I love everything about you and I felt like I need to make a move before someone else take you.”

Jawaban itu terdengar begitu tulus. Hingga jantungku berdebar kencang. Begitu kencang hingga aku dapat mendengar detak jantungku sendiri.

Kemudian dia memelukku.

“The fact that now you’re mine, I feel like I won the whole world. I feel like I’m one of the luckiest guy in the world now. I love you so much, Jinnie.”

Dengan kalimat-kalimat itu, pertahananku runtuh. Sejak saat itu, aku memutuskan untuk memberikan diriku seutuhnya untuknya.

Both my heart and my body.

‘Channie, I’m all yours. You own all of me,’ that’s what I always told him since then.

Hyunjin menangis lagi. Kini semakin kencang. Namun saat ini tak ada hujan yang meredam suara isakannya. Dengan begitu, isak tangisnya terdengar menggema memenuhi kamarnya yang kosong dan dingin.

Yang itu tadi merupakan memori Hyunjin dengan Chan, mantan kekasihnya. Tidak peduli seberapa kuat dia mencoba untuk melupakannya, membuang pikiran-pikiran itu dari otaknya, Chan tidak bisa.

“Baby, I wonder how are you feeling right now. Do you ever miss me like I miss you? Do you ever think about me again just like how I always think about you? Do you suffer like I do? Or is it just me?” Gumamnya lirih.

“I miss you, crazy bastard. Don’t you know? I miss you like crazy. Do you know that I feel like I want to bang my head real hard on the wall because of how bad I want you to be here with me!”

“I…,” Hyunjin menjatuhkan dirinya di lantai.

“I can’t live without you..,” isaknya lirih.

“Hold me again.. hold my hand.. embrace me.. I’m suffering so much, don’t you know.. but if you come and hold me again, maybe I will be fine..”


Hyunjin tahu dia harus melupakan semuanya. Mengharapkan mantan kekasihnya kembali, dia tahu betul itu hanya akan membuang-buang waktu dan tenaganya.

Tetapi sekali lagi, tidak peduli seberapa kuat Hyunjin mencoba, dia tetap tidak bisa. Dia tak tahu lagi harus berbuat apa selain tenggelam di dalam kenangan-kenangan manis namun pahit itu.

Hari itu, Hyunjin kembali membuka buku diarynya. Dia berniat untuk melanjutkan apa yang dia tulis beberapa hari lalu. Lembaran itu dia buka. Beberapa tinta hitam mengabur, berubah menjadi ungu karena terkena air matanya.

‘He gave me everything. He supported me physically, mentally, and even financially. He bought me best presents. He treated me like I’m a diamond.’

‘We didn’t care about anything else. The world was ours. No, it was more like we built our own world so that we could live and shine the way we wanted.’

‘It was so perfect that I couldn’t see anything else. He was the only one I could see in my eyes.’

‘But as human, both of us aren’t perfect. Time goes by, I got to know that he actually has anger management issue. I never knew that because he was so calm and sweet towards me. Sometimes, even he would do something stupid to make me laugh.’

‘He always wanted honesty. And the problem is, I couldn’t really be honest because I was scared I would hurt his feeling. And I knew he would get mad either if I hurt him or when he found out that I lied. I was confused, to be honest.’

‘But I thought, it was nothing compared to what he suffered. He once told me that he didn’t mean to be rude towards me when he got mad. Yes, I completely understand, it was because of his unstable mental state. So I tried my best to bear it and calm him down.’

‘But time went by, things got more complicated than I thought. He became more unreadable to the point that I started to get tired of the way he acted.’

‘We used to always had a way to fix things we broke. But—’

Hyunjin meletakkan bolpoinnya. Tangannya bergetar. Dia menunduk.

Bagian ini, bagian yang paling menyakitkan. Bagian yang tidak ingin dia ingat, bagian yang ingin dia buang jauh-jauh dari pikirannya. Tapi kemudian dia raih kembali bolpoinnya.

‘—but that day, it just didn’t work. We both exploded. He was tired, and so did I. We both tired of relationship that I refused to believe it started to become toxic.’

‘It was all fine. I didn’t know why it turned to be like that.’

‘We didn’t talk and see each other for more than a week. I was to scared to approach him first, even tough I knew I need to do that because all that time he was the one who always approached me first. But once again, I was too scared of his response. Beside that, I was to tired. I tried my best to understand his situation, but he would often got mad.’

‘When he back to his ‘sanity’, he would blame himself. He broke down, he would hurt himself. He would punch and kick everything he saw. Wall, tree, chair and table,’

‘It’s so fucking hurt to see him like that. I was so scared.’

Tangan Hyunjin terlihat sedikit ragu untuk menuliskan kalimat selanjutnya.

‘Until one day, he said to me we can’t be any longer together. He said he can’t keep hurting me because of his issues. Also he is way older than me so we have pretty different way of thinking. When he said that, it was the end of me. I felt like I fall to the deepest darkest pit.’

‘But I thought about again. How would our relationship turn out if we keep it up. We both were tired. So, an ending is the best, even I clearly didn’t want it.’

‘So I didn’t refuse. I said yes. Without hesitation, just like how I say yes when he asked me to be his boyfriend.’

‘We ended for the sake of our best. I thought that at first. But days passed by, I became a mess. I just..’

Hyunjin menoleh ke arah jendela karena mendengar suara air yang mengenai permukaan benda-benda di luar sana. Ya, hujan turun lagi. Megumi diam menatap hujan untuk beberapa menit.

‘…Channie, I can’t leave without you.’


Hyunjin berjalan menyusuri pantai sendirian. Sebenarnya dia datang bersama orang tuanya, namun dia memilih untuk berjalan-jalan sendirian sementara orang tuanya belanja souvenir.

Hyunjin suka pantai. Berbeda dengan Chan yang lebih menyukai pegunungan.

Ah, Chan lagi. Apa pun yang Hyunjin lihat, hanya akan mengingatkannya pada Chan.

Tapi paling tidak Hyunjin merasa jauh lebih damai sekarang.

‘Brat, I hope you’re doing well. I hope your mental state gets better so you won’t suffer so much,’ Hyunjin berkata dalam hati.

Pemuda itu melihat ke bawah ketika sebuah benda keras membentur kaki telanjangnya dengan pelan. Sebuah cangkang kerang yang cukup besar dengan warna putih dan oranye muda.

Cantik, Hyunjin tersenyum. Dia pun berjongkok dan memungut kerang itu. Dia amati sebentar, kemudian dia letakkan lagi ke gelombang ombak yang membawa kerang itu kembali ke lautan.

‘Aku akan berusaha untuk melepasmu mulai sekarang. Susah, akan sangat susah. Tetapi aku tak mau lagi menjadi egois.’

‘Good bye, brat. Now I'll really set you free. I’ll erase everything about us from my mind.’

'Because there's no such thing called love.'

Menjadi ketua Mapala, mau tidak mau Chan harus mengikuti kegiatan berpetualang organisasi itu. Mendaki gunung, menyeberangi sungai, membelah hutan, melewati jurang, memanjat tebing, mengarungi lautan, menjadi tarzan dan pelaut, maupun menjadi panji petualang dan jejak si gundul, ibaratnya begitu, semua sudah pernah Chan lalui.

Liburan semester genap ini cukup panjang, mestinya waktu liburan itu digunakan untuk rehat dan menghabiskan waktu bersama keluarga setelah satu semester penuh dengan kegiatan perkuliahan. Tetapi untuk Chan, sebagai ketua Mapala, menjadikan liburan sebagai waktu istirahat total rasanya hampir mustahil.

Hampir setiap dua minggu sekali, anak buahnya secara bergantian mengajaknya untuk berpetualang. Sebagai ketua, ya, sebenarnya Chan bisa saja menolak mereka jika dia mau. Tetapi Chan bukanlah tipe orang yang seperti itu. Dia tipikal orang yang menempatkan kepentingan anggota organisasi di atas kepentingan pribadi. Jadi, pada akhirnya Chan tidak pernah bisa menolak ajakan mereka.

Seperti kemarin contohnya, lelaki yang baru saja menyelesaikan semester 6 itu baru saja pulang dari pendakian di salah satu gunung yang kata banyak orang medannya cukup ekstrem. Dan ya, Chan membuktikannya sendiri. Dia mengakui bahwa kata orang-orang memang benar, medan gunung yang baru saja dia daki adalah salah satu medan pendakian paling ekstrem yang pernah dia alami.

Maka dari itu, sesampainya di rumah, lelaki itu langsung tepar. Tidur selama lebih dari 24 jam. Tak hanya itu, badannya terasa tidak karuan. Kalau dideskripsikan, menurut Chan, rasanya seperti tulang-tulangnya lepas dari tubuhnya.

Lelaki itu bangun di siang hari ketika mendengar suara panci ibunya bergelontengan di dapur. Seperti pemuda pada umumnya, hal pertama yang dia ambil setelah bangun tak lain adalah ponsel. Ada beberapa pesan masuk dari sohibnya yang bernama Changbin. Karena malas mengetik, Chan pun memutuskan untuk menelepon lelaki itu.

“Oi, baru bangun gue.”

“Udah gue duga. Gimana? Gunung kemaren mantap ga? Hahaha!”

“Lebih mantap kalo kontol gue disepongin.”

“Hahahahaha asu lo. Oh iya, lo mau ga gue rekomendasiin tempat pijet? Lumayan men, gue kemaren pijet di situ tuh, beuhh, mantap banget. Lo mau coba, ga? Siapa tau pegel-pegel lo langsung ilang.”

“Hmm, boleh.”

“Coba ke XX Spa. Di Jalan YY 69, tempatnya agak di dalem. Ntar ada cafe, sebelahnya ada gang kecil, lo masuk situ.”

“Mahal gak?”

“Ya, lumayan, sih. Tapi asli worth it banget. Gue jamin lo ga akan nyesel.”


Pada akhirnya Chan menerima saran dari Changbin. Dia memutuskan untuk mencoba mengunjungi XX Spa yang direkomendasikan oleh sahabat karibnya itu.

“Selamat sore, Mas, ada yang bisa saya bantu?” Resepsionis menyapanya setelah dirinya berdiri di depan meja resepsionis.

“Mau pijet dong, Mbak, masa mau cari jodoh, hahahaha,” gurau Chan.

“Hahahaha,” mbak resepsionis pun mau tak mau harus ikut tertawa, meskipun canggung.

Kemudian Chan diberikan sebuah buku.

“Ini, Mas, silah kan pilih mau treatment yang apa, setelah itu saya buatkan pesanan.”

Chan membolak-balikkan buku itu. Jujur saja dia bingung. Dia tidak

Setelah membuat pesanan, Chan menunggu di ruang tunggu. Pria itu sudah mengenakan

Sore itu, Chan dan Hyunjin sudah sampai di tempat tujuan. Yang mana hanya Chan yang tahu.

Mereka berdua pun keluar dari mobil milik Chan.

“Uh? Ini tempat wisata apa?”

Chan menggandeng tangan Hyunjin setelah selesai memarkirkan mobilnya.

“Ayo, masuk aja. Nanti kamu tau,” ucap Chan sembari mengajak Hyunjin menuju tempat untuk membeli tiket.


Membeli tiket sudah. Membeli snack dan minuman untuk disantap sembari berkeliling juga sudah.

“Brrr, kok dingin ya di sini,” Hyunjin merapatkan jaketnya.

Chan tersenyum, dia genggam erat tangan Hyunjin.

Sebuah tempat wisata taman bunga mereka kunjungi. Banyak kebun bunga dengan berbagai macam jenis di taman ini. Ada pula toko yang menjual bunga, toko souvenir, gubuk-gubuk untuk beristirahat, kolam-kolam yang indah, serta spot foto yang telah didekorasi sedemikian rupa.

Chan terus menggandeng tangan Hyunjin, membawa lelaki manis itu untuk berjalan menaiki tangga menaiki sebuah bukit kecil.

“Huhh mas, capek,” Hyunjin berhenti, napasnya tersenggal-senggal.

“Hihi capek, ya? Oke, kita istirahat dulu.”

Mereka berdua duduk di pinggir tangga. Chan memberi Hyunjin minuman, kemudian si cantik itu memakan snack dengan lahap.

“Kamu tau? Di puncak nanti ada kebun dandelion sama kebun daisy. Katanya di sana spotnya bagus banget. Kita nanti lihat sunset dari sana, oke?” Ujar Chan.

“Waaa, aku suka daisy..,” Hyunjin memasang mata layaknya anjing kecil yang lucu.

Chan mengelus puncak kepala Hyunjin. “Iya sayang, makanya nanti kita ke sana. Tinggal dikit lagi kok.”

Tiba-tiba Hyunjin berdiri.

“Ayo mas! Jalan lagi sekarang!”

Chan terkekeh. Hyunjin begitu menggemaskan.


Akhirnya Chan dan Hyunjin telah sampai di puncak tangga. Langit sudah berwarna jingga ketika mereka sudah berada di puncak sana.

“Waaahh..,” mulut Hyunjin menganga ketika menyaksikan hamparan padang bunga daisy di depan matanya.

“Mas ini bagus banget,” cicitnya pelan.

Chan mempererat genggamannya pada tangan Hyunjin. Senyumnya tak pernah hilang dari bibirnya.

“Suka?”

Hyunjin mengangguk cepat. “Suka banget! Aku sampe mau nangis,”

Chan pun mengajak Hyunjin untuk berjalan ke tengah. Keduanya berjalan beriringan di antara hamparan bunga daisy di bawah langit sore hari itu.

Terkadang Hyunjin akan berlari-lari dan melompat-lompat sambil memekik girang.

Pemandangan yang begitu meneduhkan bagi Chan. Keduanya tertawa, tersenyum, menikmati momen berharga ini.

Ketika langit menggelap, dua insan itu duduk di pinggiran bukit menghadap ufuk barat.

Hyunjin menyandarkan kepalanya pada pundak Chan sembari merapatkan jaketnya.

“Dingin?” Chan menoleh.

“Huum. Jadi lebih dingin dari tadi,” jawab Hyunjin.

Chan pun membawa Hyunjin ke dalam dekapannya, memeluk si manis itu erat untuk menyalurkan kehangatan. Tak peduli dengan beberapa orang yang mungkin melihat mereka berdua. Toh, dunia hanya milik mereka berdua.

Sebentar lagi matahari akan terbenam. Ah, mungkin ini saat yang tepat.

“Dek, mas ke toilet dulu sebentar boleh? Bentaarrr aja, kamu tunggu di sini nanti mas balik lagi. Ini kamu bawain kunci mobil mas,” ucap Chan, kemudian beranjak dari duduknya.

Hyunjin sedikit cemberut. “Hmm, oke. Cepet balik, ya.”


Chan segera berlari menuju toko bunga yang terletak di dekat puncak tangga. Dengan terburu-buru, dia masuk ke dalam toko itu.

“Mbak mbak! Ini saya yang titip gandum tadi, mau saya ambil sekarang,” ucapnya pada penjaga toko.

“Oh, iya Mas, ini,” penjaga toko itu memberikan sebuah buket gandum dengan pita yang mewah kepada Chan.

“Makasih banyak, ya, Mbak. Saya duluan.”

Chan berlari sekencang mungkin kembali ke tempat Hyunjin, tidak ingin melewatkan matahari terbenan.

Tepat ketika dirinya sudah sampai, matahari berada di ufuk barat, mendekati garis horizon.

Buket gandum itu dia sembunyikan di balik punggungnya.

“Dek Hyunjin,” panggilnya sembari mendekati Hyunjin.

“Eh, cepet banget?” Hyunjin menoleh.

“Hehe. Sini kamu berdiri.”

“Um?” Meskipun bingung kenapa Chan menyuruhnya berdiri, tetapi Hyunjin tetap melakukannya.

Lalu tiba-tiba Chan berlutut di hadapannya. Tangannya meraih tangan Hyunjin, lalu dia kecup.

“E-eh? M-mas?”

Kemudian dia buka telapak tangan Hyunjin, dia taruh buket gandum itu pada genggaman Hyunjin.

“M-mas? Ini a-apa?”

“Dek Hyunjin, jadi kekasih mas, mau, ya?”

“H-hah?” Hyunjin menatap Chan tidak percaya. Tangannya menggenggam buket gandum itu dengan gemetaran.

“Iya sayang, mas serius nembak kamu. Jadi pacar mas, ya? Mas nggak peduli kamu mau sayang sama mas atau enggak, tapi mas beneran mau kamu jadi miliknya mas. So, will you?

Air mata Hyunjin menetes. “M-mas..”

Sekali lagi Chan kecup punggung tangan Hyunjin, lalu dia berdiri dan membawa Hyunjin ke dalam pelukannya.

I love you, I really do. Kamu mau terima mas, kan?”

Hyunjin menyembunyikan wajahnya pada dada Chan.

“H-hiks.. ih! Kenapa pake nanya, sih?!” Hyunjin memukul lengan Chan.

So, your answer?

Hyunjin mendongak, dia tatap Chan dengan mata yang basah dan memerah. Kemudian dia mengangguk pelan.

“Mau,”

Chan tersenyum gembira.

“Huaaaa!!”

Chan sedikit tersentak ketika tiba-tiba Hyunjin menerjang tubuhnya, memeluknya erat sembari mencengkeram jaketnya.

“H-hiks, aku, aku juga sayang Mas.., aku udah nunggu saat kayak gini, Mas, hiks..”

Chan balas memeluk Hyunjin erat. “Well, now you're mine and I'm yours.

Mendengar itu Hyunjin menangis semakin kencang. Chan hanya terkekeh melihat tingkah menggemaskan kekasihnya itu, walaupun dia sedikit panik, takut orang yang melihat mereka mengira dia mengapa-apakan anak orang.

“Hiks.., um, tapi Mas,”

“Iya?”

“Kenapa harus pake gandum?”

“Hehe, itu..,”

Pada akhirnya mereka menyaksikan matahari terbenam dengan Chan yang menjelaskan makna dirinya memberi Hyunjin sebuah buket gandum seperti apa yang disarankan oleh Lino.